Minggu, 04 Januari 2009

Memahami Perbedaan Esensi Hadis dan Sunnah Gaya Cak Nur

Abstraks
One of the interisteng in word Islam is hadis, but often controverisal one other of Muslim sameones. In history, hadis its always differently responded by Muslim society. Same take its for granted, same take its by considering its quality and validiy either in sanad or in matn, and same refuse it. The fenomenon have has occurred since the Prophet's pass away. It also in Indonesia. Mr. Nurcholis Madjid one of the fanding father have discased about it. In the article, writer intenden to discribe the divelopment of thought in responding hadis in Indonesia society.


A. Pendahuluan

Pada periode pasca perang Dunia II penafsiran dan penilaian Agama Islam, yakni Al-Quran dan Hadis, mengalami perkembangan yang cukup segnifikan. Pembahuran tersebut diakibatkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan, yang menyediakan sarana baru bagi analisis Al-Quran dan hadis dan sebagai kritik terhadap pemahaman dan penafsiran terdahulu yang tekesan tidak kritis. Dengan demikian sikap yang kurang cerdas dan kritis terhadap hadis itu telah dikritik, baik oleh intelatual Islam itu sendiri maupun para Islamolog. Sikap taklid yang terlalu menonjol dikalangan umat Islam dianggap sebagai akibat dari kurang kritis terhadap berbagai hadis dengan mengorbankan nilai-nilai wahyu Ilahi, yaitu Al-Quran. Walaupun sebetulnya gejala seperti ini sudah terjadi jauh sebelum itu yaitu setelah rasul meninggal dunia. Bahkan dua khalifah awal sangat teliti sekali dengan penulisan hadis Nabi atau cerita tentang hadis Nabi, kecuali dengan mengadirkan saksi untuk meperkuat dari periwayatan hadis Nabi tersebut. Alasannya adalah karena dikhawatirkan akan terjadinya pemalsuan terhadap hadis Nabi.
Di akhir abad 19 banyak intelektual Muslim menyuarakan kepada umat Islam untuk kembali kepada Al-Quran dan hadis yang dapat dipertanggung jawabkan secara rasional. Di antara mereka adalah: Mahmud Abu Riyah dari Mesir, Muhammad al-Gazali (1917-1996). Muhammad an-Nuwaih (1917-1980), Muhammad Imarah (1932), Fazlur Rahman (1919 M.) dan lain-lain, yang semuanya mengaju kepada pola pemahaman hadis dengan kaca mata berbeda dengan kebanyakan generasi sebelumnya. Demikian juga Islamolog, seperti Igaz Goldziher, Josep Scahacht, Junboll, dan lain melihat hadis nabi sebagai sebuah fenomena sahabat yang berkembang saat itu.
Seperti pendapat Fazulur Rahaman, yang dikutip oleh Dohan Hendrek Heleniawan, al-Quran dan hadis membawanya kepada menuju suatu usaha ijtihad yang tiada ahirnya. Setelah pintu ijtihad dinyatakan tertutup oleh para ulama terdahulu selama periode berabad-abad lamanya, entah itu dikarenakan karena kemalasaan dan kekakuaan para ulama' sebelumnya, maka pada abad 19 para reformis Islam menyerukan kepada umat Islam bahawa pintu ijtihad kembali dibuka lagi selebar-lebarnya. jika tidak, umat islam tidak akan mampu menjawab tantangan zaman moderen yang semakin tidak terkendali.
Untuk menyebut apa yang bersumber dari Nabi Muhammad, kita tau ada dua istilah yang berkembang di kalangan masyarakat Islam, pertama hadis dan kedua: sunnah. Di luar itu terkadang masih ada istilah lain yang digunakan untuk mengungkapkan makna yang sama, yaitu khabar (berita), dan atsar (peninggalan). Namun kedua istilah ini tidak berkembang. Menurut pendapat yang dominan di kalangan para ahli hadis, terutama dari angkatan baru, sesungguhnya hadis dan sunnah itu memiliki pengertian yang sama, (identik) yang satu bisa digunakan untuk yang lain. Namun jika merujuk pada pendapat para pakar ushul fiqih, kedua istilah tersebut berbeda. Sunnah menurut mereka adalah segala perkataan, perbuatan, dan penetapan Nabi. Sedangkan hadis adalah perkataan, perbuatan, penetapan dan sifat-sifat Nabi. Jadi mereka tidak menganggap sifat-sifat Nabi itu sebagai sunnah sebagaimana yang dianggapkan oleh pakar hadis. Perbedaan definisi ini tampaknya berangkat dari ketidaksepakatan mereka dalam memandang tradisi Nabi. Bagi pakar ushul fiqih, hal-hal yang berasal dari Nabi -selain sifat-sifat beliau- dapat dijadikan sumber hukum Islam, sedangkan bagi pakar hadis, segala yang bersumber dari Nabi perlu dijadikan panutan, terlepas apakah itu mengandung pengertian hukum atau tidak.
Dalam masyarakat Islam di beberapa negara terdapat kelompok-kelompok yang meragukan otoritas hadits sebagai sumber kedua penetapan hukum Islam. Di negara kita misalnya, ada suatu golongan yang menanamkan dirinya kaum "Inkar al-Sunnah". Karena sikap mereka menolak perlunya kaum Muslim berpegang pada sunnah, maka golongan ini menjadi sasaran kritik para ulama dan tokoh Islam. Kontraversi yang terjadi diseputas pengertian hadis sudah lama terjadi di kalangan ulama' terutama ulama' sunni dan mu'tazilah, lalu yang menjadi subtansi dari hal itu tidak tersentuh sama sekali apa subtansi dari hadis dan apa yang menjadi subtasni dari sunnah.
Oleh sebab itu Cak Nur –sebutan akrab dari Nurcholis Majidj- Allah Yarham, Sebagai seorang pemikir dan cendikiawan Muslim yang dapat dikatakan punya kepedulian dan antusiasme yang tinggi kepada Islam, Ia nampaknya tidak mau tinggal diam dalam memberikan kontribusi pemikiran dalam menengarahi (ummat wassatan) apa yang menjadi kontrovesi ulama' seputar pemahaman terhadapt hadis dan sunnah Nabi yang terjadi dari dulu sampai dengan sekarang. Ide dan pemikirannya persis sama dengan pemikiran Fazlur Rahman sang guru, yang juga terkenal sebagai pembaharu dalam dunia Islam. Hal ini wajar karena paling tidak punya hubungan intelektual yang merubah paradigma sebelumnya.

B. Sekilas Tentang Cak Nur

Nurcholish Madjid, atau yang akrab disapa dengan Cak Nur lahir di Jombang, 17 Maret 1939 (26 Muharram 1358), dari keluarga kalangan pesantren. Pendidikan yang ditempuh: Sekolah Rakyat di Mojoanyar dan Bareng (pagi) dan Madrasah Ibtidaiyah di Mojoanyar (sore); Pesantren Darul 'Ulum di Rejoso, Jombang; KMI (Kulliyatul Mu'allimin al-Islamiyah) Pesantren Darus Salam di Gontor, Ponorogo; IAIN Syarif Hidayatullah di Jakarta (Sarjana Sastra Arab, 1968), dan Universitas Chicago, Illinois, AS (Ph.D., Islamic Thought, 1984).
Ia juga Aktif dalam gerakan kemahasiswaan. Seperti Ketua Umum PB HMI, 1966-1969 dan 1969-1971; Presiden (pertama) PEMIAT (Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara), 1967-1969; Wakil Sekjen IIFSO (International Islamic Federation of Students Organizations), 1969-1971.
Karir yang di jalaninya adalah sebagai pengajar di IAIN Syarif Hidayatullah, 1972-1976; dosen pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, sejak tahun 1985 samapai ahir masa hidupnya; peneliti pada LIPI, guru besar tamu pada Universitas McGill, Montreal, Canada, 1991-1992. Fellow dalam Eisenhower Fellowship, bersama isteri, 1990.
Ia banyak menulis makalah-makalah yang diterbitkan dalam berbagai majalah, surat kabar dan buku suntingan, beberapa di antaranya berbahasa Inggris. Buku-bukunya yang telah terbit ialah Khazanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang/Obor, 1984) dan Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, suntingan Agus Edy Santoso (Bandung: Mizan, 1988).
Sejak 1986, bersama kawan-kawan di ibu kota, mendirikan dan memimpin Yayasan Wakaf Paramadina, dengan kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada gerakan intelektual Islam di Indonesia. Dan ia sejak 1991 menjabat Wakil Ketua Dewan pakar Ikatan Cendekiawan Muslim se Indonesia (ICMI).
Nurcholish Madjid, (almarhum) sebagai tokoh pemikir dan cendikiawan Muslim cemerlang yang pernah dimiliki oleh ummat Islam Indonesia, telah banyak menuangkan berbagai macam pemikiraannya tentang umat lewat berbagai karyanya terdapat banyak masalah-masalah yang di ungkapkan baik masalah social, politik, budaya, bahkan masalah pendidikan. Kiprahnya di Indonesia sudah banyak terlihat memberikan kontribusi positip dalam masalah-masalah yang dihadapi oleh bangsa ini. Dalam kiprahnya dalam dunia politik misalnya, tidak bisa diabaikan begitu saja bahkan banyak orang mengangap dan menyebutnya sebagai Nasir muda yang punya ide-ide yang cemerlang dan progresip dalam melihat realitas yang berkembang di masyarakat.
Dengan melihat latar belakang pendidikan yang pernah dilaluinya, sangatlah wajar terjadi perubahan paradigma yang luar bisa terjadi pada dirinya. Hal ini juga sama dengan para pemikir dan inteltual mulsim seperti Fazlur Rahman, Hasan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zaid dan tokoh lainya. Yang kalau boleh disimpulkan dari masing-masing ide dan pemikirannya meminginkan perubahan dalam memahami Islam dengan berbagai macam steressing disana sini. Hal ini dilakukan karena tranformasi dalam segala bidang , yang tidak bisa dibendung lagi. Hal ini berbeda dengan zaman dan tempat dimana Rasul menerima dan menyampaikan pesan-pesan Tuhan. Tetapi yang terpenting dari trasnformasi itu adalah bagaimana spirit dari Al-Quran dan sunnah tetap dikedepankan sebagai acuan dalam menghadapi semangat zaman.

C. Konsep Hadis dan Sunnah Menurut Cak Nur

Pada umumnya orang tidak memandang penting bahwa antara hadis dan sunnah harus dibedakan. Sebab, untuk mengetahui sunnah kita harus membaca buku-buku hadis. Dari membaca informasi buku hadis itulah diperoleh sunnah Rasul. Tetapi paling tidak, perlu diketahui duduk persoalan, mengapa disebut hadis dan mengapa pula disebut sunnah.
Dalam Ilmu hadis, seperti yang telah disinggung diatas, hadis adalah pembicaraan yang diriwayatkan atau diasosiasikan kepada Nabi Muhammad. Ringkasnya, segala sesuatu yang berupa berita yang dikatakan berasal dari Nabi disebut hadis. Boleh jadi berita itu berwujud ucapan, tindakan, pembiaran (taqrir), kebiasaan, dan lain-lain.
Di samping itu ada sebagian ulama’ yang mencoba berspekulasi dengan membenrukan keduannya mengatakan, ia disebut hadis dengan arti "baru" (jadid), karena dihadapkan dengan al-Qur'an yang berkonotasi qadim. Menurut Dr. Shubhi As-Shalih hal demikian tampak mengungkapkan keengganan mereka untuk menggunakan nama hadis untuk kitab Allah, atau mengganti "kalam Allah" dengan "hadis Allah" dengan alasan tata krama. Ini dapat dilihat dari riwayat yang terdapat dalam Sunan Ibnu Majah yang bersumber dari Abdullah bin Mas'ud. Disebutkan bahwa Rasulullah pernah bersabda, "Sesungguhnya hanya ada dua: kalam dan petunjuk. Sebaik-baiknya kalam adalah kalam Allah dan sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Muhammad."
Dalam bukunya al-Sunnah Qabla Tadwin, Muhammad Ajjaj al-Khathib mengemukakan definisi hadis menurut tiga kelompok besar pakar keilmuan. Menurut pakar ulama hadis, yang dimaksud dengan hadis ialah “segala sesuatu yang diberitakan dari Nabi s.a.w baik berupa sabda, perbuatan, taqrir, sifat-sifat maupun hal ihwal Nabi". Sedangkan menurut istilah pakar ushul, hadis adalah "segala sesuatu yang dikeluarkan dari Nabi s.a.w selain al-Qur'an al-karim, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir Nabi yang bersangkut paut dengan hukum syara'." Adapun menurut istilah Fuqaha, hadis adalah "segala sesuatu yang ditetapkan Nabi s.a.w yang bersangkut paut dengan masalah-masalah fardhu atau wajib."
Apabila ditinjau dari segi bentuknya, Ibn al-Subki (wafat 771 H./1370 M.) berpendapat bahwa pengertian hadis, yang dalam hal ini disebut juga sunnah, adalah segala sabda dan perbuatan Nabi Muhammad. Ibn al-Subki tidak memasukkan taqrir Nabi sebagai bagian dari rumusan definisi hadis. Alasannya, karena taqrir telah tercakup dalam af'al (segala perbuatan); apabila kata taqrir dinyatakan secara ekplisit, maka rumusan definisi akan menjadi ghairu mani' (tidak terhindar dari sesuatu yang tidak didefinisikan).
Apabila ditinjau dari segi sanadnya, hadis tidak hanya disandarkan kepada Nabi, akan tetapi juga bisa disandarkan kepada para sahabat dan juga tabi'in. Beberapa istilah seperti hadis marfu' (hadis yang disandarkan kepada Nabi), hadis mawquf (disandarkan kepada sahabat), dan hadis maqthu' (hadis yang disandarkan kepada tabi'in) merupakan bukti akan adanya hadis-hadis tersebut.
Cak Nur dalam hal ini berpendapat dalam kasus ini mungkin terjadi semacam kekacauan akibat kecenderungan masyarakat untuk menyamakan begitu saja antara sunnah dan hadits. Sudah jelas, katanya di antara keduanya terdapat jalinan yang erat, namun sesungguhnya tidaklah identik. Alasan yang dibangun adalah pertama, sunnah mengandung pengertian yang lebih luas daripada yang kedua (hadits). Bahkan dapat dikatakan bahwa sunnah mengandung makna yang lebih prinsipil dari pada hadits. Sebab yang disebutkan sebagai sumber kedua sesudah Kitab Suci al-Qur'an ialah sunnah, bukan hadits sebagaimana sering dituturkan tentang adanya sabda Nabi saw. "Aku tinggalkan di antara kalian dua perkara, yang kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya: Kitab Allah dan sunnah RasulNya. " Tapi menurut Cak Nur sunnah memang tidak dapat dibedakan dari hadits, demikian pula sebaliknya. Jika seseorang menyebut sunnah maka dengan sendirinya akan terbayang padanya sejumlah kitab koleksi sabda Nabi .
Sedangkan pengertian Sunnah, dalam hadis, secara etimologis berarti tata cara. Menurut Jamaludin Ibn Mandhur pengarang kitab lisan al-'Arab - mengutip pendapat Syammar- sunnah pada mulanya berarti cara atau jalan, yaitu jalan yang dilalui orang-orang dahulu kemudian diikuti oleh orang-orang belakangan. Sementara itu al-Razi, penulis kitab mukhtar al-Shihab menyebutkan bahwa sunnah secara etimologis berarti tata cara dan tingkah atau perilaku hidup, baik perilaku itu terpuji atau tercela. Sebuah riwayat hadis yang menguatkan sunnah dalam arti tata cara yang baik atau pun yang buruk ialah. "Barang siapa bersunnah dalam Islam dengan sunnah yang baik maka baginya suatu pahala ditambah pahala orang yang mengikuti tanpa dikurangi sedikitpun pahala mereka (pengikut). Dan barang siapa bersunnah dengan sunnah yang buruk maka ia akan menanggung dosa dan dosa orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka (pengikut) sedikitpun." Dari pengertian ini kemudian timbul ungkapan Sunnah al-Islam, atau Sunnah saja, sebagai lawan dari bid'ah (tata cara yang tidak dikenal dalam Islam).
Jadi secara etimologis antara hadis dan sunnah memang memiliki pengertian yang berbeda. Meskipun demikian, sebagian ulama tetap memandangnya sebagai dua hal yang muradif (sinonim) karena sama-sama bersumber dan bersandar kepada Nabi, hanya saja sunnah lebih khusus, karena ia merupakan soal-soal praktis yang dicontohkan Nabi kemudian berlaku sebagai tradisi di kalangan umat Islam. Menurut Hasbi As-Shidieqy, ringkasnya antara sunnah dan hadis ada perbedaan yang tegas. Menamai sunnah dengan hadis adalah istilah para ulama mutaakhirin saja. Garis perbedaan antara sunnah dan hadis ialah, bahwa hadis konotasinya adalah segala peristiwa yang disandarkan kepada Nabi walaupun hanya sekali saja terjadinya dalam hidupnya, dan walaupun hanya diriwayatkan oleh seorang saja. Sedangkan sunnah adalah sebutan amaliyah yang mutawatir, yakni cara Rasul melaksanakan sesuatu ibadat yang dinukilkan kepada kita dengan amaliyah yang mutawatir pula. Nabi melaksanakannya bersama para sahabat, kemudian para sahabat melaksanakannya. Kemudian diteruskan pula oleh para tabi’in, walaupun lafadz penukilannya tidak mutawatir, namun cara pelaksanaanya mutawatir.
Cak Nur lebih jauh berpendapat Sunnah lebih luas daripada hadits, sunnah tidak terbatas hanya pada hadits. Sekalipun pengertian ini cukup jelas. antara sunnah dan hadits terbentang garis kontinuitas yang tidak terputus, namun mencampuradukkan antara keduanya tidak dapat dibenarkan, karena yang disebutkan oleh Nabi menurutnya adalah berpenoman kepada sunnah setelah Kitab Suci dalam memahami agama dan hal ini merupakan hal yang logis. Yaitu, dalam memahami agama dan melaksanakannya, karena menurut pendapatnya orang Islam tentu pertama-tama harus melihat apa yang ada dalam Kitab Suci, dan baru yang lain. Kemudian. Kedua, harus mencari contoh bagaimana Nabi sendiri memahami dan melaksanakannya. Sedangkan hadits merupakan bentuk reportase ulang atau penuturan tentang apa yang disebabkan Nabi atau yang dijalankan dalam praktek tindakan orang lain yang didiamkan beliau yang dapat diartikan sebagai "pembenaran". Artinya hadits tidak dengan sendirinya mencakup seluruh sunnah secara keseluruhan.
Menurutnya jika sunnah merupakan keseluruhan perilaku Nabi dalam hidupnya, maka kita dapat mengetahui dari sumber-sumber yang selama ini tidak dimasukkan sebagai hadits, seperti kitab-kitab sirah atau biografi Nabi. Sebab, dalam lingkup sunnah sebagai keseluruhan tingkah laku Nabi, harus dimasukkan pula corak dan ragam tindakan beliau, baik sebagai pribadi maupun pemimpin. Dalam kedudukan beliau sebagai pemimpin itulah Kitab-kitab sirah banyak memberi gambaran. Di antara kitab-kitab sirah, termasuk yang sangat dini ditulis oleh Sirah Ibn Ishaq yang kemudian disunting oleh Ibn Hisyam (berturut-turut wafat pada tahun 151 dan 219 H.). Bahkan Sebelum Ishaq, telah muncul berbagai karya tulis tentang riwayat peperangan Nabi yang lazim disebut kitab-kitab al-Maghazi. Kitab-kitab itu, bersama dengan kitab-kitab bioghrafi Nabi yang lain amat penting, karena memuat gambaran tentang perjalanan hidup Nabi khususnya dalam kapasitas beliau sebagai pemimpin. Maka, kitab-kitab itu juga merupakan sumber yang baik untuk memahami sunnah, khususnya, jika yang dimaksud selain tindakan-tindakan Nabi atau sabda beliau yang bersifat terpisah dan ad hoc seperti umumnya tema catatan hadits. Konsep Sunnah Nabi menurutnya harus pula dipahami sebagai keseluruhan kepribadian Nabi dan akhlak beliau, yang dalam kepribadian dan akhlak beliau disebutkan dalam Kitab Suci sebagai teladan yang baik (uswah hasanah)
Seperti yang telah disinggung diatas bahwa munculnya gerakan anti sunnah menurut (meragukan otentisitas dan otoritas kumpulan hadits), menurut Cak Nur merupakan sebutan yang tidak sesuai dengan kenyataan sejarah, mereka sebenarnya tidak mengingkari sunnah, karena ingkar pada sunnah Nabi adalah mustahil bagi seorang Muslim. Tetapi sebutan yang tepat bagi mereka adalah golongan "Ingkar Hadits".
Imam Safi'i (w. 757/H.820 M.) sendiri membagi kelompok yang ingar sunnah menjadi tiga golongan besar.
1. Gologan yang menolak sunnah secara keseluruhan
2. Golongan yang menolak sunnah, secara parsial kecuali bila sunnah itu memiliki kesamaan dengan petujuk Al-Quran.
3. Golongan yang menolak sunnah yang bersetatus ahad.

Daud Rasyid memasukkan ke dalam katagori kelompok pertama yang menolak seluruh sunnah kelompok jama’ah ingkar sunnah yang dipimpin oleh Muhammad Irham Sutarto yang bermarkas di Tasik Malaya, Abduraman dijawa Barat, dan Teguh Esa di Jakarta. Katagori kelompok kedua menurutnya adalah orang yang menerima sunnah sebagai dasar ibadah, mu'amalah dan nikah, tetapi menolaknya sebagai dasar keyakinan terhadap hal-hal yang ghoibat. Karena dianggap tidak masuk akal, seperti tentang isra' dan mi'raj. Golongan yang dikatagorikan ke dalam kelompok ini adalah kelompok Syi'ah Indonesia, dengan Jalaluddin Rahmat sebagai tokohnya. Syah Muhammad al-Gazali dengan bukunya yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan judul "Studi Kritis Atas Hadis Nabi saw. Antara pemahaman Tekstual dan Kontektual" juga memperlihatkan posisinya pada kelompok tersebut. Katagori ketiga, menurutnya adalah kelompok yang menolak sunnah kecuali yang diriwayatkan secara manqul. Masuk dalam kelompok ini adalah Jama'ah Dar Hadis atau Islam Jamaah. Amir mereka, adalah Nur Hasan al- Ubaidah Lubis, mengklim bahwa ia adalah ulama' satu-satunya di Indonesia yang memiliki mata rantai persambungan sannad yang bersambung sampai kepada Rasul Muhammad, Jibril, lalu kepada Allah ulama' lain tidak ada yang manqul sehingga ilmunya tidak sah, dan tidak boleh mengabil atau belajar ilmu dari mereka.
Sementara Hasbi ash-Siddiqie tidak setuju dengan pendapat para ulama' yang menyatakan bahwa yang menolok hadis ahad itu adalah kafir. Menurutnya Jumhur atau mayoritas ulama' menyatakan bahawa orang yang tidak mempunyai I'tiqad yang disandarkan kepada hadis ahad, tidak dapat disalahkan. Ia juga menyatakan banyak ulama' yang berpendapat bahwa mengamalkan hadis ahad yang berkenaan dengan urusan keduniaan hukumnya tidak wajib. Ia mencontohkan pendapat pada al-Qodhi 'Iyadh.
Terlepas dari pembagian ingkar sunnah seperti yang disebutkan diatas, Cak Nur dengan mengutip pendapatnya al-Siba'i, ulama' sunni, mengatakan bahwa pandangan mereka yang menolak hadits ialah bahwa Islam hanyalah al-Qur'an saja, dan bahwa Kitab Suci merupakan satu-satunya sumber penetapan syari'ah disebabkan kepastian otentisitasnya. Sedangkan sunnah (yang dimaksud tentunya hadits) mengandung keraguan dalam keabsahannya sebagai sumber argumen (hujjah) karena terjadi penambahan-penambahan padanya, dan karena adanya banyak kontradiksi dalam sebagian cukup besar nash-nash-nya. Mereka mendasarkan pandangan itu pada hal-hal berikut: (1). Allah telah menegaskan "Tidak ada satu perkarapun yang Kami abaikan dalam Kitab Suci (Q.S. Al-An'am 6:38). Ini menjelaskan bahwa Kitab Suci telah mencakup seluruh prinsip penetapan syari'ah, sehingga tidak lagi ada peran bagi sunnah (hadits) untuk menatapkan hukum dan membuat syari'ah. (2) .Allah menjamin pemeliharaan al-Qur'an dari kesalahan, sebagaimana difirmankan, "Sesungguhnya Kami benar-benar telah menurunkan pelajaran, dan sesungguhnyalah Kami yang memelihara-Nya" (Q.S. al-Hijr 15:9). Hal ini berbeda dengan hadis. (3). Sunnah (hadits) belum dibukukan di zaman Nabi saw. Bahkan secara otentik diceritakan bahwa beliau melarang membukukannya. Hadits juga belum dibukukan di zaman al-Khulafa al-Rasyidun, dan sesungguhnya, pembukuan hadits secara sistematis dan kritis dan dalam skala besar serta pada tingkat kesungguhan yang tinggi baru dimulai pada awal abad ketiga dengan tampilnya Iman al-Syafi'i (w. 204 H), dan baru benar-benar rampung pada awal abad keempat Hijri, dengan tampilnya al-Nasa'i (w. 303 H). Imam al-Syafi'i adalah tokoh pemikir peletak sebenarnya teori ilmiah pengumpulan dan klasifikasi hadits. Teori dan metodenya kemudian diterapkan dengan setia oleh al-Bukhari (w. 256 H), lalu diteruskan berturut-turut oleh Muslim (w. 261 H), Ibn Majah (w.273 H), Abu Dawud (w.275H), al-Turmudzi (.w. 279 H) dan terakhir, al-Nasa'i (w. 303 H). Koleksi mereka berenam itulah yang kelak disebut "Kitab yang Enam" (al-Kutub al-Sittah). Akibatnya, pengertian "sunnah" pun kemudian menjadi hampir identik dengan koleksi hadits dalam "Kitab yang Enam"
Berdasarkan sabda Nabi tentang Kitab dan sunnah di atas, pada prinsipnya ingkar sunnah menurut Cak Nur merupakan sikap yang tidak dapat dibenarkan. Tapi ia menggaris bawahi tentang mereka yang ingkar kepada hadits, sekalipun "jelas tidak dapat dilakukan secara umum" tanpa penelitian tentang hadits tertentu mana yang dimaksud, telah terjadi dalam kurun waktu yang panjang pada golongan-golongan tertentu Islam seperti kaum Mu'tazilah.
Jadi sunnah Nabi menurutnya adalah mengandung segi-segi yang dinamik dan mendasar, dapat lebih banyak diketahui dari Kitab Suci daripada dari kumpulan kitab hadits. Meskipun katanya banyak laporan dalam kitab-kitab hadits yang juga memberi gambaran tentang tingkah laku atau kepribadian Nabi, namun umumnya bersifat adhoc terkait erat dengan tuntutan khusus ruang dan waktu. Jadi poin penting yang harus di catat menurut Cak Nur adalah bahwa dalam memahami sunnah Nabi tidak dapat lepas dari memahami Kitab Suci sendiri. Walaupun al-Qur'an dituturkan dalam kaitan dengan ruang dan waktu atau pengalaman khusus Nabi, namun ajaran moral di balik cerita selalu bersifat dinamik sehingga dapat dengan mudah diangkat pada tingkat generalitas yang tinggi, dengan demikian bernilai universal.
Senada dengan itu apa yang dikatakan oleh Fazlur Rahaman, cendiakiawan asal Pakistan, seperti yang dinukil oleh kang Jalal dalam kumpulan artikel Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah "Berulang kali telah kami katakan-mungkin sampai membosankan sebagian pembaca-bahwa walaupun landasannya yang utama adalah teladan Nabi, hadits merupakan hasil karya dari generasi-generasi Muslim. Hadits adalah keseluruhan aphorisme yang diformulasikan dan dikemukakan seolah-olah dari Nabi, oleh kaum Muslimin sendiri; walaupun secara historis tidak terlepas dari Nabi. Sifatnya yang aphoristik menunjukkan bahwa hadits tersebut tidak bersifat historis. Secara lebih tepat hadits adalah komentar yang monumental mengenai Nabi oleh umat Muslim di masa lampau.
Walhasil, setelah kaum Muslim awal secara berangsur-angsur sepakat menerima sunnah, mereka menisbatkan sunnah itu kepada Nabi saw. Kemudian, mereka merumuskan sunnah itu dalam bentuk verbal. Inilah yang disebut hadits. Bila sunnah adalah proses kreatif yang terus menerus, hadits adalah pembakuan yang kaku. Ketika gerakan hadits unggul, ijma' (yang merupakan opinion publica) dan ijtihad (yang merupakan proses interpretasi umat terhadap ajaran Islam) menjadi tersisihkan".
Untuk memperjelas pemahaman sejarah perjalanan hadis dapat kita sekemakan sebagai berikut, seperti yang dikutip oleh Jalaluddin Rahamat


TELADAN NABI SAW
|
PRAKTEK PARA SAHABAT
|
PENAFSIRAN INDIVIDUAL
|
OPINIO GENERALIS
|
OPINIO PUBLICA (SUNNAH)
|
FORMALISASI SUNNAH (HADITS)


Fazlur Rahaman dalam hal ini memberikan pengertian hadis yang secara harfiah/bahasa berarti cerita, penuturan, atau laporan yang bertujuan untuk memberikan impormasi tentang apa yang dikatakan Nabi, dilakukan, disetujui atau tidak disetujui oleh beliau, para shahabnya terutama sang khalifah yang empat. . Tampaknya definisi ini Rahman sepakat dengan ulama-ulama' lain yang kalau dimutlakkan kata hadis itu sudah barang tentu mengacu pada apa yang dikatakan, diucapkan, dan apa yang menjadi takrir atau ketetapan Rasul dalam hidupnya. Hadis sebagaimana kita ketahui terdiri dari dua komponen yang terdiri dari teks hadis itu sendiri dan orang-orang yang meriwayatkannya atau yang lazim disebut dengan isnad hadis.
Bagi sosok Rahman melihat dua komponen itu tidak terjadi dengan tiba atau dengan kata lain hadis tidak terjadi dengan ucup-ucup bimsalabim ditengah-tengah arena masyarakat tanpa perkembangan sebelumnya, dimana ia tidak hanya mengalami perkembangan tehnis saja tetapi juga materi. . hal inilah yang dikalangan orentalis dikatakan sebagai sebuah fenomena sahabat, yang tidak identik dengan apa yang diucapkan diperbuat oleh Nabi.
Falur Rahaman mengakuai bahwa hadis memang secara wajar diakui telah ada pada zaman Rasul masih hidup secara informal . Namun begitu beliau meninggal dunia hadis yang tadinya dalam tataran informal berubah menjadi semi-formal dan ahirnya menjadi formal .
Dan semua ulama' baik klasik maupun modern mengakui timbulnya hadis ini pada mulanya tanpa dukungan sanad kurang lebih pada pertukaran abad ke 1 H/7 M. sebelum munculnya secara besar-besaran ketika ilmu-ilmu ini tertulis yang formal mulai dirintis jadi menurutnya fenomena hadis itu muncul paling tidak sejah kira-kira tahun 60 H/680 M. terdapat indikasi baik langsung maupun tidak langsung hadis itu secara formal menjadi disiplin istilah dalam Agama. jadi dalam pergaulan para sahabat pada masa Nabi masih hidup para sahabat Nabi memperhatikan apa yang menjadi uswah beliau dalam hidupnya, lalu hal ini menjadi semacam file dalam kepala sahabat yang kemudian hari nanti menjadi sumber inspirsi bagi generasi sesudahnya, mungkin demikian hal yang dapat ditarik dari pemahaman Rahman tentang hadis ini. Jadi keberadaan hadis pada masa berikutnya meruapakan menurutnya meruapakan sebuah fenomena yang disengaja dan penuh dengan kesadaran, hal ini wajar karena generasi sesudahnya akan bertanaya bagaimana sebenarnya akhlak dan tauladan sang Nabi yang diagungkan itu?.

D. Penutup

Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa secara etimologis sunnah berarti perbuatan atau jalan yang pernah ditempuh. Dalam istilah Arab, sunnah berarti “preseden” yang kemudian ditiru orang lain, apakah sezaman atau sesudahnya; tidak dipersoalkan, apakah sunnah itu baik atau buruk. Oleh karena itu sunnah diterjemah dalam bahasa Eropa dengan tradition atau tradisi. Sesuatu dianggap tradisi (dalam Bahasa Indonesia adat istiadat) karena ia diprakarsai oleh individu atau kelompok orang kemudian diikuti atau ditiru oleh orang lain, baik semasa atau pada masa berikutnya. Dan masa Jahiliyah istilah sunnah sudah berkembang dalam pengertian ini. Siapa pun dapat menciptakan sunnah, karena hal itu merupakan hal alaimiyah dalam kehidupan manusia yang dari awal samapi ahir.
Ketika tradisi keteladankan Nabi dalam mempraktekkan agama direkam oleh para sahabat, kemudian diceritakan kepada orang lain, baik melalui lisan maupun catatan, sebagai bahan tuturan yang berupa redaksi (baik lisan maupun tulisan) maka ia disebut dengan “cerita”, dalam istilah Arab disebut hadis. Jadi, sebagaimana yang disebutkan di atas bahwa arti hadis di samping berarti pembicaraan juga berarti sesuatu yang diceritakan. Sedangkan sunnah adalah peraktik dinamik yang pernah dilakukan oleh Nabi ketika masa hidupnya.
Idealnya konsep hadis dan sunnah memang harus dibedakan, baik secara teoritis maupun praktis. Namun mempertajam perbedaan antara keduanya adalah hal yang melelahkan. Sebab bagaimanapun keduanya memiliki sumber yang sama. Yaitu sama-sama disandarkan kepada Nabi Muhammad. Sehingga apabila kita membicarakan salah satu topik (sunnah misalnya), maka kita tidak mungkin melepaskan topik yang satunya (hadis) atau kitab-kitab sirah nabawihah. Kalau kita terus memperpanjang perbedaan, bukankah akan sangat melelahkan. Toh pada akhirnya kita akan terus berputar pada poros yang sama. Maka dari itu biarkanlah para ahli hadis tetap mempertahankan bahwa keduanya memiliki arti yang sama. Karena berita yang benar tentang sunnah merupakan pedoman, dan berpedoman kepada sunnah akan kehilangan kontrolnya kalau tanpa hadis yang memberikan gambaran yang benar tentang sunnah. Dan sunnah merupakan bagian dari materi hadis, sedangkan hadis sebagiannya adalah berita sunnah.
Namun yang perlu dibedakan adalah konsep sunnah dengan tradisi sebelum Islam yang secara generik juga menggunakan Istilah sunnah. Seperti yang diungkapkan Rahman bahwa konsep sunnah itu memiliki dua unsur, pertama, suatu fakta sejarah yang menyatakan tindakan, dan kedua, adanya norma-norma yang terkandung di dalamnya untuk generasi penerus. Sunnah Nabi dalam prakteknya “mungkin” memiliki keidentikan dengan apa yang pernah dilakukan oleh orang-orang di masa jahiliyah, akan tetapi tentunya dari segi normativitasnya betul-betul disandarkan kepada Nabi, dan itulah tentunya yang membedakan tradisi dengan sunnah Nabi yang memiliki kualitas normatif untuk dilaksanakan oleh komunitas Muslim.
Cak Nur dalam hal ini ingin mengatakan kepada kita bahwa Berdasarkan sabda Nabi yang hanya mengatakan " hanya wajib berpegang kepada Al-Quran dan sunnah", sebagai toladan Nabi yang tidak hanya terekam dalam kitab-kibab hadis yang telah ada, tetapi kalau ingin mengetahui toladan atau uswah Nabi secara utuh juga perlu melihat kitab-kitab sirah Nabaiyah yang ada.
Memang antara hadis dan sunnah memang terjadi kontuintas yang tak terpisahkan antara satu dengan yang lain demikian kata Cak Nur, tetapi perbedaan di antara keduanya juga jelas baik secara etimologi maupun teminologi. Namun sesungguhnya tidaklah identik. Yang pertama (sunnah) mengandung pengertian yang lebih luas daripada yang kedua (hadits). Bahkan dapat dikatakan bahwa sunnah mengandung makna yang lebih prinsipil daripada hadits. Sebab yang disebutkan sebagai sumber kedua sesudah Kitab Suci al-Qur'an ialah sunnah, bukan hadits.
Pada prinsipnya mereka yang ingkar kepada sunnah menurut Cak Nur merupakan sikap yang tidak dapat dibenarkan, dan hal ini mustahil dilakukan oleh orang-orang Muslim, terkecuali jika ia sudah kelaur dari Islam itu sendiri. Satu poin penting yang harus di catat menurut Cak Nur adalah bahwa dalam memahami sunnah Nabi tidak dapat lepas dari memahami Kitab Suci sendiri yang berarti sebelum melihat sunnah terlebih dahulu melihat sumber pertama dan utama bagi umat Islam yaitu Al-Quran.
Oleh karena dampak dari masalah ini (pengertian hadis dan sunah ) kata Cak Nur dalam usaha penetapan hukum (tasyri') sangat besar dan penting, maka kajian kesejarahan tentang evolusi pengertian sunnah-yang diungkapkan Nabi meski secara tersirat-diharapkan akan dapat membantu memperjelas persoalan. Dan dalam Perjalanan sejarah perkembangan dan perubahan itu sendiri cukup panjang dan rumit. Tapi jika orang Muslim kata Cak Nur, berhasil melepaskan diri dari dogmatisme yang menerima begitu saja pengertian-pengertian mapan tentang apa yang terjadi di masa lampau, maka dari celah-celah sejarah itu kita akan dapat menarik "benang merah" yang memberikan kejelasan tentang perkembangan dan perubahan itu.
Kalau penulis cermati dari konsep yang dibangun sosok Cak Nur –mengenai sunnah- adalah bahwa untuk mengamalkan Islam yang penting bagaimana Nabi sendiri memahami Al-Quran, sebagai tolak ukur dari ajaran Islam yang dibawanya sendiri. Pemahaman itu akan lahir dari uswah beliau sebagai seorang Rasul yang mengemban amanah dari Tuhan. Usawah yang dalam tanda kutip pemahaman Rasul terhadap Al-Quran, dapat direnterpratasi ulang lagi sesuai dengan situasi dan kondisi dimana umat Islam itu berada, dan tidak terkait dengan masa dan tempat tertentu. Atau dengan meminjam islitilah Rahman dengan teori double movement - bahwa spirit Al-Quran akan selalu hidup dan menjadi pegangan hidup ummat manusia dengan melihat masa sekarang, dan disini, lalu mencoba untuk bersafari kemasa lalu dimana Al-Quran dan sunnah Nabi sempat hidup, lalu di hadirkan kembali saat ini dan disini sehingga nilai-nilai akan hangat dan aktul serta mampu menjawab persoalan hidup manusia secara umum dan ummat Islam pada khususnya. Karena Al-Quran adalah sumber inspirasi dan pentujuk bagi umat Islam yang selau hidup dan dinamis selama manusianya/umatnya kreatip melihat fenomena masyarakat. Demikian tulisan ahir ini penulis buat sudah barang tentu banyak kekurangan disana-sini, saran dan masukan dari Dosen pengampu selalu penulis harapkan. Wallahu a’lam.








































DAFTAR PUSTAKA

Al-Khatib, Muhammad Ajjaj Sunnah Qabla al-Tadwin, Makatabah Wahbah, (Kairo, 1975).
al-Syafi'I, a Muhammad Ibn Idris, al-umm, (tt[, Dar al- Sy'bi,tth.) VII, 250-265.
Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, ((Semarang:Pustaka Rizki Putra, 2001.)
As-Shalih, Subhi, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002).
Azami, Muhammad Musthafa, Metodologi Kritik Hadis,(Jakarta: Pustaka Hidayah,1992).
Azami,.M.M, Hadis Nabawi Dan Sejarah Kodifikasinya, ( Jakarta:Pustaka Firdaus, 2000).
Hasbi ash-Siddiqie, M, Pokok-pokoh ilmu Dirayah Hadis, Jilid I (Jakarta: Bulan Bintang, 1974).
Ismail, M.Syuhudi, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis, Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang,1988).
Johan Hendrik Meulemen, : Pergolokan pemikiran keagamaan, Eklopedi tematis dunia Islam, (Jakarta: PT. Ihtiar Baru Van Houve , th).
Madjid, Nurcholish, Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah Editor: Budhy Munawar-Rachman (Jakart: Paramadina, 1991).
Rachman, Fazlur, Islam, (Jakarta:Bina Aksara,1987).
Rahman, Fatchur, Ikhtisar Mushthalah Hadits, (Bandung: Al-Ma'arif,1991).
Rakhmat, Jalaluddin, Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah Editor: Budhy Munawar-Rachman (Jakart: Paramadina, 1991).
Rasyid, Daud, as-Sunnah fi Indonesia, baina ansyarika, (jakarta : Usamah Press, 2001).
Soetari, H.Endang AD.,M.Si, Ilmu Hadis, (Bandung:Amal bakti Press,1997).
Yaqub, Ali Mustafa, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus,2000).
Zuhri, Muh, Hadis Nabi; Telaah Historis dan Metodologis, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997).
Zuhri, Muh., Telaah Matan Hadis; Sebuah Tawaran Metodologis, (Yogyakarta: LESFI, 2003).

Tidak ada komentar: