Minggu, 04 Januari 2009

Dialektika Antara Kultur dan Agama Terhadap Fenomena Pengamalan Zakat

Dialektika Antara Kultur dan Agama Terhadap Fenomena Pengamalan Zakat di Gunung Sari, Sesela Lombo Barat

A. PENDAHULUAN
Zakat bagi masyarakat muslim diyakini sebagai salah satu rukun Islam yang wajib dilaksanakan. Mereka dengan kesadaran keislamannya yang mengakui bahwa zakat merupakan sedekah wajib dan dianggap sebagai tiang Islam. Seorang muslim yang mengabaikan zakat, diklaim keislamannya tidak sempurna. Jadi, seorang mukmin harus dermawan. Seorang yang mengaku dirinya sebagai seorang mukmin tapi kikir, berarti imannya belum sempurna minimal dipertanyakan. Makna kikir dalam konteks ini adalah mengabaikan zakat. Dalam konteks kikir di sini mengisyarakatkan bahwa zakat berkaitan dengan masalah kesejahteraan sosial atau orang lain dari aspek ekonomi antara pemberi dan penerima. Oleh karena itu, Islam mengaitkan pembayaran zakat yang bernilai ekonomis dengan kesejahteraan umat. Para tokoh Islam memahami fungsi zakat sebagai pendistribusian kesejahteraan umat dan solidaritas sosial adalah sesuai dengan pesan Islam.
Islam telah memberikan prinsip-prinsip zakat yang menyangkut nilai spiritual dan material. Nilai spiritual zakat misalnya, sebagai pembersihan diri muzakki dari sifat kikir dan cinta harta secara berlebihan, pensucian hati dengan menyuburkan nilai kebaikan dan nilai solidaritas antara sesama manusia. Sedangkan nilai materialnya adalah adanya ukuran-ukuran pasti, jenis harta, berapa dan kapan zakat itu harus ditunaikan. Siapa yang berhak menerimanya, yang harus menunaikannya, siapa yang mengurusnya, dan apa sangsi-sangsinya bagi yang melanggar.
Islam telah menentukan kategori penerima, penunai, dan pengelola zakat secara jelas dan gamblang. Namun harus diakui bahwa pada tataran pengamalan dan teknik pengoperasionalnya terjadi fenomena pembayaran zakat yang tidak sesuai dengan aturan yang menyebabkan berkurangnya fungsi zakat itu sendiri secara maksimal. Sebagai ilustrasi, masyarakat muslim mengamalakan zakat sedemikian rupa, sehingga seorang penunai zakat dapat saja menunaikan zakatnya secara langsung, tanpa melalui pengelolanya. Seorang muzakki dapat saja menyerahakan zakatnya kepada para pemuka agama, tokoh masyarakat dan ta’mir mesjid (marbot). Fenomena seperti ini tentu menimbulkan pertanyaan, mengapa hal ini dapat terjadi. Padahal mereka tidak termasuk dalam kelompok penerima secara tekstual. Secara khusus fenomena seperti itu memberikan kesan bahwa (mustahiq) yang akan menerima diberi zakat menjadi subyektif sesuai dengan kehendak para muzakki.
Mayarakat muslim dalam menenunaikan zakat terdapat pola-pola yang unik yang terkesan tidak berdasarkan kaidah agama, akan tetapi terpengaruh oleh tradisi dan struktur masyarakat yang ada. Artinya seorang muzakki yang membayarkan zakatnya kepda guru agama, tokoh masyarakat atau pilihan lainnya, karena sudah menjadi tradisi. Sementara muzakki tidak melihat apakah mereka termasuk dalam delapan golongan penerima, (asnaf mustahiq) yang telah ditentukan Islam. Di sinilah tampak terjadinya kesulitan antara kaidah agama dan praktik pengamalan zakat di masyarakat.
Berdasarkan fenomena pembayaran zakat di masyarakat tersebut, menjadi fokus pembahasan dalam makalah ini adalah bagaimana pemahaman masyarkat muslim dalam membayar zakat sebagai norma Islam, pertimbangan-pertimbangan apa, sehingga para muzakki membayar zakat kepada orang-orang pilihannya seperti guru agama, tokoh masyarakat, merbot (ta’mir masjid), dan apakah masyarakat memahami bahwa zakat, sebagai salah satu ajaran Islam berfungsi sebagai santunan dan pengaman sosial (social security).


B. Pembahasan
a. Pengamalan Zakat di Masyarakat
Berdasarkan observasi menunjukkan bahwa fenomena pengamalan zakat di masyarakat muslim Gunungsari Desa Sesela Dusun Barat Kubur, tampak tidak tepat. Di antara indikatornya bahwa dari satu sisi, fungsi zakat adalah pendistribusian kesejahteraan umat, namun di sisi lain kesejahteraan umat yang diharapkan dari pengamalan zakat belum tampak secara signifikan. Pada prinsipnya masyarakat muslim Lombok secara umum barangkali memiliki kesadaran yang tinggi dalam menunaikan zakat khususnya zakat fitrah. Meskipun diakui bahwa yang menonjol dari kesadaran masyarakat tersebut baru didasarkan pada pemahaman zakat sebatas kewajiban Islam dari aspek hukum fiqihnya, kurang didukung ilmu pengetahuan mengenai zakat secara sosial. Konsekuensinya melahirkan pengamalan zakat dikaitkan dengan ajr surga, dan naar atau siksaan sebagai ancaman bagi yang mengabaikan zakat.
Dari sini tampak bahwa pemahaman masyarakat mengenai zakat secara utuh masih kabur, meskipun pada dasarnya konsep zakat dalam Islam secara normatif sudah jelas. Artinya zakat di satu sisi musti dipahami sebagai dogma Islam, sebagai eksatologi keimanan. Di sisi lain zakat harus dipahami sebagia rukun Islam sebagai komitmen keterlibatan seorang muslim dengan fungsi sosial keislamannya. Untuk mencapai pemahaman yang utuh, zakat musti dikaji tidak hanya melalui teks-teks verbal Islam, tetapi kajian zakat musti menjangkau aspek sosialnya secara luas. Tampaknya masyarakat muslim Sasak pada umumnya dalam memahami zakat masih terbatas dengan konsep yang pertama, sehingga dalam pengamalannya selalu dikaitkan dengan dosa dan pahala.
Jika diilihat dari kaca mata sosial, zakat adalah sebagai pranata sosial. Dalam proses internalisasi, eksternalisasi, dan obyektivasinya zakat sebagai pranata sosial berbaur dengan kultur dan struktur sosial yang ada dan terjadilah pembauran nilai Islam zakat dan nilai lokal sosial. Dengan pendekatan sosiologis, zakat yang berdimensi sosial dapat tersosialisasi dengan nilai-nilai sosial yang ada tanpa mengingkari nilai zakat sebagai pranata sosial religius Islam. Dengan demikian zakat dapat dipahami oleh masyarkat secara utuh.
Di sisi lain dalam hal obyek harta zakat misalnya, pengamalan zakat oleh masyarakat tentunya tidak terlepas dari proses internalisasi pengetahuannya. Stock pengetahuan tentang zakat yang dilatarbelakangi oleh keyakinan hukum Islam yang mutlak dan apa adanya, (tekstual) ketika dilanjutkan pada pengamalannya, maka paham itu mempengaruhinya pula. Dalam mana apa yang ada dalam teks verbal Islam sebagai pranata sosial relegius yang menyangkut muzakki, mustahiq, dan harta wajib zakat misalnya cenderung diterima apa adanya. Artinya masyarakat muslim menerima poin-poin obyek zakat secara tekstual dengan kategori yang telah ada dan sulit menjangkau kategori obyek zakat yang lain. Dengan kata lain, proses internalisasi yang menjadi terbatas pada informasi yang bersifat verbal tekstual dari obyek zakat sebagai stock pengetahuan masyarakat seperti itu.
Pelaksanaan zakat berkaitan dengan muzakki atau pembayar zakat, ada dua yaitu muzakki fitrah dan muzakki maal, meskipun tidak semua anggota masyarakat muslim Dese Sesela dapat menjadi muzakki fitrah dan maal, namun setidaknya seorang muslim adalah muzakki fitrah. Asumsi masyarakat dalam memahami konsep kaya dalam fitrah adalah mereka yang memiliki kelebihan bahan pokok dan berbeda dengan konsep kaya dalam zakat mal, sebagaimana fiqih Islam menyebutkan.
Dalam hal penerima zakat, al-Qur’an menyebutkan delapan kelompok masyarakat yang berhak menerima zakat. Sementara, tidak semua anggota masyarakat menyerahkan zakatnya melalui amil, dan lebih suka membagikannya sendiri. Fenomena ini menunjukkan adanya pengelolaan zakat yang kurang terkoordinasi. Artinya, meskipun masyarakat paham, iman, dan menyadari siapa muzakki dan mustahiq zakat, tampaknya lembaga amil yang ada belum dapat diterima secara penuh oleh masyarakat. Sehingga, pngelola (amil) tidak dapat mengelola zakat secara tepat dan maksimal, dana zakat yang ada tidak dapat dinikmati secara maksimal oleh para mustahiq zakat.
b. Kendala Kultural
Ketika zakat dipahami masyarkat melalui proses internalisasi, kemudian menjelma menjadi pengamalan zakat sebagai bentuk eksternalisasinya, maka dapat saja bentuknya menjadi khas. Kekhasan tersebut dapat saja disebabkan oleh proses dialektis teoritis zakat dengan nilai-nilai masyarakat yang menjadi pranata sosial terakomodasi ke dalam zakat.
Tampaknya masyarakat memberikan nilai yang tidak jauh berbeda antara zakat dalam Islam dengan tradisi, yaitu dalam bentuk pertukaran. Karena adanya persamaan tersebut, maka terjadilah proses pembauran nilai adat dan Islam secara akomodatif dan tidak konfrontatif, sehingga membentuk suatu keyakinan yang kokoh dan utuh sebagai pranata sosial religius zakat. Pengaruh tersebut tidak terbatas pada pemaknaan zakat saja, tapi menyangkut pada fungsi zakat. Sehingga dalam obyektivikasi zakat, disamping sebagi kewajiban Islam, masyarakat muslim menunaikan zakat, fungsinya sebagai imbalan jasa dan budi muzakki kepada tokoh masyarakat, guru agama dan ta’mir mesjid. Ilustrasi terserbut dapat dijelaskan bagaimana muzakki menyerahkan zakat fitrahnya secara langsung. Menurutnya hal itu cukup beralasan karena muzakki telah mendapatkan pengajaran, bimbingan dan perlindungan dalam hidupnya.
Dengan demikian, fenomena penyerahan zakat fitrah oleh seorang muslim kepada tokoh agama, tokoh masyarakat dan ta’mir masjid secara sosiologis tidak dosa, karena penyerahan tersebut didasarkan pada jasa. Ilmu agama yang diperoleh muzakki dianggapnya sebagai jasa para guru agama yang sangat berharga. Penghargaan yang tinggi ini terlepas dari adanya posisi mereka sebagai guru dan adanya ketergantungan masyarakat kepada mereka.
Dengan kata lain bias yang terjadi dalam pengamalan zakat masyarakat kepada guru agama, ta’mir mesjid, dan tokoh masyarakat adalah motivasi dan sebab penyerahan langsung zakat fitrahnya. Artinya jika sebab dan motivasi pemberian zakat yang didasarkan pada norma Islam dipahami tidak demikian, maka pada saatnya nanti penyerahan zakat tidak lagi kepada kelompok yang disebutkan.
Kenyataan tersebut jika diamati, maka sebenarnya memperkuat apa yang dikemukakan oleh para tokoh sosiologi tentang perilaku sosial, yang mana setip perilaku sosial baik yang bersifat individu maupun kelompok didasarkan pada ilmu ekonomi, untug rugi, ganjaran dan hukuman, (reward) yang selalu diharapkan. Mereka mengakui bahwa pertukaran sosial tidak dapat diukur dengan nilai uang, sebab sebagai transaksi sosial dipertukarkan juga hal-hal yang nyata dan tidak nyata. Artinya tindakan masyarakat muslim dalam menyerahkan zakatnya merupakan suatu cermin ketaatan sosial. Meskipun tidak terdapat kontrak apapun di antara mereka, maka justru tidak adanya kontrak itulah yang semakin mendorong masyarakat menyerahkan zakat tersebut kepada mereka. Hal itu karena didorong oleh dasar perilaku manusia yang tidak terlepas dari adanya timbal balik, untung rugi, ganjaran, dan hukum.
Motivasi lain dalam penyerahan zakat fitrah diterjemahkan sebagai investasi dunia maupun akhirat, investasi jangka pendek maupun panjang. Secara sosiologis, muzakki akan dihargai secara normal oleh masyarakat. Nilai keislaman zakat yang telah menjadi kultur sosial tentu mempengaruhi tindakan individu dan kelompok dalam suatu komunitas masyarakat. Pengaruh tersebut tampak pada pengamalan realitas keislaman terbaur secara akomodatif dengan nilai-nilai setempat, sehingga membentuk realitas sosial Islam zakat.
c. Kendala Kepentingan
Islam telah meninggalkan reputasi peradaban bagi umat mnusia, dan sejarah telah membuktikannya sepanjang masa. Sejarawan Hodgson menyebutkan sebagai “The Venture of Islam” yang maksudnya adalah sebuah percobaan merealisir iman dalam sejarah. Iman ini di antaranya adalah mengenai segi-segi univerasalisme yang diwujudkan dalam kenyataan sejarah. Oleh karena itu umat Islam terus mengkaji, meneliti, menerjemahkan reputasi Islam itu melalui al-Qur’an dan Sunnah. Mereka percaya bahwa dengan cara seperti itu nilai-nilai zakat dapat terungkap, kemudian dapat terealisasikan dalam sejarah masyarakatnya di mana ia berada berada.
Zakat Islam sebagai pranata sosial beragama, dalam proses dialektisnya dengan pranata sosial lainnya mengalami berbagai gejolak dan ketegangan akibat terjadinya akomodasi dan kontroversi dari level pemaknaan sampai pengamalannya. Gejolak dan ketegangan dalam proses pemaknaan dan pengamalan zakat ini juga diakibatkan oleh adanya pola-pola kultural. Di sini individu-individu sebagai produk dan sekaligus pencipta pranata sosial peranannya menjadi sangat jelas. Artinya proses dialektis teoritis zakat sebagai pranata sosial yang idealnya putih, bersih dan immutable, namun dalam dunia kenyataan itu tidak telepas dari pencemaran-pencemaran subjektif individu. Namun demikian, diakui adanya unsur-unsur kepentingan individu yang tidak qualified sebagai pencemaran dalam pengamalan zakat. Ilustrasi ini tampak ketika konsentrasi pertimbangan-pertimbangan mendasar pengamalan zakat yang meliputi muzakki, mustahik, dan harta zakat dibelokkan keluar masuk kepada kepentingan kelompok dan perorangan. Kasus pertimbangan seperti nilai tradisi, keluarga dekat, imbalan jasa dapat diterima dalam kategori fakir miskin sama. Namun pertimbangan seperti ini menjadi tidak tepat dan radziah ketika membiarkan fakir miskin, dan memenangkan pertimbangan tersebut, sehingga dana zakat diserahkan kepda guru agama, tokoh masyarakat dan ta’mir masjid.
Ada indikator positif di masyarakat muslim Gunungsari Desa Sesela dengan munculnya lembaga zakat tingkat jama’ah masjid. proses dialektik pengamalan zakat sebagai realitas secara sosial, secara teoritis pada level internalisasi yang disebabkan semakin beragamnya informasi, kemajuan pendidikan yang membawa masyarakat semakin cerdas, dan mulai menipisnya sistem dominasi kepemimpinan agama, mengakibatkan proses eksternalisasi meskipun lambat tapi jelas, melahirkan realitas zakat bernuansa lain dari yang ada. Hal ini sebagai jawaban positif yang diformulasikan dalam proses obyektivasi kelembagaan zakat di masyarakat dalam bentuk kepanitiaan jamaah atau dengan kata lain munculnya kelembagaan zakat secara kolektif dalam bentuk kepanitiaan, adalah merupakan respon positif yang lahir karena analisis kritis terhadap zakat. Analisis-kritis mampu membawa masyarakat mampu membaca pengamalan zakat mereka secara lebih baik dari yang ada, sehingga muncul kesimpulan positif dan negatifnya.
Ketika lembaga zakat ditangani secara individual, tentunya pengaruh individual akan semakin terbuka. Dominasi perorangan dalam panafsiran zakat yang menyangkut harta wajib zakat, mustahik, dan muzakki menjadi dominan. Realitas secara sosial pengamalan zakat yang ada menunjukkan penilaian negatif akibat pengaruh individu yang kuat, dan masyarkat mencoba dengan merespons kepanitiaan zakat secara kolektif. Dengan proses eksternalisasi dan objektivasi kelembagaan zakat secara kolektif ini akan membawa pengaruh dalam proses internalisasi pemahaman zakat masyarakat secara dinamis.

C. Kesimpulan
Masyarakat muslim Gunungsari Desa Sesela dan masyarakat Sasak secara umum menyadari bahwa zakat merupakan satu kewajiban dalam Islam. Hal itu merupakan wadah ketaatan mereka dalam beragama. Tampaknya dari hasil observasi menunjukkan kesadaran zakat tersebut masih sebatas kewajiban Islami dari aspek hukum fiqihnya dan cenderung tekstual dan taklid normatif, sehingga pemahaman masyarakat tentang zakat sebagai pranata sosial dalam dialektisnya membentuk realitas secara sosial. Pengamalan zakat menjadi suatu realitas sosial terbatas pada makna ritual yang tergiring pada pemikiran kosmis transendental, berkait konsep ajr dan azb yang bersifat duniawi maupun ukhrowi dan kurang menyentuh pada aspek fungsi sosial keislamannya.
Fenomena pemberian zakat kepada guru agama, tokoh masyarakat, dan ta’mir masjid merupakan bentuk obyektivasi dari proses internalisasi dan eksternalisasi zakat di masyarakat. Diakui bahwa pengamalan zakat oleh masyarakat menampakkan bentuk formalitas tekstual dan dogmatis ritual dari pada aspek fungsi sosial Islamnya. Oleh karena itu, melalui pendidikan yang didukung oleh berdirinya lembaga amil zakat tingkat jamaah, desa, dan baziz pada tingkat nasional adalah merupakan respons positif yang harus didukung dan diperluas. Wallahu’alam.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

salam kenal dari saya pak dozen, n mohon ijin saya copas dari entri panjenengan...n mohon di perkenankan blog pak dosen saya link di blog saya n bila sudi mohon kiranya blog saya di link balok ye....he...he. ni alamat blog saya http://fathululum-badruns7.blogspot.com ingat pesan eyang kakung sesama bloger di larang saling mendahului....hee..heeeee....trimss