Minggu, 04 Januari 2009

Kisah Air Zam-Zam

Resensi

Oleh : Munawir Haris
Judul buku : Kisah Air Zam-Zam
Penulis : Muhammad Al-Mighwar, S.Ag.
Penerbit : Al-Hambra
Cet. ketiga : 2002

Air Zam-zam adalah air sumur yang terletak di dekat Masjidil al-Haram di kota Makkah, sering juga disebut dengan sumur Ismail, karena kisah Isma’il dan Ibunya Siti Hajar. Kata ini secara etimologi berarti mengumpulkan, menjaga, sesuatu yang didengar suaranya dari jauh, melimpah ruah, dan meminum seteguk air. (Ensiklopedi Hukum Islam : Jakarta PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2001). Asal usul air zam-zam tidak bisa terlepas dari peristiwa bersejarah yang penah dialami oleh Nabi Ibrahim as. dan Siti Hajar dan anak mereka, Ismail as. Para ahli sejarah dan tafsir mengatakan, bahwa asal usul air zam-zam itu bermula dari peristiwa yang dialami oleh Siti Hajar dan anaknya Ismai’il yang baru lahir. Mereka ditinggalkan oleh Ibrahim AS. di suatu tempat ysng sepi, terbuka dan tandus. Di tempat itu tidak ada air untuk diminum, tidak ada buah untuk dimakan, dan tidak ada orang yang dimeminta pertolongan. Setelah perbekalan makan dan minuman yang dibawa habis, Isma’il merasa kelaparan dan kehausan. Maka, sebagai seorang ibu, Siti Hajar tidak tahan melihat anaknya dalam keadaan demikian, lalu berinisiatif meninggalkan anaknya sendiri. Ia pergi mencari air, berjalan antara bukit Shafa dan Marwah yang berjarak kira-kira 500 meter, dengan satu harapan ada kafilah pedagang yang membawa air, dan bisa membantunya untuk menyelamatkan anak yang masih kecil. Itulah doa dan harapan dari seorang ibu yang punya kasih sayang dan tanggungjawab. Setelah tujuh kali ke bukit Shafa dan Marwah, ia tidak menemukan air yang ia cari. Sementara suara tangis anaknya semakin keras memilukan. Dalam keadaan darurat, ketika Hajar turun dari bukit Marwah untuk melihat nasip anak kesayangannya, tiba-tiba ia melihat sekor burung sedang menggali tanah di antara kedua kaki Isma’il, sampai kemudian muncullah air dari bawah tanah. Dalam hatinya jutaan rasa syukur ia ucapkan kepada Tuhan yang telah memudahkan semua urasan-urusan hambanya. (Disarikan dari HR Bukhari).
Umat Islam tidak boleh melupakan sejarah penting dalam agama ini. Sejarah yang baik adalah sesuatu yang tetap dan mempunyai nilai positif dalam meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai ajarannya. Memahami makna ibadah haji, membutuhkan pemahaman secara khusus sejarah Nabi Ibrahim dan ajarannya, karena praktek-praktek ritual ibadah ini dikaitkan dengan pengalaman yang dialami Nabi Ibrahim as. bersama keluarganya. Ibrahim as. dikenal sebagai "Bapak para Nabi" dan "Bapak monotheisme" serta "Proklamator keadilan Ilahi" kepada-Nya merujuk agama-agama samawi terbesar selama ini. Makna-makna tersebut dipraktekkan dalam pelaksanaan ibadah haji dalam acara-acara ritual atau dalam tuntunan non ritualnya, dalam bentuk kewajiban atau larangan, dalam bentuk nyata atau simbolik, kesemuanya pada akhirnya mengantar jama’ah haji hidup dengan pengamalan dan pengalaman kemanusiaan yang elegan dan universal. Makna-makan haji antara lain:
Pertama, ibadah haji dimulai dengan niat, sambil menanggalkan pakaian biasa dan mengenakan pakaian ihram, dua helai pakaian berwana putih. Semua harus memakai pakaian yang sama, hingga semua merasa dalam satu kesatuan dan persamaan. Pakaian berwarna putih-putih ini, mengingatkan manusia bahwa akan dibalut tubuh kasar, ketika mengakhiri perjalanan hidup di dunia ini. Kedua, Ka'bah yang dikunjungi mengandung pelajaran yang amat berharga dari segi kemanusiaan; yaitu hidup dengan bersahaja, rumah tidak perlu megah-megah yang menyebabkan manusia sombong dengan apa yang dimiliki, dan lupa akan Tuhan-nya. Ketiga, thawaf menjadikan pelakunya larut dan berbaur bersama manusia-manusia lain, memberi kesan kebersamaan menuju satu tujuan yang sama yakni berada dalam lingkungan Allah swt dilakukanlah sa'i. Di sini muncul lagi sosok Hajar. Hasil usaha pasti akan diperoleh, baik melalui usahanya maupun melalui anugerah Tuhan, seperti yang dialami Hajar bersama putranya Ismail dengan ditemukannya air Zam-zam itu. Keempat, di Arafah, padang yang luas lagi gersang, di sanalah para jama’ah seharusnya menemukan ma'rifat pengetahuan sejati tentang jati dirinya, akhir perjalanan hidupnya. Kelima, dari Arafah para jamaah ke Mudzdalifah mengumpulkan senjata menghadapi musuh utama yaitu Syaitan. Kemudian melanjutkan perjalanan ke Mina dan di sanalah para Jamaah haji melampiaskan kebencian dan kemarahan mereka, terhadap musuh yang selama ini menjadi penyebab segala kegetiran yang dialaminya. Bahwa Syaitan adalah salah satu penyebab kedurhakaan manusia. Demikianlah ibadah haji merupakan kumpulan simbol-simbol yang sangat indah, apabila dihayati dan diamalkan secara baik dan benar, pasti akan mengantarkan setiap pelakunya dalam lingkungan kemanusiaan yang benar sebagaimana dikehendaki Allah.
Buku Kisah Air Zam-zam ini menceritakan asal usul Zam-zam dengan cukup menarik dan ringannya bahasa yang digunakan, membuat cepat dan mudahnya untuk dipahami, guna menyamaikan pesan moral yang ada di dalamnya. Sangat bermanfaat bagi orang tua yang menginginkan anak-anaknya menjadi berguna dunia dan akhirat. Ada beberpa garis besar dari kandungannya patut dicermati:
Bagian pertama, dalam buku ini menceritakan betapa tuguh dan tegarnya seorang Hajar dalam menalani cobaan yang dahsat ditinggal sendiri, hidup sebatang kara di bukit yang tidak produktif oleh suami tercinta. Sebagai wanita yang shalih ia merelakan suaminya pergi meninggalkannya sendiri, dengan beban anak yang sedang membutuhkan perhatian dan kasih sayang. Hanya ada satu kunci dasar yang membesarkan tekatnya menjalani hidupnya yaitu “ini adalah penintah dari Allah dan Ia tidak mungkin menyia-nyiakan hambanya. Tidak ada yang menguatkan dirnya kecuali keimanan yang teguh kepada Ibrahim dan Tuhannya. Nabi Ibrahim dalam menjalankan penitah Tuhan, dalam keadaan demikian hanya mampu berdoa seperti dalam surat Ibrahim ayat 371, semoga istri yang ditinggalkan selalu taat kepada Allah dan diberikan rizeki, dan ternyata doanya Ibrahin dikabulkan oleh Tuhan. Di sinilah letaknya kekuatan iman yang sesungguhnya.
Bagian kedua, dalam keadaan yang sangat mengkhawatirkan dan penuh kecemasan itu, dengan gigih dan penuh rasa tanggungjawab Hajar berlari bolak balik sebanyak tujuh kali, antara bukit Shafa dan Marwah, sebagia usaha manusiawi. Sebuah usaha yang dapat dibilang maksimal, tidak hanya mengharapkan rizeki datang denan tiba-tiba begitu saja tanpa usaha keras.
Bagian ketiga, Allah memang tidak salah dalam memilih hamba-hamba pilihannya. Biasanya orang baik selalu berteman dengan orang baik demikian sebaliknya. Maka, dengan peristiwa yang sangat mengherankan itu, suku Jurhum yang paling dekat dengan lokasi itu mengetahuinya, dan Siti Hajar pun tidak egois dengan apa yang didapatkannya. Ia memberikan kesempatan suku Jurhum dan para pedagang dari negeri Syira, Yaman, Najed dan Hirah yang kebetulan singgah dapat menikmatinya. Maka terjadilah kerja sama yang baik di antara mereka. Maka apa yang menjadi doanya Nabi Ibrahin terbukti adanya.
Bagian keempat, Cobaan dalam hidup, memang datang setiap saat. Ketika Isma’il anak semata wayang, tumbuh menjadi remaja yang sangat mempesona budi pekertinya, cobaan datang lagi, yaitu perintah untuk menyembelih darah dagingnya sendiri. Namun hamba-hamba pilihan Tuhan tidak gentar dengan cobaan itu. Ketiga anak-beranak itu ihlas melaksanakannya. Dan ternyata Allah mengantikan Isma’il dengan biri-biri.
Bagian kelima, sungguh Allah Maha Pengasih dan Penyayang kepada hamba-hambanya. Saat-saat yang ditunggu-tunggu oleh Ibarhim dan Siti Sarah datang juga. Umur Nabi Ibrahim saat itu 120 tahun dan Siti Sarah 90, masa-masa yang kurang produktif untuk melahirkan seorang anak, namun dengan kuasa Allah semaunya jadi mudah seolah Allah menyuruh manusia untuk tidak putus atas dalam hidup.
Bagain keenam, perintah selanjutnya kepada Nabi Ibarhim dan putranya Isma’il adalah mendirikan kembali rumah tua, yang menurut riwayat rumah itu pertama kali dibangun oleh Nabi Adam, ketika pertama kali turun ke dunia, selanjutnya disebut dengan Ka’bah. Ia berfungsi sebagai pusat dari rangkain ibadah baik sebelum Rasulullah datang dan sesudahnya.
Bagian ketujuh, suatu ketika Abdul Muttalib bermimpi mendapatkan pentujuk untuk menggali sumur Zam-zam itu kembali, menurut riwayat suku Juhum tidak memberikan perhatian yang serius, karena kemajuan dan kemewahan selalu berlimpah, tetapi ia menghadapi kesulitan, terutama untuk menemukan letak sumur yang sebenarnya. Namun, dengan kesungguhannya, ia akhirnya menemukannya.
Pada masa awal-awal kedatangan Islam, sumur Zam-zam semakin mendapakan pertahtian yang penuh lantaran adanya kewajiban ibadah haji. Kehadiran jama’ah haji ketanah suci semakin membutuhkan persediaan air, baik untuk madi maupun minum. Mengingat jama’ah haji semakin meninggkat setiap tahun, maka pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, tepanya pada masa Abu Ja’far al-Mansur (754-775 H.) dan al-Ma’mun (813-833 H), proses penggalian dan pengamanan sumur Zam-zam semakin ditinggkatkan, hingga sekarang ini dilanjutkan oleh pemerintahan Arab Saudi sejak menguasai Makkah pada tahun 1925.
Buku ini sangat bermanfaat bagi orang tua, untuk menceritakan anak-anaknya sebagai pengenalan akan nilai-nilai pengorbanan dan perjuangan dalam hidup dan kehidupan. Bahwa hidup tidak selamanya mulus, sesuai harapan, hidup penuh dengan tantangan dan cobaan. Maka, bekal yang harus ditanamkan kepada anak-anak adalah keimanan yang sejati dan nilai-nilai keadilan dalam menjalanin kehidupan. Semakin siap dengan bekal, semakin siap pula dengan cobaan dan tantangan yang datang mengancam.
Sebagai catatan luput dalam buku ini, bahwa air zam-zam bukanlah air biasa. Menurut para fukaha, ia akan menjadi obat jika diniatkan pada waktu minum. Di samping sebagai obat yang menyembuhkan penyakit, air ini juga memberi keuntungan pahala, karena yang meminumnya telah menjalankan apa yang disunnahkan oleh rasul. Sabda rasullulah “air Zam-zam bagi yang meminumnya adalah untuk apa dia meminumnya” (HR. Ahmad bin Hambal dan al-Baihaki”). Selain berniat, menurut Hadis dari Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Daruqutni, dan Hakim bahwa meminum air zam-zam disunnahkan samapi kenyang dan di dahului tiga kali bernafas, kemudian menghadap kiblat dan memuji Allah swt. serta berdoa kepadanya. Wallahu‘alam

Tidak ada komentar: