Sabtu, 27 Desember 2008

EPSITIMOGOLI ILMU HADIS NABI

A. Pendahuluan

Al-Quran dan Hadis Nabi dengan sunnahnya merupakan dua hal pokok dalam seluruh bangunan dan sumber keilmuan Islam. Sebagai suatu yang sentral dalam jantung umat Islam, adalah wajar dan logis bila perhatian dan apresiasi terhadap keduanya melebihi perhatian dan apresisi terhadap bidang yang lain. Relasi antara al-Quran, Hadis dan ummat Islam yang beriman terhadap keduanya seperti perinsip “simbiose” mutasi. Al-Quran dan Hadis merupakan sumber inspirasi dan ajaran yang tidak habis-habisnya bagi umat Islam, sehingga kesinambungan sejarahnya bisa diruntut.

Meski demikian, keduanya baik al-Quran dan Hadis memiliki sejarah yang berbeda. Perbedaan histories itu menyebabakan kemunculan dan perkembangan ilmu-ilmu mengenai keduanya memiliki alur yang berbeda pula.

Perbedaan-perbedaan itu antara lain pertama, dalam sejarah pen-dokumentasisan dan pencatatan. Al-Quran sejak awal diturunkan telah dicatat dan dikumpulkan secara teratur oleh para sahabat. Pencatatan al-Quran merupakan pekerjaan yang tidak pernah dirahasiakan dan bisa dikatakan sebagai aktivitas publik. Hal ini berbeda dengan Hadis. Hadis baru didokumentasikan setelah melewati fase dua generai lebih, sehingga sumber pertama setelah Nabi yaitu para sahabat, hampit tidak ditemukan lagi. Penulisan Hadis juga hanya menjadi pekerjaan sebagian sahabat saja.[1]

Kedua, periwayatan al-Quran dilalui dengan tanpa keterputusan antara sumber pertama dengan sumber berikutnya. Artinya, periwayatan al-Quran selalu tasalsul alias mutawatir, sedagkan Hadis tidak demikian halnya. Bahkan bila dikalkulasikan jumlah Hadis yang mutawatir lebih sedikit dibandingkan keseluruhan Hadis yang kebanyakan lebih berifat ahad (periwayatan tunggal).

Ketiga, tidak dikenal dan tidak diperbolehkannya periwayatan al-Quran dengan makna. Periwayatan dengan cara demikian menjadikan al-Quran menjadi “relavitas” kesamaan kata dan bunyi, sehingga dalam periwayatannya, interpretasi yang berlebihan tidak terjadi dan mudah dihindari.[2] Meskipun dalam ilmu-ilmu dikenal adanya Qirah sab’ah, hal ini berbeda dengan Hadis. Dalam periwayatan Hadis-hadis tidak hanya memakai kata-kata langsung yang digunakan oleh Nabi, tapi juga memakai ‘terjemah’ atas kata-kata yang digunakan oleh Nabi, yaitu apa yang kita kenal dengan periwayatan Hadis bilmakna. Hal ini mengakibatkan adanya beberapa versi redaksi Hadis yang memiliki konsekuensi dan impelementasi yang luas. Bahkan mungkin jumlah periwayatan Hadis dengan makni ini lebih banyak daripada menggunakan kata-kata langsung yang dipakai oleh Nabi.

Keempat, adanya jaminan dari Tuhan untuk menjaga keotentikan al-Quran (QS.al-hirj ayat 15). Hal itu tidak terjadi pada Hadis. Walupun sumber pertamanya, yakni Nabi sebagai pembawa syariat dijamin kebenarannya. Yaitu apa yang kita kenal dengan dokterin maksum (infallible)[3], karena itu sebenarnya apa yang disampaikan oleh Nabi, semuanya adalah shahih dan benar, apalagi Nabi tidak berucap kecuali yang hak sebagaimana terdapat dalam al-Quran. Namun tidak ada jaminan akan keotentikan apa yang disampaikan atau diperbuatnya. Al-Quran mendapat jaminan dari dua arah, tidak halnya dengan Hadis Nabi. Oleh karena itu peniruan dan pemalusan al-Quran sepanjang sejarahnya tidak pernah berhasil dan mudah dikenali. Sementara sejarah telah mencatat bahwa pemalsuan Hadis secara besar-besaran pernah terjadi dengan motif dan latar belakang yang berbeda-beda, baik motif jahat maupun baik.[4]

Kelima, berbeda dengan al-Quran walupun dalam Hadis ada kitab-kitab standar, tetapi tetap saja tidak dikenal kitab resmi. Sehingga kalau sejarah awal –terlepas dari motif-motif lain yang ada dibelakannya- ada al-Quran tidak resmi yang dibakar atau dilarang beredar, maka dalam sejarah pengkodifikasian Hadis hal seperti itu tidak terjadi. Karena itu walaupun ada kitab Hadis standar, tetapi kandungan Hadis-hadis tersebut selalu dipertanyakan dan dikeritisi. Itualah sebabnya mengapa Az-Zarkasi (1344-1391) menyebut Hadis bagian dari “ilmu yang telah matang dan terbakar”. Disebutkan demikian, karena ilmu Hadis dan Hadisnya banyak yang menjadi bahan studi dengan istilah-istilah yang relatif banyak dan rumit. Sehingga tidak jarang, setiap ulama mempunyai pengertian yang berbeda dengan ulama lain walaupun istilah yang diguanakan sama.[5] Berangkat dari problem tersebut, tulisan ini akan mencoba menelusuri lebih jauh dimensi epistimologi ilmu Hadis, terutama usaha dan pencampaian ilmu ini pada persoalan ketiga dalam epistimologi. Penulusuran ini penting dilakukan untuk kemudian menelanjangi kemungkinan ilmu Hadis. Penelusuran ini juga berusaha menujukkan bahwa tubuhnya ilmu Hadis adalah mirip atau mungkin sama dengan munculnya sosiologi untuk pertama kalinya, yaitu setelah terjadinya revolusi Prancis pada tahun 1789. Artinya meski emberionya sudah muncul sejak zaman periwayatan, namun secara terminologis baru dirumuskan kemudian. Penelaahan ini juga menujukan bahwa sebenarya ilmu Hadis dan kreteria-kereteria yang dipakai tidaklah mandek (setatis). Sebagai contoh adalah istilah Hadis “hasan” yang baru muncul pada masa Turmuzi (209-279)[6]

Telaah ini lebih di arahkan pada ilmu-ilmu Hadis yang arah pertumbuhannya dan perkembangannya berbeda dengan pertumbuahan dan perkembangan ilmu al-Quran. Ini lebih difokouskan untuk menjawab pertanyaan mengapa pertumbuhan yang bertolak dari keduanya berkembang ke arah yang tidak sama. Karena pertama, penyampai (pembawa) al-Quran dan Hadis adalah Nabi. Kedua, seperti yang sudah ditegasnya bahwa semua Hadis Nabi adalah shahih yang menyebabkan ketidakshahihannya adalah faktor-faktor eksteren (yang saya maksud adalah faktor-faktor histories) yang mengantar pada materi Hadis itu.

Dengan demikian penyelidikan terhadap Hadis Nabi, pada hakikatnya bukan menyelidiki Nabi itu sendiri, tetapi menyelidiki apakah benar hal itu bersumber dari Nabi atau tidak. Dapat dipertegas kembali bahwa fokus makalah ini adalah bagaimana kebenaran itu sampai dicapai dan apa pula setandar kebenaran itu?

B. Hadis dalam Lintas Sejarah

Sebelum sampai pada pembahasan ilmu Hadis dalam dimensi epistimologinya, penelusuran lebih rinci terhadap tumbuh dan tersebarnya Hadis adalah sangat penting. Hal ini untuk medudukkann pada tararan mana ilmu-ilmu Hadis itu dirujukkan, sehingga kemunculannya sebagai teori dapat dipertanggung jawabkan.

Sejak resmi diangkat menjadi Nabi dan utusan Allah pada tahun 610 M.[7] yaitu mulai menerima wahyu al-Quran, dan menjadi kewajiban Muhammad untuk menyampaikan apa yang diterimanya tersebut kepada umatnya (QS an-Naml, 44 dan al-Maidah ayat 68). Pada saat itu tahapan dakwah dimulai karena adanya perintah tabliq dan dengan begitu dimulai pula fase pertama terjadinya Hadis.[8] Permulaanya terjadi Hadis adalah seiring bersamaan dengan awalnya turun wahyu. Secara singkat dapat dikatakan bahwa usia Hadis adalah seusia al-Quran itu sendiri.

Penyampaian Hadis oleh Nabi pada awalnya berjalan apa adanya dan bersifat alamiah, sesuai dengan tugasnya dengan audiesns sahabat sebagai penerimanya, tanpa melalui syarat-syarat yang ketat atau dengan menggunakam kata-kata (alat) penyamapai yang sekarang disebut al-ada’ wa at-tahammul yang rumit, kecuali bila sahabat mendengar dan melihat ucapan dan peraktik Nabi baik secara langsung maupun tidak. Hal ini bisa dimengerti karena Nabi adalah sosok figur sentral yang menjadi rujukan para sahabat dalam segala permasalahan hidup yang melingkupi dan dihadapinya.

Karena berbagai faktor dan seiring dengan menyebarnya sahabat, kesempatan mereka untuk menuntut ilmu dan mengikuti Nabi antara mereka tidak sama. Hal ini menjadikan pengetahuan para sahabat mengenai Hadis Nabi tidak sama. Di antara mereka ada yang banyak menerima dan meriwayatkan Hadis dan ada pula yang sedikit. Semua tergantung pada kesibukan dan profesi mereka yang mendorong mereka untuk eksis. Melihat fenomena ini Nabi mendorong sahabatnya yang hadir dalam majlisnya untuk menyampaikan kembali kepada sahabat yang lain yang tidak bisa hadir.[9] Dari dorongan Nabi tersebut lahir emberio salah satu cabang ilmu Hadis yakni ilmu riwayah.

Nabi sebagai bagian dari mayarakat yang melakukan aktivitas sebagaimana lazimnya masyarakat pada umumnya. Sebenarnya tidak ada tempat khusus untuk menyampaikan Hadis atau memperankekkan sunnah. Nabi tidak mempunyai madrasah (sekolah) atau pondok pesantren khusus untuk itu. Di manapun Nabi berada dan memiliki kesempatan beliau bisa menyampaikan Hadisnya, baik dalam suasana perang, bepergian, dirumah atau di masjid. Meski demikian kegiatan tersebut lebih sering disampaikan di masjid dengan diikuti oleh banayak sahabat.[10]

Nabi menyamapaiakan Hadisnya dengan tiga cara; secara verbal, tertulis dan demontrasi secara praktis.[11] Penyampaian Hadis secara verbal adalah hal pertama yang dilakukan Nabi. Hal ini adalah karena Nabi seorang penyamapai (muballib). Penyampai Hadis dengan cara tersebut adakalanya didahulukan oleh satu peristiwa (asbabul wurud), seperti pertanyaan dari para sahabat, dan adakalanya tanpa pertanayaan seperti itu. Sedangkan yang dilakakan secara tertulis adalah ketika dakwah Nabi dilakukan secara terang-terangan. Tulisan tersebut berupa ajakan-ajakan Nabi kepada pemimpin Negara-negara tentangga untuk berislam. Penyampaian Hadis secara demontratif adalah perilaku Nabi untuk menjelaskan hal-hal yang bersifat peraktis, seperti shalat, wuduk, tayamum, dan lain lain.

Seiring dengan perjalanan dakwahnya rasul dengan segala peristiwa dan kejadian yang melingkupinya dan tersebarnya sahabat ke berbagai daerah, menjadikan Hadis ikut tersebar pula secara otomatis. Namun demikian pada masa tersebut relatif belum ada persoalan mengenai Hadis. Kalaupun ada, mereka segera menanyakannya pada Nabi. Pada kurun tersebut Hadis masih tetap dalam keadaan utuh dan shahih. Karena penyelidikan ilmu Hadis tidak samapai mempertanyakan otentisitas Hadis pada tahapan tersebut. Hal ini karena pada zaman Nabi, selain tidak ada bukti yang pasti tentang telah terjadinya pemalsuan Hadis, juga pada zaman tersebut seorang akan lebih mudah melakukan pemeriksaan sekiranya ada Hadis yang di ragukan keshahihannya.[12]

Karena kebijakan Nabi yang telah mengutamakan al-Quran menyebabkan Hadis terlambat Hadis untuk ditulis secara massal. Penulisan Hadis pada zaman Nabi lebih merupakan kegiatan pribadi. Oleh karena itu naskak-naskah (mushaf) Hadis sangat sedikit jumlahnya.[13] Di antara naskah-naskah itu ada yang diberi nama ada pula yang tidak.

Di antara yang sedikit itu ada emapt naskah (shahifah)[14] yang penah dikenal dalam sejarah, walupun hanya satu yang dapat dilacak keberadaanya. Pertama, mushaf, shahifah as-shahihah, yaitu suata kumpulan Hadis yang diriwayatkanoleh abu Hurairah (w. 59H./679 M.) yang disampaikan kepada seorang muridnya, yakni Hummam Bin Munabbih (40-131 H.) dari generasi tabi’in. Shahifah ini memuat 138 Hadis. Hummam kemudian menyampaikan kepada sejumlah murid-muridnya, antara lain Ma’mar ibn Rasid ( w. 153 H./ 770 M.) yang memelihara dan membacakannya kepada salah seorang muridnya, Abd Razzaq as- Sama’ani ( w. 211 H./826 M.). Selain sebagai ulama terkemuka seperti gurunya, Abd Razzaq, juga memelihara shahifah tersebut dalam bentuk yang utuh dan menyampaikannya pada sejumlah generasi-generasi sesudahnya. Naskah ini ditemukan oleh Dr. M Hamidullah dalam bentuk aslinya di Dameskus dan Belin Belanda.[15] Hadis-hadis yang diriwayatkan Hammam itu dalm bentuknya yang lengkap dapat ditemui pada mushaf Ahmad dan sebagian di shahih al-Buhari .

Kedua, mushaf, shahifah ash-Shadiqah, merupakan tulisan langsung sahabat Abdullah ibn Amr ibn ‘Ash (w. 63 H. /682 M.), seorang sahabat yang mendapat izin langsung dari Nabi untuk menulis apa yang didengar dari Rasul. Ia adalah sahabat Rasul yang mengerti bahasa Ibrani dan Syuriani. Naskah ini menurut para ulama memuat sekitar seribu Hadis. Seperti shahifah Hummam, isi shahifah ini juga terdapat dalam mushaf Ahmad.

Ketiga, mushaf, shahifah Summarah bin Jundub. Keempat, mushaf, shahifah Jabir bin Abdullah (w 78. H), seorang sahabat yang antara lain mencatat masalah-masalah haji, Khutbah Rasulullah yang disampaikan pada haji wada’ dan lain-lain.[16]

Ditilik secara histories, dari empat naskah itu yang mungkin ada pada zaman Rasul hanya dua saja, yakni shahifah as-Siddiqiyah dan shaifah Jabir. Hal ini bisa dipastikan, karena Abdullah bin Amr lahir tujuh tahun sebelum hijriyah. Sehingga Nabi wafat ia berusia delapan belas tahun. Usia semuda itu sebenarnya masih bisa dipertanyakan, sebab seusia berapa persisnya ia menulis Hadis. Sedangkan Jabir lahir pada Tahun 16 sebelum Hijriyah, sehingga ketika Nabi wafat ia berusia dua puluh tujuh tahun. Sedangkan shahifah bin Munnabih, tidak bisa dipastikan ada pada zaman Nabi sebab ia baru lahir pada 40 M.

Pertanyaannya kemudian, seberapakah jumlah Hadis Nabi itu? Menurut Quraish Shihab (1944), mengutip pendapat Abdul Halim Mahmud, bahwa apabila dihimpun isi (matn) Hadis dari seluruh kitab Hadis yang mu’tabar maka jumlahnya tidak lebih dari 50.000 Hadis.

Beda dengan Quraish Shihab, Azami tidak bisa memastikan berapa jumlah Hadis Nabi itu.[17] Namun bila jumlah yang diajukan Quraish Shihab itu yang disepakati, maka dalam satu hari satu malam (24 jam), tidak kurang Nabi menyampaikan 6-7 Hadis dengan perhitungan bahwa Nabi berdakwah kurang dari 23 tahun kali 360 hari sama dengan 8280 hari.

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa: 1) pemalsuan Hadis sebelum terjadi pada masa Rasul, 2) periwayatan Hadis pada masa Nabi berjalan secara alamiah, tanpa memerlukan syarat-syarat tertentu, 3) rangkaian sannad yang “njelimet“ belum begitu dipentingkan 4) samapai wafatnya ada dua kitab Hadis walaupun bukan naskah resmi dan setandar.

Ada beberapa alasan mengapa gerakan penulisan Hadis tidak terjadi pada masa Rasul, yaitu: (1) agar perhatian sahabat terhadap al-Quran tidak terbagi, (2) untuk menjaga keotentikan al-Quran dan (3) al-Quran merupakan prioritas utama yang disamapaikan Nabi. Sedangkan Hadis merupakan side effect dari tugas utama tersebut.[18] Penafian gerakan penulisan Hadis tersebut hampir mirip –atau malah sama- dengan pelarangan ziarah kubur pada awal masa Islam.

Ketika Nabi wafat tahun 11 hijriyah, sahabat sudah tersebar kebeberapa daerah. Itu pula yang menyebabkan perputaran lingkaran Hadis semakin panjang, sementara pertukaran Hadis dituntut lebih intensif lagi dan kitab standar belum ada. Kejadian ini membawa impliksi yang tidak sedikit. Hal ini sebagaimana akan terlihat ketika kepemimpinan kaum muslimin dipegang oleh khalifah dan sesudahnya. Di sisi lain, banyak peristiwa rumit yang mesti dihadapi dan diselesaikan, ditambah lagi dengan belum selesai nya “pembersihan” unsur-unsur jahiliyah oleh Nabi dan pengaruh luar yang menjadi bagian tak terpisahkan bagi ummat Islam.

Benih-benih perpecahan dan pertentangan dari dalam mulai nampak . sebagai mana sejarah menginformasikan bahwa terpilihnya Abu Bakar sebagai pengganti Nabi dalam kepemimpinan masyarakat tidaklah mulus. Konon, setelah dinobatkan sebagai pemimpin, persoalan baru datang menghadangnya, yaitu kembalinya orang-orang Islam kepada kekafiran semula (riddah). Karena itu dapat dimengerti bila sudah sejak zamanya kehati-hatian dalam menerima Hadis sudah dimulai. Dalam rangkaian ini bukan saja rangkaian sannad yang diperhatikan, tapi juga orang berada dalam rangkaian sannad. Di sinalah masalah Jarh wa Ta’dil sudah mulai nampak.[19] Puncaknya semua itu adalah peristiwa terbunuhnya Usman bin Affan sebagai khalifah ketiga.

Terjadinya peristiwa tersebut menjadikan wajah ummat Islam carut marut dan keutuhan mereka sudah tidak bisa di pertahankan lagi. Peristiwa yang berlatar belakang politik itu telah memecah keutuhan umat dengan lahirnya berbagai berbagai faksi membuat Hadis-Hadis sendiri baik sebagai alat legitimasi maupun sebagai alat penyerang.[20]

Dari peristiwa tersebut kebijakan lebih ketat dalam menerima Hadis. Kehati-hatian dalam menerima Hadis menjadi tradisi baru bagi mereka yang mempunyai tanggung jawab moral agama untuk menjaga keotentikan Hadis. Kebijakan itu dengan menerapkan sistem isnad. Sistem ini di samping untuk meminimkan usaha-usaha pemalsuan terhadap Hadis, juga digunakan sebagai jaminan terhadap validitas Hadis.[21] Di samping itu mereka yang menerima perkataan atau berita tentang Nabi, sekalipun yakin akan kebenaran yang dibawa oleh pemberi informasi, tetap tetap mempertanyakan apakah perkataan-perkaatan dimaksud benar-benar diperolehdari Nabi,[22] dari sini benih-benih keritik isi (matn) mulai nampak. Sebab sebenarnya menurut al-Idlibi kritik matn untuk mendapatkan Hadis yang sahih sudah ada sejak zaman rasul.

Dengan demikian, penerapan isnad secara otomatis dan ketat sudah dimulai pada separuh abad pertama hijiyah. Pendapat ini bertentangan dengan pendapat Scahacht yang menyatakan bahwa kepentingan terhadap perlunya isnad baru dimulai ketika timbulnya fitnah dilalangan umat Islam.[23]

Bisa dibayangkan bahwa perjalanan Hadis yang sampai kepada kita telah melewati beberapa fase yang tidak mulus dan murni, bukan saja dari aspek rangkain sannad-nya tetapi juga matan (isi) Hadis itu sendiri. Hadis-hadis Nabi tersebut, sampai pada perkembangannya secara resmi pada masa Umar Bin Abdul Aziz pada tahun 99 H. masih bercampur dengan fatwa-fatwa sahabat. Hal ini menyebabkan materi yang dianggap Hadis menjadi menggelembung seperti “gendang” dari awal sedikit, menjadi banyak (pada pertengahannya) dan pada akhirnya –setelah diseleksi- menjadi sedikit lagi. Kitab sunan Imam Malik (92-179 H /712-798 M ), al-Muatta’ yang merupakan kitab kumpulan atau koleksi Hadis yang paling tua (disusun pada pertengahan abad kedua Hijriyah) tidak hanya memuat Hadis Nabi saja tetapi juga fatwa-fatwa para sahabat dan tabi’in. [24]

Memasuki awal abad kedua dan akhir abad ketiga upaya “penyortiran” Hadis dilakukan lebih ketat lagi. Hal ini berbarengan adanya upaya pembuatan kaidah-kaidah untuk mengukur kualitas Hadis, sehingga pada abad itu pula, upaya itu berkembang menjadi salah satu cabang pengetauhan Islam, yang kemudian dikenal dengan ilmu Hadis.

Ulama yang mempelopori upaya sistimatis pengklasifikasian dan pembuatan kaidah tersebut adalah al-Buhari (194-256)[25] sampai pada masa sebelum at-Tirmizi, dikenal istilah Hadis shahih dan Hadis dhaif, baru masa Turmuzi ditambah kereteria Hadis dengan istilah Hadis hassan. Ini merupakan satu penujuk bahwa penggunaan istilah tehnis tampaknya mengalami perkembangan yang bertahap. Namun demikian, satu istilah yang sama mungkin digunakan secara berbeda untuk periode yang berbeda. Untuk menentukan kreteria Hadis itu digunakan beberapa ilmu Hadis, seperti ilmu jarh wa takdil, ilmu gharibul Hadis ilmu tarikh ruwat dan lain-lain.

Seperti istilah tehnis yang digunakan dalam ilmu Hadis, nampaknya ilmu Hadis juga berkembang secara bertahap dan ilmu-ilmu itu berkembang secara dinamis mengikuti perkembangan yang melikupinya. Ilmu-ilmu tersebut dirumuskan oleh para ulama ahli Hadis sendiri. Namun sebagai rumusan manusia, ilmu-Ilmu tersebut sangat mungkin untuk dikeritik dan mengalami perubahan.

C. Ilmu Hadis dan Upaya Merawat Tradisi

Sebagaimana telah disebutkan, bahwa salah satu persoalan epistimologi adalah apakah pengetahuan kita itu benar (valid) atau bagaimana cara kita membedakan yang benar dan yang salah. Kalau digunakan dalam ilmu Hadis, apakah Hadis itu valid (shahih) dan bagaimana cara membedakan Hadis yang valid dan yang invalid?

Dalam disiplin keilmuan filsafat, salah satu pengetahuan untuk menetapkan bahwa sesuatu itu benar adalah dengan mengadalkan kesaksian orang lain. Dasar untuk menerima data tersebut harus mencakup pengakuan otoritas lain dan keahlian khusus.

Bila diteliti lebih jauh mengenai bagaimana ilmu Hadis bekerja, maka untuk mencapai kebenaran melalui ilmu Hadis. Ilmu Hadis memperlihatkan satu langkah metodologis sehingga akurasi dan validitas sabda atau informasi berkenaan dengan Nabi bisa ditetapkan dan dipastikan. Ia memperlihatkan keketatan setandar, sehingga penilaian terhadap Hadis dapat dipertanggung jawabkan. Apa yang telah dicapai oleh penelitian yang mengunakan ilmu Hadis juga memperlihatkan ketentatifannya (kesementaraan). Hal ini seperti diperlihatkan oleh adanaya perkembangan istilah tehnis dalam Hadis dan adanaya suatu Hadis yang pada waktu tertentu dianggap benar, setelah diteliti menjadi tidak benar.

Dalam uraian singkat sejarah perjalanan Hadis, diketahui bahwa umat Islam sejak awal sudah memperaktikkan bagaimana memelihara dan mengatur arus informasi (Hadis). Mereka menyakini dan merasakan serta melaksanakan satu tanggungjawab untuk menjaga bukan hanya keseimbangan Hadis an-sich tapi juga disetai dengan menjaga keotentikannya. Informasi dari Nabi diyakini bukan merupakan komuditi yang diperatekkan kemudian dijual, tapi merupakan tali kehidupan yang mengikat dan mereka hidup bersama dengannya.

Bergam usaha yang mungkin mereka lakukan, mulai kurun menerima dan mengingatkannya kembali, sampai kemudian menyampaikannya dengan hati-hati, baik melalui catatan-catatan maupun ingatan-ingatan. Semua itu adalah kerja besar yang mesti dilakukan. Di situlah mereka memegang fungsi ganda sebagai penerima sekaligus sebagai penyampai kembali.

Tanggungjawab itu semakin besar seiring dengan bergulinya waktu dan meluasnya wilayah Islam. Keadaan ini berimplementasi besar terhadap keadaan Hadis, di samping periwayatan-periwayatan yang semakin memanjang, juga terjadi akulturasi budaya yang berakibat pula pada perbendaharaan bahasa Arab. Bahasa Hadis (Nabi) yang fasih dan lugas serta memiliki nilai sastra yang tinggi (sesuai dengan Nabi) menjadi terpolusi oleh bahasa di mana Islam hadir. Ini diperparah lagi dengan diperbolehkannya periwayatan Hadis dengan maknanya saja, akibatnya adalah pergeseran makna bahasa.

Tanggungjawab etis-religius untuk menjaga, melestarikan, dan menyebarkan Hadis, yang sudah diperaktikan sejak dini itu merupakan salah satu menegemen penyampaian pesan Isa’ keadaan injil –sebagai salah satu kitab yang berasal dari Tuhan– tidak bisa dibandingkan dengan al-Qur’an atau Hadis sekalipun. Hal ini terbukti Injil tidak bisa lolos dari keritik sejarah, edit dan praktis untuk membuktikan keotentikannya.[26]

Untuk mendapatkan kebenaran suatu Hadis yang valid, ilmu Hadis menempuh jalur yang pelik melibihi apa yang ada dalam aliran filsafat seperti, rasionalisme, imprialisme dan intuisi. Untuk mendapatkan hal itu, ilmu Hadis mengunakan beberapa ilmu bantu. Sehingga ilmu Hadis merupakan kumpulan dari beberapa ilmu. Hal itu pula yang menjadikan ilmu Hadis dalam term moderen disebut sebagi ilmu yang multi-disiplin. Di dalamnya ada ilmu-ilmu seperti sejarah, bahasa, sosioligi, pskologi, politik geografi dan lain-lain. Ilmu-ilmu tersebut terlibat di dalamnya karena yang menjadi obyek penelitiannya bukan hanya aspek penyampai dalam segala dimensinya (rangkaian sanad), tapi juga materi dan kata-katanya (matn) itu sendiri. Evaluasi kritis ilmu Hadis –yang menganalisa keabsahan aspek-aspek internal dan eksternal Hadis- memperlihatkan keunikan dan kekhasannya sendiri, sehingga disebutkan ilmu ini sebagai pelopor historigrafi kritis.

Berakar dari pencarian kebenaran dari dalam (matn) tersebut, ilmu Hadis berkembang mekar menjadi beragam, seperti ilmu Rijalul Hadis , ilmu taskhif wa tahrif, ilmu Talfiq al-Hadis dan lain-lain.

Ilmu-ilmu tersebut menurut satu pendapat berkembang seiring dengan masa pertumbuan Hadis,[27] walaupun masa formatifnya baru pada abad kedua hijriah[28]

D. Penutup.

Dari uraian di atas memberikan pengertian bahwa kebenaran epistimologis yang dicapai oleh ilmu Hadis memenui kriterium yang lebih tinggi. Karena hal ini di samping dilakukan dengan penyelidikan yang hati-hati juga mengganakan parameter yang ketat.

Walaupun munculnya ilmu Hadis lebih banayak disebabkan oleh faktor-faktor heristik, namun kebenaran ilmiah yang dicapai oleh ilmu ini dengan kaidah-kaidah yang diciptakannya secara keilmuan cukup kokoh. Istilah-istilah tehnis yang terdapat dalam ilmu Hadis tidak muncul sekaligus, akan tetapi secara gradual. Hal yang sama juga terjadi pada Hadis Nabi Muhamad saw. Wallahu’alam



[1] Para ahli Hadis bembedakan antara proses dokumentasi (tadwin) dalam pengertian mengumpulkan tulisan-tulisan yang sudah ada dengan proses pencatatan. Bila pengertian dokumentasi adalah mengumpulkan tulisan-tulisan yang sudah ada, maka baik dokumentasi al-Quran maupun Hadis pada zaman Nabi belum dilakukan.karena dokumentasi al-Quran baru dapat dilakaukan setelah wafatnya belaiu yang kemudian disebut dangan Mushaf Usmani.

[2] Terlepas dari tepat atau tidaknya dikotomi yang dibuat oleh ulama tentang corak tafsir yang terpuji dan tercela sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad husein Adz-dzhahabi dalam karyanya, at-Tasfsir wa Mufasirun, ( Berut , Dar Fikr, 1976), Jilid 1 hlm. 277.

[3] Dalam kehidupan Nabi, tidak hanya berperan sebagai Nabi pembawa syariat tapi banayak lagi posisi-posisi lain seperti, kepala rumah tangga, panglima perang, pemimpin Negara, Hakin tokoh masarakat, sebagai anggota masarakat biasa dll.

[4] Di antara motif dan latar belakangnya adalah politik, ekonomi, golongan, mencari muka pada penguasa, dan seterusnya.

[5] Ajjaj, Ussulul Hadis , hlm. 225

[6] Ahmad Umar Hasyim , Qowaid usul Hadis, (Berut, Dar Fikr 1997), hlm 37.

[7] Muhammad Husein Haikal Sejarah Nabi Muhammad terj. Ali Audah (Bogor: Litera antar Nusa), hlm. 79

[8] Syhudi, Kaidah Keshohihan Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), hlm 25.

[9] Dorongan ini juga diiringi dengan doa nabi agar Allah memberi penerang kepada seorang yang mendengar Hadis beliau kemudian menjaga, menghapal dan menyampaikannya kepada orang lain, lebih lanjut baca Muhammad Mustofa Azami Manhaj an-nakd, (Riyad: al-Imaroh 1982), hlm. 3

[10] Muhammad Abu Aawh, Al-Hadis Wa Muhaddisun, (Berut: Dar al-kitab al-Arobi 1984), hlm.50

[11] Muhanmmad Mustofa Azami, Metodologi Keritik Hadis terj. Drs A. Amin (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992), hlm 27.

[12] Syhudi, “kaidah …, hlm 33.

[13] Menurut MM. Azami sebagiamana dikutif oleh Mustofa Yakkub. Ada 52 orang sahabat yang mencatat Hadis Nabi pada zaman Nabi.

[14] Kata shifah itu sendiri berarti “lembaran” lebih lanjut lihat. tulisan Jamilah Saukat “Pengklasifiaan Leteratur Hadis“ dalam jurnal al-Hikmah NO 13. hlm 18.

[15] M.Ajjaj al-Khatib, Asunnah Qabl at-Tadwin, (Beriut: Dar Fikr 1981), hlm. 355-357.

[16] Ajjaj al-Khaib, as-Sunnah … hlm 352.

[17] MM. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifiskasinya. Terj. Ali Mustofa Yaqub (Jakarta: Pustaka Pirdaus, 1994), hlm. 647.

[18] Abu Zahwm, Hadis…, hlm. 123-124.

[19] Lebih jauh mengenai kaidah-kaidah Jarh wa Takdil baca karya Imam Atj ad-Din Abdul Wahab as-Subki, Qowaid jarh wa Ta’dil, ( Berut: Maktabah An-Nahdah, 1984).

[20] Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad , terj. Anas Muhyidin, (Bandung: Pustaka, 1984), hlm 80.

[21] Ibid…, hlm. 76-77

[22] Syakah Jamilah Jurnal…, hlm 20.

[23] Dikutip dari Anida Arfam, Sejarah Pementukan Hukum Islam Studi Kritis Tentang Hukum Islam di Barat ( Jakarta: Pustaka Pirdaus 1986), hlm 20.

[24] M. Hasbiy As-sidiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang 1988), hlm. 82-83.

[25] Lebih lanjut lihat buku karya Ali Mustofa Yaqkub, Imam Buhari dan Metode Kritik dalam Ilmu Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991)

[26] Hasan Hanafi, Dialog Agama Dan Revolusi terj. Tim Pustaka Firdaus, (Jakarta: Pustaka Firdaus 1991), hlm 4-25.

[27] Ahmad Qowaid …, hlm 26-27

[28] Jalaluddin Abdurahman as-Suyuti, Tadrib ar- Rowi (Madinnah: Maktabah al-Ilmiyah, 1972), Jilid 1 hlm. 4

Tidak ada komentar: