Minggu, 04 Januari 2009

Mencari Titik Temu (Kalimatun Sawwa) Islam-Kristen

Mencari Titik Temu (Kalimatun Sawwa) Islam-Kristen dalam Mistikal, Profetik-idologikal, dan Humanis-fungsional

Dari sejak permulaan sejarah kedua agama ini, (Islam dan Kristen) pada satu sisi mempunyai suatu bentuk hubungan yang ambivalen, dan di sisi lain memiliki potensi untuk saling konflik sekaligus saling membangun dialog yang konstruktif. Sebagian besar, aspek negatif dan positif dari hubungan itu berakar dari penekanan yang disengaja terhadap teks-teks tertentu dari kitab Injil dan al-Qur’an yang dianut oleh masing-masing pemeluknya. Pada dasarnya al-Qur’an mengutuk doktrin Kristen tentang Trinitas dan ketuhanan Yesus, namun di sisi lain al-Qur’an memandang orang Kristen sebagai orang yang paling dekat hormatnya kepada Muslim, (Lihat QS. An-Nahl 16:25), meskipun memerintahkan pengikutnya untuk memerangi mereka ahli kitab yang menolak beriman kepada Tuhan dan hari akhir, hingga mereka membayar jizyah secara sukarela, (Qs. al-Maidah : 52).
Ada tiga masalah utama di mana konflik antara Muslim dan Kristen telah menancap dalam kesadaran kaum Muslim, yaitu kolonialisasi, orientalisme, dan aktivitas kristenisasi.
Kenyataan saling ketergantungan satu sama lain dengan pola komunikasi yang sedang berkembang saja sudah mengubah lingkungan secara radikal. Sehingga kedua komunitas keagamaan itu saling memperhitungkan satu sama lain, sebagaimana mereka saling siap untuk bergerak dari suatu hubungan yang cenderung konflik menuju pola hubungan yang berdialog didasarkan pada niat baik dan saling percaya. Bagi orang Kristen dan Muslim, kawan tradisional dan musuh konvensional, membangun masa depan yang lebih baik harus dimulai dengan saling memahami hubungan mereka di masa lalu. Sangat penting untuk menyadari bahwa semangat Kristus dan ajaran al-Qur’an sudah semestinya tetap menjadi tujuan dan sinar yang membimbing perjalanan kedua komunitas beragama ini. Karenanya, upaya-upaya yang tulus harus dilakukan untuk menerjemahkan ajaran-ajaran tersebut ke dalam kenyataan yang lebih konkret. Hanya dalam tingkat inilah—tingkat interaktif dan praktis—hubungan Kristen dan Islam menjadi apa yang didambakan oleh kedua komunitas itu.
Islam memandang dirinya sebagai bagian dari tradisi keimanan Ibrahim dan ketundukan yang total (Islam) kepada Tuhan. Iman semacam ini tidak hanya terbatas pada Ibrahim, tapi ia lebih merupakan ekspresi keimanan para Nabi sebelum dan sesudahnya, termasuk Nabi Musa dan Isa. Oleh karenanya, Nabi Muhammad dan para penggantinya kemudian (Yahudi dan Nasrani) untuk meninggalkan agama mereka sebagai syarat untuk hidup berdampingan dengan Muslim.
Al-Qur’an juga tidak mengklaim bahwa hukum suci Islam menjadi penghapus atas hukum suci yang diturunkan kepada Musa dan Yesus, karena Nabi Muhammad menganggap pesannya sebagai sesuatu yang sesuai dengan penyempurnaan terhadap pesan Taurat dan Injil. Al-Qur’an bahkan meyakinkan kembali Muhammad tentang hal itu dalam menghadapi kaum penentang Islam Mekkah: “apabila kamu dalam keraguan berkenaan dengan apa yang telah kami wahyukan kepadamu, maka bertanyalah kepada mereka yang telah membaca kitab-kitab suci sebelum kamu.”(QS. Yunus : 19). Al-Qur’an juga mengajarkan kepada para penganutnya untuk bercermin kepada orang-orang yang menerima kitab suci sebelumnya demi pengetahuan dan keyakinan: “bertanyalah kepada orang-orang yang memberi peringatan apabila kamu tidak mengetahui”, (Qs. An-Nahl : 43). Dengan begitu, hanya karena al-Qur’an memandang agama Kristen sebagai ekspresi iman yang benar dan orang Kristen sebagai komunitas pemegang iman yang sah, maka agama Kristen dapat survive di dunia Muslim.
Semua ayat al-Qur’an menggambarkan dengan jelas bahwa Muslim dan Kristen saling berbagi kesatuan iman dan tujuan. Agama Islam dan Kristen, sebagai agama-agama kitab suci, lebih disadari bersama daripada bagi para teolog masing-masing tradisi.
Al-Qur’an sendiri tidak begitu banyak meyinggung peraturan spesifik yang mengatur hubungan Muslim-kristen, tapi lebih menunjukkan prinsip-prinsip umum dari pemerintah dan peraturan tersebut. Seperti ketika Nabi Muhammad—lantaran putus asa—mengajak pengikutnya untuk merenungkan ayat al-Qur’an yang berbunyi: ”wahai orang yang beriman janganlah menganggap Yahudi dan Nasrani sebagai sekutu bagimu. Mereka adalah sekutu satu sama lain”, (Qs. Al-Maidah : 51). Kalimat ini yang pada dasarnya merujuk pada persekutuan politik dalam satu peristiwa perang, ironisnya menjadi normatif bagi kalangan Muslim. Padahal begitu banyak perintah-perintah al-Qur’an yang menganjurkan untuk membangun persahabatan dan kerjasama antara Muslim dengan ahli kitab.
Sebuah contoh lain yang khas tentang kegagalan beberapa orang untuk menangkap makna dari kata “Islam”, dan dengan sendirinya membawanya untuk membenarkan sikap eksklusivisme, yaitu ayat-ayat al-Qur’an yang berbunyi: “sesungguhnya agama (yang benar) yang di sisi Tuhan adalah Islam” dan “barangsiapa yang memeluk agama selain Islam, tidak akan diterima di sisi Tuhan, dan di hari kemudian mereka termasuk orang-orang yang merugi”, (Qs. al-Imran : 19). Melalui ayat inilah muncul suatu penekanan baru akan identitas keagamaan, yakni “penyerahan diri yang sebenar-benarnya dihadapan kehendak Tuhan.” Ini merupakan tantangan bagi iman yang hidup dan tulus yang al-Qur’an sendiri memperlihatkan bahwa hal itu tidak diperuntukkan bagi Muslim saja, tetapi bagi segenap mereka yang percaya kepada Tuhan dalam sepanjang sejarah umat manusia.
Selain itu, al-Qur’an juga mengisyaratkan gagasan mengenai kesatuan kitab suci, dengan membenarkan bahwa baik Taurat dan Injil adalah sumber petunjuk dan penerang. Sebagai bentuk ungkapan dari kebenaran primordial yang satu, dengan sendirinya menjadi wasit tunggal untuk menengahi ketidaksetujuan dan konflik antar kaum beriman. Al-Qur’an secara eksplisit menyatakan sebagai sebuah prinsip umum bahwa “Tuhan tidak melarangmu untuk melawan mereka yang memerangimu demi mempertahankan imanmu, atau yang mengusirmu dari tempat tinggal, tapi bersikaplah adil terhadap mereka; karena Tuhan mengasihi mereka yang berbuat adil, (Qs. Al-Mumtahanah : 68). Perlakuan yang adil terhadap lingkungan sekeliling berujung agar interaksi sosial antara dua kelompok yang berbeda.
Al-Qur’an melangkah ke dalam dua rintangan sosial terpenting yang memisahkan dua komunitas masyarakat yang berbeda itu, yaitu pembatasan-pembatasan makanan dan perkawinan: al-Qur’an menegaskan bahwa, “makanan ahli kitab adalah halal bagimu dan makananmu adalah halal bagi mereka, dan wanita ahli kitab adalah (boleh bagimu untuk menikah”, (Qs. al-Maidah : 5). Al-Qur’an melangkah lebih jauh dengan mengkhususkan orang-orang Kristen untuk mendapatkan perlakuan yang bersahabat, sebagaimana firman-Nya: “kamu sekalian akan mendapati yang paling dekat di antara mereka kepada orang-orang yang beriman adalah mereka yang menyatakan ‘kami adalah pengikut Kristus,’ karena sebagian mereka adalah pendeta dan biarawan dan mereka tidak berlaku sombong”, (Qs. al-Maidah : 82). Ini berarti bahwa pada masa aman dan damai, Muslim dan non-Muslim harus hidup sebagai satu masyarakat, masing-masing komunitas itu berhak mengamalkan ketentuan-ketentuan sosial-keagamaan mereka sendiri.
Terakhir, melihat kenyataan bahwa Islam sekarang ini merupakan bagian dari realitas masyarakat, baik di Amerika maupun Eropa, sebagaimana agama Kristen menjadi bagian dari kenyataan masyarakat India, Pakistan, Indonesia, adalah penting bagi kita yang benar-benar berpikir tentang masa depan untuk melepaskan diri dari kecenderungan berpikir dikotomis antara “peradaban Islam timur tengah” di satu sisi, dan “peradaban Kristen Barat” di sisi yang lain. Sekarang ini kita hanya mempunyai satu dunia di atas mana Muslim dan Kristen hidup di semua tempat.
Oleh karena itu, sudah menjadi keharusan bagi kedua komunitas itu untuk menyadari bahwa mereka saling mendekat satu sama lain, dihadapankan pada tantangan degenerasi moral, sinisme dan ketidakpercayaan yang semuanya menjelma dalam lingkungan sosial, politik dan kebudayaan kita. Apabila kedua komunitas ini bisa mentrandensi diri dari rasa permusuhan sejarah silam, lalu melangkah menuju pengakuan terhadap kepedulian bersama, maka hal ini akan menjadi jalan yang mulus bagi umat Islam dan Kristen dalam memasuki abad mendatang.
Islam sejak semula menganjurkan dialog dengan umat lain, teristimewa umat Kristen. Terhadap pengikut Isa a.s dan Musa a.s, al-Qur’an menggunakan kata ahl al-Kitab (yang memiliki kitab suci). Penggunaan kata ahl, yang berarti keluarga, menunjukkan keakraban dan kedekatan hubungan. Lebih dari itu pengikut Nabi Muhammad yang terpaksa meninggalkan Mekkah untuk menghindari penganiayaan bangsanya sendiri (Arab Jahiliyah) berhijrah ke negara lain Ethiopia. Di sana mereka diterima dengan baik dan mendapatkan perlindungan oleh raja Negus (Najasi) yang berpaham Kristen. Peristiwa itu menandaskan keakraban dan hubungan harmonis antara kedua umat tersebut.
Berangkat dari kenyataan sejarah di atas, bukankah saudara sebangsa dan setanah air yang beragama Kristen Katolik di NTT atau di Papua lebih patut untuk melindungi dan hidup berdampingan secara harmonis dengan saudara-saudaranya dari agama lain?
Konflik antar agama adalah fenomena berumur setua agama-agama itu sendiri. Meski demikian, cita-cita akan kerukunan umat beragama tak pernah pupus, karena bagi banyak orang penyelamatan umat manusia terletak pada persatuan umat beragama dalam memecahkan persoalan-persoalan fundamental yang bersumber pada materialisme dan ketakberagamaan. Di atas segalanya, kerukunan umat beragama bukanlah utopia yang tak mungkin diwujudkan, betapapun sulitnya. Lebih-lebih di Indonesia, di mana ada persoalan dalah hubungan antaraumat dua agama besar: Islam dan Kristen. Tapi bagaimana cita-cita besar ini diwujudkan?
Umat Islam dan Kristen hendaknya sadar akan pentingnya kehendak yang terkandung dalam perintah Tuhan. Pemahaman terhadap substansi perintah Tuhan ini tak lain adalah manifestasi iman kita kepada-Nya. Karena agak janggal bila manusia berusaha mewujudkan kehendak Tuhan di atas bumi, tanpa lebih dahulu memahami substansi keinginan-Nya.
Sebagai langkah pertama terciptanya kerjasama tersebut, kedua belah pihak dituntut bersama-sama mengoreksi citra keliru yang selama ini tergambar dalam benak masing-masing mengenai pemeluk agama lain. Bahwa terdapat perbedaan fundamental antara kedua ajaran agama ini adalah tak dapat dipungkiri. Namun hendaknya dialog antara kedua pemeluknya tidak diarahkan kepada perdebatan teologis doktrinal yang selalu berakhir pada jalan buntu.
Ajaran agama diwahyukan Tuhan untuk kepentingan manusia. Dengan bimbingan agama ini diharapkan manusia mendapat pegangan yang pasti dan yang benar dalam menjalani hidupnya dan membangun peradabannya. Dengan kata lain, agama diwahyukan untuk manusia, bukannya manusia tercipta untuk kepentingan agama. Agama adalah jalan, bukan tujuan. Dengan bimbingan agama itulah manusia berjalan mendekati Tuhan dan mengharap ridha-Nya melalui amal kebajikan yang berdimensi vertikal dan horizontal.
Klaim Islam yang begitu ideal itu secara teologis dan ideologis telah diterima oleh umatnya. Tetapi, dalam praktiknya, respon seseorang terhadap agama memiliki kecenderungan dengan intensitas yang berbeda. Sekali lagi, ini hanyalah sebuah kecenderungan, bukan pemisahan. Dalam konteks tersebut kemudian setidaknya terdapat tiga kecenderungan yang mudah diamati, yaitu kecenderungan mistikal, profetik-idologikal, dan humanis-fungsional. Ketiga hal ini ialah kecenderungan beragama dengan titik tekan pada penghayatan nilai-nilai kemanusiaan yang dianjurkan agama. Pada tipe ini, apa yang disebut kebijakan hidup beragama adalah bila seseorang telah beriman pada Tuhan, dan lalu berbuat baik terhadap sesamanya. Sikap toleran dan eklektisisme pemikiran beragama merupakan salah satu ciri tipe ini.
Dalam konteks hidup bermasyarakat dan bernegara, tipologi keberagamaan ketiga menekankan orientasi kemanusiaan, perlu mendapat apresiasi dan penekanan. Hikmah hidup keberagamaan haruslah bermuara pada komitmen untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, tanpa harus dihambat oleh sentimen kelompok keagamaan. Jika memang agama diwahyukan untuk manusia, dan bukan manusia untuk agama, maka salah satu ukuran baik-buruknya sikap hidup beragama adalah menggunakan standar dan kategori kemanusiaan, bukannya ideologi dan sentimen kelompok.
Pada tataran praktis, karya kemanusiaan adalah kesungguhan untuk mewujudkan kehidupan bernegara yang lebih demokratis, menegakkan nilai-nilai keadilan, kejujuran, tradisi bekerja keras dan efisien, begitu seterusnya. Khususnya bagi umat Islam, posisinya sebagai kelompok mayoritas pemeluk agama harus lebih mampu membuktikkan komitmen dan karya-karya kemanusiaan bagi kemajuan bangsa ini. Bila panggilan tugas ini gagal, maka Islam sebagai agama mutakhir dengan pendukung terbanyak justru malah menjadi beban ataupun boomerang.
Pluralisme sebagai ideologi dan gerakan politik, pernah diteladankan oleh Rasulullah kepada Umar dan diteruskan kepada yang lainnnya. Bukti-bukti empiris pluralisme Islam terjadi dalam kehidupan sosial, budaya, dan politik yang konkret di Andalusia (Spanyol) pada masa pemerintahan khalifah Umawi. Sejarah mencatat bahwa kedatangan Islam di Spanyol telah mengakhiri politik monoreligi secara paksa oleh penguasa sebelumnya. Pemerintah Islam yang kemudian berkuasa selama 500 tahun telah menciptakan masyarakat Spanyol yang pluralistik, sebab para pemeluk tiga agama, Islam, Kristen, dan Yahudi dapat hidup saling berdampingan dan rukun.
Demikian juga, ketika Rasulullah berada di Madinah, apa yang diajarkan Muhammad itu bukanlah upaya meligitimasi agama resmi Negara saat itu dan bukan pula alat pemaksa agar orang-orang memeluk Islam seluruhnya.
Selama memerintah di Madinah, Rasulullah tidak pernah memaksakan masyarakat non Muslim untuk mengikuti agama Islam, yang ketika itu berkuasa. Bahkan melalui perjanjian di antara semua penduduk Madinah, ditetapkan dasar-dasar, toleransi perdamaian dan kerukunan. Salah satu isi perjanjian dengan kaum Yahudi menyebutkan, “orang Yahudi yang turut dalam perjanjian dengan kami berhak memeperoleh pertolongan dan perlindungan, tidak akan diperlakukan zalim. Dengan demikian, agama digunakan Rasulullah sebagai sumber utama kekuatan moral. Perilaku yang murni religius lebih diinginkan daripada formalisasi agama. Wallahu’alam.

Tidak ada komentar: