Minggu, 04 Januari 2009

Konsep Cinta Rabi'atul Al-Adawiyah

Konsep Cinta Rabi'atul Al-Adawiyah

Abstraks
There are many apprech of religion have do by intellectual muslim and umma'. One of those are apprechs's tasawuf. Even thougth same of theme are disagree. Rabi'ah is one of the sufi's figure who populere by her teori, it’s named mahabbah. Mahabbah was used since the fisrt man antill now. Rabi'ah's according mahabbah is just to god Allah, no to other. Because all it is secrepture. In side that human is verry interesting not only to meteri, but also to thame self. The love is gift and power from the god in us live. So that the love or mahabbah shoud be usessing by carefully, proporsioanal and professional, for balance and selfes. It’s article describe abaut it teory.


A. Pendahuluan

Berbagai cara ulama dan kaum Muslimin memandang Islam sebagai sebuah agama. Mulai dari pendekatan Teologi-Normativitas, antropologi, sosiologi, filosofi, histories, kebudayaan, dan psikologi dan masih banyak lagi metode dan pendekatan yang lain yang tidak bisa diuraikan satu persatu pada tulisan ini. Semua metode dan pendekatan yang ada merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain dan saling mendukung. Hal ini untuk melihat bahwa Islam agama Islam merupakan agama yang sempurna, yang tidak bisa didekati secara parsial. Untuk mencipatakan sebuah umat yang dalam bahasa Al-Quran disebut dengan insan al-Kamil, maka berislam harus secara kaffah (komprehensif). Kaffah di sini adalah mengintegralkan semua metode dan pendekatan yang ada, lalu berusaha mencari nila-nilai hikmah yang terkandung di dalamnya. Tetapi harus diakui bahwa ulama dan masyarakat terkadang cendrung melebihkan satu corak daripada pendekatan dalam Islam dan melupakan metode dan pendekatan yang lain, sehingga apa yang ia pahami itulah yang benar, seolah kebenaran itu milik diri dan golongongannya sendiri (The Truth is mine), dan tidak ada ruang bagi orang lain di luar kelompoknya.
Salah satu cara pendekatan dalam agama adalah cara pendekatan tasawuf. Tasawuf merupakan satu topik yang kontroversial. Banyak ulama menentangnya, dan banyak juga yang mengakuinya, bahkan mengamalkannya. Fenomena umum beberapa Ustadz bahkan Kiya mencaci-maki tasawuf dengan tarekatnya melontarkan kata-kata yang tidak menujukkan sikap keislaman yang seharusnya, seperti; lancang, sombong, kafir, sesat dan menyesatkan, bida'ah, mistik, khurafat, dan masih banyak ungkatan-ungkapan kotor. Tetapi itulah realita kehidupan keberagamaan manusia. Hal ini tidak hanya di Indonesia bahkan juga di dunia Islam lainya.
Alasan dasar bagi orang-orang yang menentang ajaran tasawuf adalah bahwa ia tidak berasal dari al-Quran dan Hadis nabi melalui ajaran sunnahNya, dan yang paling penting argument yang menolak adalah bahwa praktik-praktik inilah umat Islam menjadi jumud, mundur dan terbelakang seperti yang dilakukan oleh Al-Gazali dan para sufi lainnya.
Dalam tulisan ini penulis akan berusaha memaparkan satu corak pendekatan dalam Islam yaitu; tasawuf, dalam arti tasawuf-filsafati yang lebih menekankan pada sebuah kedalaman hubungan cinta dengan Tuhan, yang menurut manusia biasa tidak akan mungkin terjadi. Karena pengalaman spitual yang tinggi dalam leteratur tasawuf dikatakan mereka yang sudah sampai kepada sebuah maqam tertinggi yang disebut dengan ma'rifah dan mahabbah. Lebih jauh lagi dalam teori tasawuf-fisafati seperti al-Hallaj sudah sampai ke maqam itihad dan khulul, artinya mereka sudah menyatu dengan Sang Bieng itu dan tidak ada jarak yang memisahkan mereka dengan Tuhannya, sehingga ia tidak merasa dirinya sebagai manusia lagi. Kalau ditanya di mana si fulan dia akan menjawab si fulan tidak ada yang ada hanya Allah. Kalau ditanya lagi ia di mana Allah? Di akan menjawab tidak ada Allah yang ada adalah si fulan begitu seterusnya. Dengan konsep tasawuf seperti ini banyak ummat bahkan mengecam ia sebagai model tasawuf yang sesat dan menyesatkan. Barangkali untuk konteks Indonesai Sitti Jenar adalah ikon yang terkenal samapai sekarang. Jadi, dalam pendekatan tasawuf-filsafati ini penulis akan berusha mengkomparasikan konsep cinta menurut al-Quran dan konsep cinta seperti yang dipahami oleh para ahli tasawuf, khususnya Rabia'atul Adawiyah, dan ahli-ahli sufi lainya, yang secara leksikal terdapat persamaan kata tetapi sangat berbeda dalam arti dan penerapannya.

B. Pembahasan

Cinta merupakan anugrah sekaligus potensi besar pada manusia dalam mengarungi kehidupan dunia. Betapa sepinya dunia ini tanpa adanya cinta pada seseorang. Hidup tanpa cinta akan terasa hambar langkahnya, dengan semangat cinta seseorang dapat menyembuhkan orang yang sakit, dapat menimbulkan rasa berani bagi orang yang penakut, dapat membuat orang pelit menjadi dermawan. Cinta yang hangat dapat memberikan harapan-harapan pasti dan menjanjikan sesuatu yang lebih kepada yang dicintainya. Manusia bisa berkembang sampai milyaran di dunia ini karena ada keterlibatan cinta di dalamnya. Kita dapat hidup dan berkembang saat sekarang ini pun karena ada cinta yang dibina oleh orang tua, yang pada kesimpulannya cinta adalah lokomotif dan nyawa dari aktifitas manusia. Paling tidak itulah kata orang yang sedang menjalani dalam kemesraan dengan pasangannya.

1. Pengertian Cinta
Ungkapan pengertian cinta dalam bahasa Arab sering kali mengunakan akar kata hubba yang arti secara leksikal sering diartiakan dengan senang atau girang. Dalam kamus Al-Munjid kata hubba ini diidentikan dengan kata wadda, yang berarti kasih sayang, ragiba fihi, di sisi lain habba diartikan dengan al-fadlu artinya kasih sayang, dalam ungkapan-ungkapan Arab sering terdengar istahabba al-kufra 'allalliman yang artinya melebihkan atau memilih , habba juga bisa berarti syaghafa atau mail yang secara teminologi berarti cendrung. Kemudian dari akar kata ini pula lahir ungkapan ungkapan selain itu, tetapi memiliki makna yang mirip dengan kata itu seperti ungkapan habbaba atau waihabba, juga berarti tumbuh berkembang. Ungkapan orang Arab sering menyebutkan ahabbu zarha' yang berarti tumbuh-tumbuhan (bunga) itu berkembang atau berbuah.
Sementara Imam al-Qusyairy mencoba untuk mentafsirikan kata hubbu itu dari akar kata yaitu haa dan ba. Huruf haa mengisaratkan makna ruh dan ba mengisaratkan makna badan, ungkapan al-Qusyairi bahwa “al-mahbub la yadahkiru 'an mahbubihi la qalbahu wala badanahu” (bahwa orang yang mencintai tidak mungkin menyakiti orang yang dicintainya baik ruhnya maupun badannya).
Dalam kitabnya al-Risalah al-Qusyariyah Imam Qusyairi menambahkan bahwa asal kata hubbu itu terambil dari kata habab yang berarti gelembung yang selalu berada di atas air. Kemudian dari akar kata ini diartikan cinta itu merupakan punjak dalam hati. Dikatakan pula bahwa kata cinta (hubbu) diambil dari kata al-habu, yang berarti anting-anting, alasannya karena anting selalu menempel ditelinga yang melambangkan ketidaktenangan dan selalu dalam kegelisahan karena selalu bergerak, dengan demikian orang yang mencintai selalu gelisah dan tidak tenang. Ada juga yang menduga bahwa kata cita itu berasal dari kata hibbu –dengan kasrah huruf ha-nya, yang berarti kerikil kecil di padang pasir. Kemudian dari akar kata ini berkembang menjadi biji, karena cinta adalah benih kehidupan. Imam Qusyairy terakhir menyebutkan kata cinta boleh jadi berarti sebuah tempat yang penuh air, sehingga tidak ada lagi tempat untuk yang lain.
Dari paparan di atas dapatlah dikatakan bahwa secara etimologi bahwa kata cinta itu berarti senang, suka, melebihkan, cendrung, memilih, tumbuh berkembang, penuh kekegelisahan, dan tempat yang penuh tak tersisa. Dari sinilah munculnya makna-makna baru simotika yang kemudian membawa konsekunsi berbeda satu sama lainnya.

2. Jenis-jenis Cinta
Cinta adalah sebuah pontensi (power), yang tidak hanya positif tetapi juga negatif. Pontensi itu bisa jadi bermamfaat bagi pelakunya, tatapi juga dapat membawa mudarat yang luar bisa bagi dirinya dan orang lain, tergantung kepada pelaku cinta sendiri, (orang yang menjalani cinta). Pertanyaannya kemudian adalah apa sebab-sebab jatuh cinta? Kenapa dia jatuh cinta? dan apa yang didapatkna (tujuan) daripada mencintai. Secara umum, cinta itu dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu cinta kepada Allah dan para utusan serta ajaran-Nya dan cinta kepada selain keduanya (makhluk).

a). Cinta kepada Makhluk Tuhan
Cinta kepada makhluk Tuhan, termasuk kepada sesame manusia, merupakan salah satu daripada fitrah manusia. Kalau seseorang mencintai anaknya, suaminya, keluarganya, tanah airnya, harta benda, kendaraan jabatan, pacarnya dan seterusnya adalah hal yang wajar karena itu bawaan manusia, dan termasuk dalam katagori fitrah Hal ini Allah katakan dalam Al-Quran surat al-Imran ayat 14

 ••      
        
        

Artinya:
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak[186] dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).

Dalam ayat ini, Tuhan menggandengkan kata hubbu itu dengan kata syahwat yang artinya kharakatul an-nasf talaban lil mala'iauw lazati (gerakan jiwa untuk menuntut sesuatu yang lezat dan enak). Dengan demikian kata itu memiliki makna serupa, tapi tidak sama. Serupa dalam arti memiliki kecendrungan untuk melakukan sesuatu atau bergerak, melebihkan atas sesuatu, dan seterusnya. Sedangkan bedanya adakalanya cinta lebih berkonotasi dengan makna-makna positif dan dianjurkan, sedangkan makna konotasi dari syahwat lebih kepada makan negatif dan harus dijahui
Banyak sekali dijumpai ayat-ayat al-Quran bakan dalam Hadis Rasul ungkapan-ungkapan tentang cinta yang maknanya tidak hanya mengandung makan positif maupun negatif. Perhatikan dan renungkan ayat-ayat di bawah ini:
Surat Al-Fajr ayat 19-20
         

Artinya:
Dan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampur baurkan (yang halal dan yang bathil), Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan

Surat Ibrahim ayat 3

         
      
Artinya:
(yaitu) orang-orang yang lebih menyukai kehidupan dunia daripada kehidupan akhirat, dan menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah dan menginginkan agar jalan Allah itu bengkok. mereka itu berada dalam kesesatan yang jauh.

Surat al-Baqarah 165
 ••         

Artinya:
Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah
Surat al-Baqarah ayat 216

             
             

Artinya:
Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui.

Surat ali-Imran 119
           •
           

Artinya:
Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. apabila mereka menjumpai kamu, mereka Berkata "Kami beriman", dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari antaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka): "Matilah kamu Karena kemarahanmu itu

Surat at-Taubah ayat 24
        
       
           
    
Artinya:
Katakanlah: "Jika bapa-bapa , anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan Keputusan nya". dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.


Demikian juga Allah berfiraman dalam surat Al-Fath ayat 29

              
              
            
            
 • •  

Artinya:
Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tanpak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya Maka tunas itu menjadikan tanaman itu Kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya Karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.



Seperti ayat pertama di atas disebutkan kecintaan manusia terhadap binatang-binatang; seperti jenis unta, lembu, kambing dan biri-biri, yang dijadikan sebagai kendaran dan alat kemewahan pada zamannya. Sekarang pun demikian adanya, berbagai jenis kendaraan dari yang paling sederhana sampai yang paling elit dijadikan oleh manusia sebagai fungsi yang sama. Mulai dari sepeda ontel sampai pesawat olang-aling, yang ceritanya dapat mengitari dunia dalam jangka waktu yang cepat, adalah sesuatu yang menjadi kecendrungan manusia untuk memilikinya sekaligus menikmatinya dan dijadikannya bahan kemegahan dan kebanggaan. Semua jenis perhiasan dan kemewahan yang disebutkan Al-Quran itu pada umumnya adalah anugrah Tuhan yang harus disyukuri dengan sebaik mungkin. Manusia pada umumnya senang dan cendrung kepada setiap berbentuk kemewahan, keindahan, kenyamanan dan hal-hal yang menakjubkan. Kalau dikaji secara teliti apa makna hisanan itu? Dan mengapa hati manusia senang dihiasi dengan perhisan yang sifatnya temporer? Dan mengapa Allah katakan dalam al-Quran bahwa hidup di dunia ini hanya semenatara dan permaninan belaka?
Inilah yang menjadi masalah dalam bahasan ini, perbedaan makna cinta dalam al-Quran dengan konsep cinta yang dipahami oleh kalangan tokoh sufi yang cara pandangnya sendirinya berbeda dari kebanyakan umat manusia pada umumnya.

b) Cinta kepada Allah dan Rasulnya
Seperti yang telah diungkapkan di atas bahwa makna dasar dari cinta adalah senang, melebihkan dari yang lain sampai makna gelisah yang sangat. Semangat mencintai itu dimenifestasikan kepada Allah dan Rasulnya dengan berbagai macam cara, baik yang disepakati atau tidak cara seperti itu oleh komunitas umat Islam. Misalnya saja dalam rangka mencintai Rasul, dalam Hadis yang diriwayatkan oleh shahih Muslim dan musnad Imam Ahmad mengatakan:
“Pada suatu ketika salah seorang sahabat bernama Ummu Sulem yang pada suatu saat pernah menampung keringat Nabi dengan botol pada waktu sedang tidur, ketika Rasul bangun dari tidur, Rasul bertanya kepada orang itu apa yang kamu lakukukan? Ia menjawab ya Rasulullah kami mengharap barkah buat anak-anak kami? Mendengar jawaban tersebut Rasul menjawab, engkau benar”.

Demikian juga sebagian riwayat menceritakan bahwa darah dan kencing Rasul diminum oleh sahabat, melihat hal itu Rasul menjawab “engkau tidak akan pernah masuk ke dalam neraka, karena darahku bercampur dengan darahmu” bagi sabahat yang minum kencingnya Rasul ia menjawab “engkau tidak akan terkena penyakit perut”. Demikian kira-kira inti dari Hadis Rasul yang sebagian sahabat memenifestasikan cintanya kepada Rasul, bukan saja secara nilai-normatif penuh kewajaran, tetapi juga secara fisik pun mereka lakukan sebagai wujud dari mengabdian dan kecintaan kepada sang Rasul.
Certia yang sama pula tentang Khalid bin Walid seorang panglima perang di zaman Rasul, konon ada rambut Rasul ditaruh pada ikatan surbannya, keberkahan dari rambut Rasul itu menjadi modus utamanya. Untuk konteks sekarang ini pun masih tampak merata di dunia Islam, di mana jutaan kaum mulimin pada musim haji berebutan mencium dinding pusara Nabi, yang disertai dengan isa tangis mengenang bagaimana perjuangan dan keperibadian Rasul yang tercinta.
Untuk kalangang Indonesia, berbagai macam hari perayaan hari Raya keagamaan seperti Maulidan, Rajaban, Sawalan, Nuzul al-Quran, Muharam, menziarahi kuburan Nabi dan para wali, dan orang-orang shalih lainya, merupakan ungkapan menifestasi dari cinta kepada Allah dan Rasulnya. Pelaksanaan seperti ini tidak mungkin dihentikan atau dilarang, sementara bagi pelakunya hal ini merupakan pekerjaan yang sangat terpuji dan mendapatkan pahala di sisi Allah.
Satu hal lagi yang sering dilakukan oleh kaum muslimin, sebagai ungkapan menifestasi cinta kepada Rasul adalah melazimkan sebutan nama Nabi saw. melalui bacaan shalawat kepadaNya dan keluarga. Unkapan shalawat ini tidak hanya dengan menyebut secara linsan dan besifat individu, tetapi dengan gubahan sa'ir dan prosa dalam lirik-lirik nasid sering menghiasai berbagai macam acara-acara keagamaan di tanah air.
Jadi, dengan mencintai Rasul, Ahlul bait dan para sahabatnya akan memancar kepada Allah rabul 'alamin. Logika mereka adalah bukankah beliau-beliau tersebut adalah makhluk yang paling dekat dan dikasihi dihadiratNya bahkan sebagian kaum muslimin mempercayai sebauah Hadis yang kualitasnya diragukan.
Sebelum lebih jauh menguraikan masalah yang berkaitan dengan pengalaman para sufi dalam petualangan spritualnya, alangkah baiknya kita ketahui bahwa bibit ajaran sufi ini sebetulnya sudah ada pada zaman Rasul dan para sahabat terdahulu, hanya saja belum terlembaga seperti zaman sesudahnya, ia belum begitu nampak dan tidak ada istilah tasawuf secara eksplisit disebutkan pada Hadis Nabi. Tetapi secara rill dan sesuai dengan bukti sejarah bahwa Rasulullah sendiri di samping sebagai seorang Rasul, juga sebagai panglima perang, pemimpin Negara, dan Hakim Tinggi yang lazimnya dengan jabatan tinggi seperti tersebut seseorang dapat dipastikan penuh dengan kemewahan dan kemegahan. Tetapi Rasul lebih memilih hidup bersahaja. Konon pada waktu Rasul masih hidup pun sudah ada segolongan kecil beberapa orang saja, masyarakat yang suka tinggal di masjid untuk berkhaluat, berusaha berkonenplasikan mengabdi, dan beribadah kepada Allah secara total.
Selanjutnya setelah Rasul meninggal dunia tampuk pemerintahan dipegang oleh empat orang khalifah Abu Bakar, Umar bin Khatab, Usman bin Affan dan Ali. Pada masa dua dari akhir khalifah tersebut terjadi perpercahan umat di sana-sini. Pada saat-saat kritis seperti ini muncul sosok sahabat Nabi yang menilai bahwa kehidupan sosial-politik dan keagamaan umat sudah mengarah kepada pertumpahan darah antarsesama, perang saudara sudah tidak bisa dihindarkan lagi, maka mereka pun memisahkan (I’tizal) diri dari pergumulan sosial-politik dan mengasingkan diri lalu membentuk semacam kelompok untuk menyatukan visi dan missi mereka. Nama sahabat ini adalah Abu Zhar Al-Giffari. Pada saat itu nama tasawuf belum terdengar dikalangan umat Islam sosok Abu Zhar yang menjadi pantutan pertama secara formal menjadi tokohnya dan diikuti oleh ulama generasi berikutnya, seperti Hasan Bisri, Rabi'ah Al-Adawiyah Sufyan as-Saury dan lain-lain. Gerakan tasawauf mula-mula bersifat perseorangan menjadi kolektif, yang semula berasal dari akar masalah politik berubah menjadi murni masalah keagamaan.
Pada umumnya ajaran tasawuf ini terbagi menjadi dua, ada juga ulama membaginya menjadi tiga, tapi intinya sama. Yang membagi menjadi dua, yaitu tasawuf yang bercorak filsafati dan akhlaki, sedangkan ulama yang membagi menjadi tiga menyebutkan antara lain tasawuf filsafati, akhlaki dan amali. Untuk membahas ini secara mendetil wancana ini membutuhkan kajian yang dalam dan luas.
Dalam dunia sufi ada beberapa station (maqam) yang harus dilalui oleh seorang suluk namun di antara mereka masih ada perselisihan mengenai jumlahnya. Tetapi yang jelas, paling tidak ada tujuh station (maqam) yang harus dilaluinya seorang suluk untuk bisa sampai kepada Tuhan. Seperti yang disadur oleh Prof. Simuh dari Harun Nasution dalam bukunya Falsafahat dan Misticisme dalam Islam. Ketujuh syarat ini adalah: pertama, adalah taubat. Maqam ini adalah pintu gerbangnya sebuah perjalanan spiritual. Tetapi ada perbedaan besar antara taubatnya orang awam dengan orang-orang tertentu (khawas). Kalau orang awam itu tobat dari perbuatan dosa, sedangkan taubatnya orang khawas bukan dari dosa tetapi dari kelalaian sekejap dari mengingat zat Allah. Puncak daripada taubatnya orang khawas ini adalah taubatul min taubah (yakni mentaubati terhadap kesadaran keberadaannya dirinya dan kesadaran akan taubatnya sendiri.
Kedua, adalah wara yang berarti meninggalkan segala macam bentuk ketidakjelasan asal-usulnya. Hal ini dilakukan untuk menjaga dari unsur-unsur yang syubhat, apalagi haram. Ketiga, maqam zuhud: Perbedaan pengertian antara zuhud dan wara tipis, namun wara itu berusaha menjaga diri dari ketidakjelasan, sedangkan zuhud pada dasarnya menghindari diri dari segala yang tidak jelas sekaligus zuhud dalam pengertian luas adalah menghindari atau melepas hati dari ikatatan yang bersifat duniawi. Keempat, adalah fakir yaitu sebuah maqam di mana ia telah mengosongkan atau memalingkan diri dari kehidupan ini demi masa depan (akhirat) dan tidak menghendaki apa pun selain Tuhan yang mengusai dirinya. Sehingga dirinya tidak mengaku punya apa-apa yang ada hanyalah kepunyaan Allah. Kelima, adalah Sabar, yaitu mengendalikan diri untuk mengamalkan hal-hal negatif lainya. Dalam dunia sufi sabar dengan fakir merupakan teman akrab yang sulit dipisahkan. Karena seseorang bisa berkomunikasi dengan Tuhann-nya harus telebih dahulu fakir, sehingga hidupnya dilanda oleh berbagai penderitaan dan kepincangan, maka harus melangah kemaqam sabar. Keenam, adalah tawakal. Tawakal dalam dunia sufi berbeda dengan tawakal dengan dunia syari’ah yang mendahului kehidupan dengan berusaha semaksimal mungkin baru menyerahkan diri pada Tuhan dengan berdoa. Dalam dunia sufi tawakal adalah sebagai wasilah atau tangga untuk memalingkan dan mensucikan hati manusia agar tidak terikat dengan atau tidak memikirkan keduniawian atau apa saja selain Allah. Ketujuh. Adalah maqam ridha. Jadi setelah melewati station ridha seseorang sufi secara bulat-bulat diserahkan rahmat dan pemeliharannya kepada Allah, meninggalkan dan membelakangi segala keinginan terhadap segala apa saja selain Allah. Oleh karena itu hati harus ditata sedemikian rapi untuk mencapi maqam ini. Dari maqam ini kemudian akan berubah segala macam penderitan, kesengsaraan, kepedihan hati, kegundahan, dan rasa-rasa yang tidak mengenakkan menjadi kegembiraan dan kenikmatan semata. Imam Gazali mengatakan, seperti yang dikutip oleh Prof. Simuh, bahwa orang yang radhi, pelaku ridha, akan puas dengan apa yang terjadi pada dirinya.
Sebenarnya masih banyak station-station atau maqam yang belum disebutkan di sini, tetapi yang ingin diketengahkan sebagai fokus tulisan ini adalah seorang tokoh sufi perempuan yang terkenal dengan konsep cinta, dalam pendekatan spirtualnya.
Rabi'atul Adawiyah seorang sufi besar pada masanya. Ia dikenal sebagai penggagas konsep cinta dalam ajaran tasawuf. Pada umumnya cinta yang dikembangkan oleh Rabi'ah ini terdiri dari dua macam pertama cinta rindu dan kedua adalah cinta semata kerena Dia (Allah) berhak dan hanya Dia yang paling berhak dicintai.
Dasar yang menjadi rujukan konsep cinta dalam ajaran Tasawuf ini adalah ayat-ayat Al-Quran diantranya.

Surat al-Baqarah 165.
            
•    •   


Artinya:
Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu[106] mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal)

Demikian juga surat al-Ma'idah ayat 54.
             
    •      
              

Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah Lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.

Imam Qusyairy dalm tafsirnya mengatakan salah satu dari ciri orang yang mencintai adalah meberikan keseluruhan dirinya walaupun dirinya sendiri harus hancur dalam kecintaanya. Dan kecintaan Tuhan kepada hambanya adalah mengharapkan kebaikannya dan kelembutannya, si hamba mengharapkan kelebihan khusus, dan keadaannya selalu memuji dan menyanjung Tuhan.
Tingkat zuhud yang sudah diperaktekkan sufi sebelumnya oleh Hasan Basri yaitu konsep khauf dan raja' (yaitu penuh rasa takut dan penuh harap), seolah telah dinaikan lagi tingkatan kesulitannya menjadi zuhud plus cinta. Karena cinta yang suci murni lebih tinggi derajatnya daripada hanya sekerdar takut dan berharap, cinta tidak mengaharapkan apa-apa kecuali hanya Dia.
Menurut riwayat Imam Sa'rawi sebagaimana dikutip oleh Hamka bahwa ketika seseorang menyebut azab neraka di depannya dia langsung pingsan dan setelah siuman ia berkata: saya mesti minta ampun lagi daripada cara minta ampun yang pertama. Kemudian Sya'rawi berkata “sajadah tempatnya sujud selalu basah oleh air matanya.”
Cinta murni kepada Tuhan itulah puncak daripada tasawufnya Rabi'ah, maka untuk mengekpresikan cintanya ia sering berpuisi dan berprosa dengan ungkapan-ungkapan yang menurut manusia biasa tidak bisa menerima dan melakukan itu, tapi itulah Rabi'ah dengan pengalaman spitualnya yang tinggi.
Di antara gubahan bait sai'ir Rabi'ah Al-Adawiyah sebagaiman dikutip oleh Hamka dalam bukunya sebagai berikut.
Aku cinta padamu dua macam cinta, cinta rindu dan cinta
Karena Engkau berhak menerima cintaku
Adapun cinta karena Engkau
Hanya Engkau yang aku kenang tiada yang lain
Adapun cinta karena engkau berhak menerimanya
Agar engkau bukakan bagiku hijab
Supaya Aku dapat melihat engkau
Pujian atas kedua perkara itu bukanlah bagiku
Fujian atas kedua perkara itu adalah bagimu sendiri
Ku jadikan Engkau teman bercakap dalam hatiku
Tubuh kasarku biar bercakap dengan yang duduk
Jisimku biar bercengkrama dengan taulangku
Isi hatiku hanya tetap Engkau sendiri
Engkau durhaka kepada Tuhan di dalam batin
Tetapi di lidah engkau menyebut taat kepadanya
Demi umurku ini buatan yang amat ganjil
Jika cinta sejati tentu engkau turut apa perintah
Karena pecinta kepada yang dicintai taat dan patuh
Yaa Ilahi! Jika kiranya aku beribadah kepadamu karena
Harap masuk Surga, biar jauhkan dia dariku
Tetapi jika aku beribadah kepadamu hanya semata-mata
kerena cinta kepada engkau, maka janganlah engaku ya !
Ilahi, haramkan aku melihat Zat Yang Azali
Aku menyembahnya bukan karena aku takut akan nerakanya
Dan bukan karena ingin surganya sehingga perangaiku
Tak ubahnya seperti penerima upah yang jahat, tetapi aku
Menyembahnya adalah semata-mata karena cinta kepadanya
Dan rindu sedalam-dalamnya yang tak habis-habisnya.

C. Percikan-percikaan Cinta para Sufi

Sebetulnya tokoh-tokoh sufi dengan teori kesufiaannya, sesuai dengan pengamalan tertualangan spitualnya, telah banyak mengemukakan hal yang sama pula. Di bawah ini penulis uraikan makna-makna cinta menurut para sufi yang yang bersifat filsosofi selain Rabi'ah sebagai pencetus konsep cinta kepada Tuhan, antara lain:
1. Abu Yazid Al-Bustami berkata ‘cinta adalah menganggap sedikit pemberian yang dikeluarkan dan menganggap banyak pemberiaan kekasih walaupun sedikit’.
2. Al-Junaidi pernah ditanya tentang arti cinta ia menjawab ‘cinta adalah masuknya sifat-sifat kekasih pada sifat-sifat yang mencintainya’. Maksudnya orang yang mencintai itu selalu memuji dan mencintainya.
3. Asy-Sybli berkata cinta itu adalah ‘menghapus hati dari ingatan semua selain yang dicintainya’
4. Yahya Bin Muadz berkata ‘cinta adalah tidak bisa berkurang karena kurangnya pemberian dan tidak bisa bertambah karena kebaikan yang diberikan kepadanya’.
5. Muhammad bin Ali Al-Kattani berkata ‘cinta adalah harus lebih mengutamakan yang dicintai’.
6. Abu Ya'kub al-Susi berkata ‘hakikat cinta adalah itu terwujud jika seorang hamba mampu melukapakan bagiannya dari Allah dan melupakan kebutuhan-kebutuhan kepada Allah’.
7. Muhammad bin Al-Fadhal Al-Farawi berkata ‘cinta adalah runtuhnya semua cinta dalam hati kecuali kepada kekasih (Allah)’.
8. Abu Bakar r.a seperti yang dikutip oleh Al-Gazali dalam kitabnya al-Mahabbah wa asy-Syauq mengatakan ‘barang siapa merasakan kelezatan kecintaan yang murni kepada Allah, niscaya akan disibukan dengan urusan iu daripada sekedar mencari dunia dan disingkirkan dunia’.
9. Al-Hasan mengatakan bahwa ‘barang siapa yang mengenal Tuhannya niscaya mencintainya. Dan barang siapa mengenal tabiah dunia secara detail niscaya ia akan berzuhud daripadanya’.

C. Analisis dan Kesimpulan

Kelezatan mata terletak pada pandangan-pandangan yang indah, cantik, elok dan menawan. Kelezatan telinga terletak pada lagu-lagu yang asik, merdu, dan rayauan-rayuan manis bagi seorang yang sedang bercinta. Kelezatan daya cium terletak pada daya bau-bauan yang harum, kelezatan rasa teletak pada makanan dan minuman, kelezatan raba terletak pada kelembutan halus. Demikian pula kelezatan dalam tanda kutip mencintai wanita terletak pada pandangan dan perabaan yang bersumber dari indra. Lalu yang menjadi masalah adalah bagaimana mencintai Allah yang bersifat non-materi sementara manusia yang bersifat materi? Bagaiman mungkin mencintai Allah yang tidak dapat dirasakan oleh indra seperti yang diungkapkan di atas? Dalam hal ini Al-Gazali dalam kitabnya al-Mahabbah wa asy–Syauq menjelaskan pandang mata matin (al-bashiyah al-batiniyah) atau intuisi lebih kuat dibandingkan dengan pandangan indra (al-bashriyah al-zhuriyah).
Memperhatikan dari ayat-ayat Allah seperti yang disebutkan di atas, bahwa cinta dalam konsepsi pertama merupakan potensi dan fitarah manusia. Allah menghiasi manusia dalam kehidupannya cendrung, gemar, memilih dan merasa gelisah kepada materi, sebab ia di samping terdiri dari ruh juga materi. Maka pantas senang kepada setiap kesenangan fisik atau materi. Hiasan -dalam arti kesenangan kepada materi- itu bersifat sementara dan aksidental dan bukan tujuan dari hidup sesungguhnya, ia adalah alat dan bukan tujuan. Hiasan lebih berkonotasi tambahan luar yang bertujuan untuk membubuhi dan memperindah supaya terlihat indah. Terlalu cendurung kepadanya merupakan ketidakprofessionalan dan menyalahi fitarahnya sendiri. Sedangkan konsepsi kedua, (konsep cinta yang hakiki) menurut para ahli tasawuf adalah cinta yang bermuara kepada Allah, kerena Allah yang pantas untuk mendapatkan cinta, bukan yang lain. Pengalaman spiritual seseorang bersifatnya subjektif dan tidak bisa diverfikasi secara empiris, tetapi sangat berpengaruh dalam jiwa pelakunya.
Rabi'ah al-Adawiyah adalah seorang penggagas konsep cinta pertama kali dan dikerjakan secara teroranisir secara rapi. Dalam kidung-kidung sufinya, Rabi'ah sering mengekpresikannya dalam bentuk puisi dan prosa seolah semua kecintaan tumpahkan secara mutlak untuk mencitai sang Tuhan. Hidupnya hanya diisi dengan zikir, tilawah dan mengajar secara teratur sampai ia meniggal dunia dalam keasikannya cintanya kepada Tuhan.
Cinta memang satu kata, namun penuh makna dan pada dasarnya amat mulia. Umat sepakat mencintai Allah dan Rasulnya, namun kesepakatan itu terkadang hanya dalam tataran teori-oral semata, menentara prkatik terkadang banyak yang terlewatkan. Padahal kalau ditelaah lebih jauh ayat-ayat di atas Allah akan mencitai orang yang mencintainya, Menurut Al-Qusyairy dalam kitab Risalah¬-nya bahwa rahmat adalah keinginan Allah kepada hambnya berupa nikat-nikmat, sedangkan cinta lebih khusus daripada rahmat, karena keinginan Allah untuk menyampaikan pahala dan nikmat dengan kedekatan dan kedudukan yang tinggi. Lalu kata kita bertanya bagaimana supaya dua konsep cinta itu didapat? Menjawab pertanyaan seperti ini amatlah mudah tetapi sukar melaksanakannya, yakni mengembalikah hakikat konsepsi cinta pada tempatnya (sesuai fitrahnya), dengan cara memebikan ruang untuk mencintai materi dan menyediakan raung khusus untuk mencitai sesuatu yang lebih tinggi dari materi. Harapan penulis bagi yang membaca tulisan ini bisa menjadi sufi-sufi yang berwatak dunia dan berhati akhirat, amin.






























DAFTAR PUSAKA

Abd Karim ibn Hawazan ibn Abd Malik Al-Qusyairy Al-Nisab Abi Qasim, Risalah Qusyairiyah fil ilmi Tasawuf pentahqiq Mahfuz Zariq dan Ali Abdul Hamid Baltajy, (Jakarta : Pustaka Amani 1998).
Abd Karim ibn Hawazan ibn Abd Malik Al-Qusyairy, Al-Nisabury, Abi Qasim, Al-Syafi'i, Tafsir Al-Qusyairy, ( Lubnan: Dar-alKotub Al-ilmiyah, 2000 ).
Al-Gazali, Abu Hamid, Al-Mahabah wa asy-syauq, terjeham oleh Abu Asma Al-Anshori, ( Jakarta: Pajimas, 1995)
Al-Hazimi Al-Taftazani, Abu Wafa', Sufi dari zaman kezaman, (Bandung : Pustaka 1985).
El-machreq sarl, Der , kamus Munjid ( Lebnan: Riayad el-Solh 2002),
Hamka Taswauf Perkembangan Dan Pemurniannya (Jakarta : Pustaka Panjimas 1994),
Partadiraja, Ace, Tasawuf sebagai sikap keagamaan dalam kumpulan makalah yang di idit oleh Mahfud MD. ( Jogyakarta: UII Press 1997),
Rahmat, Jalaluddin, Relung-Relung sufiistik-membuka tirai kegaiban-, (Bandung: Mizan, 1998).
Ya'qub, Hamzah, tingkat ketenangan dan kebahagian mukmin, (Jakarta : Pustaka Atsia 1992).

Tidak ada komentar: