Sabtu, 27 Desember 2008

Adakah Islam Gagap dengan Moderenisme ?

Adakah Islam Gagap dengan Moderenisme ?

Oleh: Emha

The truthfully of Islam is which not only making samething related by hereafrer, but also it is as religion monotisme and have the high sosial caring in world. This matter can be seen from last of history, that Islam - in this case all of inteletual moslem- at the thise time have experienced one of a period which named or term by golden. And there is no one of nation able to disobey about it. There are Many matter have been done by all figure in thise time, that start from progress in the field of politics., sosiografi and other science, form compilation of book scientice like knowledge of relegion and knowledge of natural; explanation and Translation, as result that westen is woke- up from those day-dream and yield what referred by reneassance. Civilization which has builtding by Islam is not only progress in the scientice field but also the most importantly is civilization humanizing human as according fitraha', respect the human value and justice, wherever and whenever. And all of result from that civilization is constituted by god intention and for the shake of human Islamic religion is Ramatan lilalamin, it is most moderating religion, and verry refusing, ekstrimisisme, fanatism, and terrorism. very differing from what discourse by big Nations in this era. Later, a civilization which happened in State of Amaerika and Europe in this era, will become crumple and damage if it is target to be destroy earth and mankind.

Civilization truthfully is can give the useful to human being and universe. Islam beside as a religion is not only give the guide in the field of belief, law for Moslem, but also in the field of muamalah, and intaction sosial also, included in Islam. Wherever and whenever al-Quran will become the solution for human, special for Muslim socity, during them able to comprehend the al-Quran as according to contect and spirit era. Islam is modern religion, progressef and have the caring to human universally values. In face of era neolibralisme Islam come up by spirite Quranic bringing positive solution. This article try to describ this problem

  1. Pendahuluan

Islam samapai saat ini sudah berumur lebih dari 14 abad. Ia tidak saja sebagai sebuah agama, tetapi juga sebagai salah yang memproduksi peradaban yang punya kontribusi yang tidak bisa anggap remeh dan demikian terasa dalam kehidupan masyarakat moderen, dan proses moderenisme bakahkan posmoderenisme[1]

Modernisme adalah aliran pemikiran Barat modern yang timbul dari pengalaman sejarah mereka sejak empat abad terakhir. Modernisme adalah paham yang muncul menjelang kebangkitan masyarakat Barat dari abad kegelapan kepada abad pencerahan, abad industri dan abad ilmu pengetahuan. Ciri-ciri zaman modern adalah berkembangnya pandangan hidup saintifik yang diwarnai oleh paham sekularisme, rasionalisme, empirisisme, cara berpikir dikotomis, desakralisasi, pragamatisme dan penafian kebenaran metafisis (baca: Agama). Selain itu modernisme yang terkadang disebut Westernisme yang beranak pinak dengan paham nasionalisme, kapitalisme, humanisme liberalisme, sekularisme dan sebagainya.

Dampak aliran dan pemikiran yang dibawa modernisme dan postmodernisme terhadap paham ilmu pengetahuan Islam (epistemologi) cukup besar. Pada periode pasca perang Dunia II penafsiran dan penilaian Agama Islam, yakni Al-Quran dan Hadis, mengalami perkembangan yang cukup segnifikan. Pembahuran tersebut diakibatkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan, yang menyediakan sarana baru bagi analisis Al-Quran dan hadis sebagai kritik terhadap pemahaman dan penafsiran terdahulu yang tekesan tidak kritis.[2] Dengan demikian sikap yang kurang cerdas dan kritis terhadap al-Qur'an dan hadis itu telah dikritik, baik oleh intelatual Islam itu sendiri maupun para Islamolog, yang menyangkut sikap taklid yang berlebihan dikalangan umat Islam. Walaupun sebetulnya gejala seperti ini sudah terjadi jauh sebelum itu yaitu setelah rasul meninggal dunia. Bahkan koton ceritanya dua khalifah awal sangat teliti dan jeli sekali dengan penulisan hadis Nabi atau cerita tentang hadis Nabi, kecuali dengan mengadirkan saksi untuk meperkuat dari periwayatan hadis Nabi tersebut. Hal ini menurut beberapa literatur dilakukan dikhawatirkan akan terjadinya pemalsuan terhadap hadis Nabi.

Di akhir abad ke-19 banyak intelektual Muslim menyuarakan kepada umat Islam untuk “kembali kepada Al-Quran dan hadis” yang dapat dipertanggung jawabkan secara rasional. Di antara mereka adalah: Mahmud Abu Riyah dari Mesir, Muhammad al-Gazali (1917-1996). Muhammad an-Nuwaih 1917-1980), Muhammad Imarah (1932). Fazlur Rahman (1919) dan lain-lain, yang semuanya mengaju kepada pola pemahaman hadis dengan kaca mata berbeda dengan kebanyakan generasi sebelumnya.

Demikian pula para Islamolog, seperti Igaz Goldziher, Josep Scahacht, Junboll dan lain-lain, melihat hadis Nabi sebagai sebuah fenomena shahabat yang berkembang saat itu. Seperti pendapat Fazulur Rahaman, yang dikutip oleh Djohan Hendrek Heleniawan, al-Quran dan hadis membawanya menuju suatu usaha ijtihad yang tiada akhirnya.[3] Setelah pintu ijtihad dinyatakan tertutup selama periode berabad-abad lamanya, entah itu dikarenakan kemalasaan dan kekakuaan para ulama' sebelumnya maka, pada abad 19 para reformis Muslim menyerukan kepada umat Islam agar pintu ijtihad "kembali dibuka lagi selebar-lebarnya". Jika tidak, umat Islam tidak akan mampu menjawab tantangan zaman moderen yang semakin tidak terkendali.[4]

Di bawah ini pemakalah mencoba menguraikan sekelumit tentang embio moderenisme dan sikap Islam terhadap moderenisme dan solusinya di zaman moderen ini saat sekarang ini.

  1. Pembahasan

Islam memang berbeda dengan agama-agama lain. Menurut HAR. Gibb seperti yang dikutip oleh Badri Yatim dalam bukunya ‘Sejarah Peradaban Islam’ bahwa Islam is inded much more than a sistme of theology, is it a complete civilization. Karena yang menjadi pokok kekuatan dan sebab timbulnya kebudayaan adalah Islam, kebudayaan yang ditimbulkannya dinamakan kebudayaan atau peradabaan[5] kemudian melakhirkan moderenisme dalam pengertian yang luas. Jadi agama Islam adalah bukan kebudayaan tetapi agama melakhirkan budaya dan mengahasilkan moderenisme yang saat sekarang ini sudah banyak diraskan manfaatnya oleh manusia pada umumnya.

Sebenarnya sejarah manusia adalah sejarah peradaban (civilization). Menurut Humtingtion, istilah perabadan itu telah berkembang sejak abad 18 setelah diperkenalkan oleh pemikir Perancis dengan istilah civilization untuk membedakan dengan barbarisme. Oleh karena itu, masyarakat yang berperadaban (civilization society) berbeda dengan masyarakat primitif yang cendung memiliki karakter sebagai masyarakat yang tidak setteled, urban, literate. Masyarakat berperadaban adalah masyarakat yang baik dan unggul. Sedangkan masyarakat yang tidak berperadaban disebut sebagai masyarakat tertinggal atau buruk.[6] Maka dengan sendirinya mereka menganggap bahwa peradaban yang ada yang kemudian melakhirkan berbagai macam kemajuan dalam segala bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, sekaligus mengklaim penemu dari semua moderenisasi ini. Berbicara tentang peradaban dan kebudayaan yang melakhirkan moderenitas berarti bericara tentnga manusia, berbicara tentang manusia berarti berbicara tentang apa yang ada dibalik manusia atau dengan kata lain berbicara tentang Tuhan baik secara langsung maupun tidak langgung.[7]

Kata modern, modernisme, dan modernisasi dalam masyarakat Barat mengandung arti pikiran, aliran, gerakan dan usaha-usaha untuk mengubah paham-paham, adat-istiadat, institusi-institusi lama dan seterusnya, agar semua sesuai dengan pendapat dan keadaan-keadaan baru yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Pikiran dan aliran ini muncul antara tahun 1650-1800 M, suatu masa yang terkenal dalam sejarah Eropa sebagai ‘The Age of Rasio’ atau Enlightenment, yakni masa pemujaan akal. Atau lebih akrabnya disebut dengan masa renaissance.

Modernisme dalam agama adalah setiap pemikiran yang berangkat dari keyakinan bahwa kemajuan-kemajuan sains dan kebudayaan modern menuntut adanya reinterpretasi terhadap ajaran-ajaran agama klasik sesuai dengan pemikiran filsafat dan data ilmiah yang berlaku. Istilah ini pada mulanya berawal dari gerakan intern Gereja Katolik Roma yang muncul pada abad 19-20, tapi kemudian dipakai untuk gerakan liberalisme serupa Protestan, sebagaimana dalam Yahudi telah timbul satu kelompok yang kerangka berpikirnya berjalan pararel dengan apa yang tumbuh dalam Kristen.

Pada permulaan abad 19 M. muncul pertentangan-pertentanngan baru di kalangan Yahudi yang kemudian membentuk satu kelompok yang dikenal dengan nama Liberal Judaisme atau Reform Yudaism. Timbulnya golongan ini adalah sebagai pengaruh langsung dalam gerakan ilmiah yang dibangkitkan oleh pimpinan Yahudi Moses Mende Isshon (1729-1786 M.) yang menyebarkan sains modern di kalangan Yahudi dan memindahkan mereka dari kehidupan terpencil dan cerai berai yang telah mereka jalani selama berabad-abad menuju jalur peradaban Barat. Yahudi sekarang terbagi dalam beberapa kelompok besar; ortodoks, konservatif dan liberal, disamping gerakan Zionisme. Masing-masing kelompok ini telah menempuh berbagai jalan dalam bidang aqidah dan syari`at untuk mewujudkan keseimbangan ideal antara agama Yahudi dengan kehidupan modern.[8]

Golongan liberalisme Yahudi timbul di Jerman berawal dengan usaha menjadikan kebaktian-kebaktian dan nyanyian agama mempunyai daya tarik terutama bagi pemuda, dengan harapan mereka meninggalkan agama nenek moyang. Pada dasawarsa keempat lahir dasar-dasar filsafat yang menjadi prinsip kritik mereka terhadap tradisi lama oleh para ahli theologi agama Yahudi (Rabbis); Steinheim, Holdeim, dan Abraham Geiger. Arus reformasi pula lahir di Amerika, Gerakan liberalisme Yahudi tersebut tersebar luas ke Negara-negara Barat seperti Prancis, Inggris, Amerika dan lain sebagainya. Kemudian tahun 1833 M. berdiri sebuah organisasi The Onion Of American Hibrew Congregation (Himpunan bangsa Yahudi Amerika). Pada abad ke-20 reformasi Yahudi terjadi.

Di saat berkembangnya gerakan reformasi Yahudi, Nasrani dengan dua aliran Protestan dan Katolik menyaksikan perkembangan yang serupa dan mempunyai tujuan yang sama, yaitu mewujudkan perpaduan antara agama pendahulu dengan pemikiran-pemikiran modern Jhon Randall.

Sektor utama yang dikritik modernisme adalah usaha mengkritik Taurat dan Injil dengan berpijak pada kritik sejarah. Kaum modernis mendasarkan penolakannya terhadap kekuatan riwayat, karena dalam pandangannnya ia bertolak belakang dengan apa yang ditetapkan oleh sains modern. Mereka menolak bahwa teks-teks yang mempunyai sifat kesucian merupakan patokan baku dan paten dalam ajaran agama yang kekal sepanjang masa. Adakah kesamaannya problem ini dengan paradigma Islam? mampukah Islam menjadi alternatif-solutif di antara kemelut pertentangan antara agama dan sains itu?

  1. Modernisme Islam

Manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai khalifah bumi, mengandung arti bahwa manusia merupakan pencita kedua setelah Tuhan. Sebagai pencipta, manusia dikaruniai akal-budi yang dengan akal-budi manusia mampu memikirkan berbagai macam konsep maupun prinsip-prinsip yang dapat diusahakan dengan pengamatan dan percobaan. Dengan akal budi manusia mampu menciptakan keindahan alam semesta dan ciptaan kekuasaanuya, sesuai dengan firman allah Swt. dalam surat al-Mu'min 23-78.[9] Lalu dengan berbagai potensi itu manusia memafaatkan berbagai macam kekayaan alam yang tak terhingga yang semuanya itu adalah milik Allah Swt yang harus dieksploirasi untuk mengemban tugas suci sebagai khalifah. Hasil dari eksplorasi itulah yang menghasilkan sebuah kebudayaan atau lebih akrab disebut peradaban yang lalu melakhirkan moderenisme.

Secara etimologis, istilah modernisasi dapat diidentikan dengan istilah tajdid fil al-ahwal addunya wama fiha. Namun istilah Modernisasi[10] mendapat kesan negatif di sebagian pandangan umat karena; pertama, modernisasi yang diagung-agungkan sekarang berasal dari Barat bukan dari timur, sementara modernisasi yang mengarah pada ilmu pengetahuan dan teknologi cenderung ditinggalkan. Kedua, modernisasi dianggap sebagai sumber hukum demi terciptanya ideologi demokrasi yang akan mengakibatkan penyalagunaan atas HAM, seperti yang terjadi di Turki, Tunisia dan Prancis. Ketiga, modernisasi selalu diidentikan dengan westernisasi.

Ada sebuah ungkapan lama yang sering kita dengar limaza' ta'aharal Muslimun wa takodama gairuh" (mengapa umat Islam mundur atau terbelakang sementara umat lain maju). Sebuah setitment yang membangkitkan semangat dan gairah hidup umat Islam.[11] Kenyataannya sekarang ini secara jujur dapat dikatakan demikian keadaannya, bahwa mayoritas umat Islam (untuk tidak mengatakan semuanya) menghadapi problem yang kompleks baik intenal maupun eksternal. Katakanlah seperti; kebodohan keterbelakan, kemiskinan dimana, bercerai-berai antara golongan satu dengan yang lain, saling curiga antar sesama, dan seterusnya. lantas yang menjadi pertanyaan adalah dimana titlel kehormatan dari Tuhan sebagai khairu ummah insan kamil atau ummatan wasatan? Apa yang salah dengan umat ini, ajarannya atau orang-orangnya? Ini adalah pertanyaan mendasar dan selaligus menjadi PR internal umat Islam sendiri.

Di sisi lain sering terdengar sebuah pertanyaan yang cukup menarik untuk diperhatikan dengan serius, masihkah Islam relevan bagi kehidupan modern? Mampukah ia bertahan di era yang serba canggih ini?. Macam-macam jawaban yang mengemuka. Sebagian mereka spiktis-pesimis dengan ajaran Islam, sebagian mereka ada yang opimis banget dengan ajaran Islam, tetapi syaratnya harus kaffah, katanya. Kalau parsial maka justru akan mendatangkan masalah baru, tidak bisa menyelesaikan masalah secara sepotong-potong, daulah Islamiyah harus ditegakkan sebagai satu-satu solusi.

Dalam pandangan umat Islam memberikan pedoman hidup kepada umat manusia secara menyeluruh (universal) tidak hanya dalam bidang aqidah, ibadah, tetapi mencakup akhlak, dan muamalah dan intraksi-intraksi lainnya. Al-Quran menurut para alim-ulama' adalah kitab yang komprensif yang diyakini sebagai way of life yang paling tepat, bahkan al-Quran sendiri mengklaim diriNya sebagai petunjuk[12] tidak hanya bagi umat Islam yang mempercayainya tetapi umat manusia secara umum.[13]

Enest Gellner seperti yang dikutip oleh Cak Nur dalam bukunya ‘Di antara tiga Agama monoteis Yahudi, Kristen, dan Islam, baginya Islam adalah yang paling dekat dengan modernitas. Hal ini disebabkan, ajaran Islam tentang universalisme, spirituralisme, egaliterisme spitual, yang meluaskan partisipasi dalam masyarakat kepada semua anggotanya serta mengajarkan sistemaisasi rasional dalam kehidupan sosial.[14] Dalam konteks zaman modern yang paling akhir saat sekarang ini, umat manusia seperti yang telah disinggug di atas, dihadapkan dengan lingkungan yang tarik menarik dan saling mempengaruhi, di antara gesekan dan kompetisisi yang mau tidak mau sering mencari otentisitasnya sebagai sebuah ummat yang berideologi Islam. Maka dengan mudah umat mencari sumber aslinya berupa Al-Qur’an pada khususnya sunnah Nabi sebagai pelengkapnya. Dengan demikian, Al-Quran sebagi way of life[15] umat Muslim yang kalau dikaji secara teliti akan terdapat nilai-nilai universal yang bisa dibawa kemana-mana, dalam kondisi apapun al-Quran tetap memberikan solusinya, minimal menyebutkan indikasi positif tentang solusinya.

Dalam Al-Quran surat al-Baqarah ayat 143 dikatakan

y7Ï9ºxx.ur öNä3»oYù=yèy_ Zp¨Bé& $VÜyur (#qçRqà6tGÏj9 uä!#ypkà­ n?tã Ĩ$¨Y9$# tbqä3tƒur ãAqߧ9$# öNä3øn=tæ #YÎgx©

3 $tBur $oYù=yèy_ s's#ö7É)ø9$# ÓÉL©9$# |MZä. !$pköŽn=tæ žwÎ) zNn=÷èuZÏ9 `tB ßìÎ6®Ktƒ tAqߧ9$# `£JÏB Ü=Î=s)Ztƒ 4n?tã Ïmøt7É)tã 4

bÎ)ur ôMtR%x. ¸ouŽÎ7s3s9 žwÎ) n?tã tûïÏ%©!$# yyd ª!$# 3 $tBur tb%x. ª!$# yìÅÒãÏ9 öNä3oY»yJƒÎ) 4 žcÎ) ©!$#

Ĩ$¨Y9$$Î/ Ô$râäts9 ÒOŠÏm§

Artinya:

Dan demikian (pula) kami Telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan, agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. dan kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang Telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.

Yang jadi fokus (syahid) dari ayat ini adalah ungkapan Tuhan dengan lafaz wasatan dan syhidan.[16] Artinya dalam bentuk apapun lafaz ini tetap bermakna seimbang (proferional), modern, maju dan seterusnya. Sedangkan kata syhidan' itu secara ilmu gramatikal (an-nahwu) mengambil bentuk islm fail yang berarti pelaku dari sesuatu, orang menyaksikan modernenitas, profesionalitas dan seterusnya[17]. Jadi seorang Muslim sejati itu menurut hemat penulis dalam memahami ayat ini adalah sebagai aktor peradaban dunia bukan sebagai penontondan, pengekor, pengkonsumen dan tidak pula sebagai budak peradaban dunia modern.[18]

Allah berfirman dalam al-Qur’an:

óOÎgƒÎŽã\y $uZÏF»tƒ#uä Îû É-$sùFy$# þÎûur öNÍkŦàÿRr& 4Ó®Lym tû¨üt7oKtƒ öNßgs9 çm¯Rr& ,ptø:$# 3 öNs9urr& É#õ3tƒ y7În/tÎ

4n?tã Èe@ä. &äóÓx« îÍky­ ÇÎÌÈ Iwr& öNåk¨XÎ) Îû 7ptƒöÏB `ÏiB Ïä!$s)Ïj9 óOÎgÎn/u 3 Iwr& ¼çm¯RÎ) Èe@ä3Î/ &äóÓx« 8ÝŠÏtC

Artinya:

Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu? ingatlah bahwa Sesungguhnya mereka adalah dalam keraguan tentang pertemuan dengan Tuhan mereka. ingatlah bahwa Sesungguhnya Dia Maha Meliputi segala sesuatu.

Cak Nur, sebutan akrab Nurcholis Madjid, mengementari surat Fusilat, 41;53-54 tersebut di atas bahwa banyak ahli tafir (mufassirin) menafsirkan ayat tersebut dengan menjujuk kepada janji Tuhan pada kemenangan agama Islam dalam sejarah, yaitu sejarah kejayaan umat Islam terutama dimulai dengan ekpansi militer dan politik di masa khalifa’ur rasyiddin. [19]

Namun bagi Yusup ali, intelektual Muslim, seperti yang dikutip Cak Nur, mengatakan bahwa ayat ini menunjuk kepada perwujudan peran yang dimainkan oleh umat Islam, yang pemimpinnya telah tampil sebagai pemimpin dunia dan umat manusia. Inilah yang dimaksud dengan "tanda-tanda di seluruh ufuk itu.[20]

Namun yang jelas bahwa Islam dalam mengahadapi zaman modern[21] saat sekarang, persaingan dalam segala bidang sudah tidak bisa dihidari lagi, neolibralisme sudah mengurita di otak kebanyakan manusia. Islam sesuai dengan konsepnya yang univerasal, egaliter dan seterusnya sangat menekankan nilai-nilai moral yang tinggi. Dalam keadaan bagaimanapun dan dimanapun keadilan, kejujuran, kebersamaan, kasih sayang, hormat menghormati, saling bantu membantu dan seterusnya merupakan nilai-nilai dasar manusia yang sudah tertera dalam al-Quran. Bukankah banyak ayat-ayat yang berbicara tentang itu? Al-Quran secara universal bisa dibawa kemana-mana dan dalam kondisi bagaimana pun akan dapat menjadi solusi bagi kehidupan manusia, sesuai dengan fungsi utamanya. Dengan meminjam bahasanya Fazlur Rahman dalam ‘Metodologi Tafsirnya’ double movement-nya, Al-Quran yang penting adalah spiritnya, yang utama adalah hakikat pewahyuan Al-Quran itu yang harus ditanggap. Spirit dalam hal ini adalah ideal moralnya. Islam sangat peduli dalam segala bidang kehidupan manusia termasuk di dalamnya adalah sektor perekonomian, karena bagaimana pun harta merupakan tiang penyangga kehidupan manusia di muka bumi dan merupakan sarana penting dalam beribadah kepada Tuhan. Berbicara tentang Sistem ekonomi Islam yang sejak beberapa dekade terakhir mulai bergaung, artinya pemenuhan kebutuhan dasar manuaia dalam kerangka dasar ajaram Islam dan moralitas yang baik.[22]

Agama bagaimanapun (selalu) menampilkan dua sisi tersebut (antroposentris dan teosentris). Pada masyarakat Islam, kita dapati bagaimana umat memperlakukan (tafsir) Al-Qur’an dalam posisi antroposentris (humanetarian) ketika memandang Al-Qur’an yang kehadirnya semata-mata sebagai petunjuk manusia maka berpendapat tidak ada ayat yang begitu saja ‘tersembunyi’ tanpa dimaknai dalam konteks interaksi antar manusia. Walaupun perlu catatan khusus perbedaan keberlakuan tesis ini pada komunitas Islam Suni dan Islam Syiah. Dikalangan Suni pembaharuan pemikiran Islam terasa lebih progresif, barangkali watak teologinya yang ‘meminimalkan’ perlunya kema’suman keturunan. Ini maknanya kalangan Suni akan lebih akomodatif terhadap gagasan. Dengan demikian dalam Suni doktrin otoritas atas tafsir rawan sekali goyah, dalam pengertian ini doktrin Suni lebih bernuansa antroposentris dibandingkan dengan sahabatnya di kalangan Syiah.

Dunia Islam dalam sejarah barunya mengenal kelompok intelekual yang berusaha mewujudkan relevansi antara Islam dan pemikiran abad modern, yaitu dengan meninjau kembali ajaran-ajaran Islam dan menafsirkannya dengan interpretasi baru. Jika hal ini merupakan tujuan modernisme di Barat, maka istilah itu dapat digunakan bagi kecenderungan serupa yang ada pada alam pikiran Islam modern.

Kata modernisme dalam Islam, bisa dibahasakan dengan kata yang berbeda seperti; tajdid (pembaharuan), tahwir (pengembangan), tahdis (kemodernan) yakni menjadikan Islam sebagai agama modern.[23]

Pelopor modernisme dalam Islam adalah Sayyid Khan (1232-1315 H/1817-1898 M). Dia adalah orang India yang meyakini perlunya penafsiran baru terhadap Islam, yaitu penafsiran bebas modern dan maju. Sayyid Khan bukan orang pertama yang mencetuskan ide modernisme, dia adalah figure modernisme yang komplit. Orang-orang yang datang sesudahnya tidak mencetuskan hal-hal yang baru tapi hanya mengulangi formulasi pikiran-pikiran dengan berbagai corak macamnya. Jika kita teliti defenisi modernisme yang secara global berusaha merelevansikan agama dengan pengetahuan modern dengan jalan menafsirkan kembali agama dan ajarnnya sesuai ddengan pengetahuan modern, maka defenisi ini secara keseluruhan sesuai dengan pola pemikiran yang dicetuskan oeleh Sayyid Khan.

Sayyid Khan berusaha untuk merelevankan Islam dengan peradaban Barat. Khan berpendapat bahwa al-Qur`an-lah sebagai satu-satunya untuk memahami Islam, dengan argument perkataan Umar bin khatab, Cukup untuk kita kitab Allah.

Dalam konteks kekinian kita tidak mungkin bersandar pada tafsir-tafsir klasik saja dalam memahami al-Quran yang memuat berbagai khurafat, tetapi kita juag harus berpijak pada teks al-Qur`an itu sendiri yang meerupakan firman Allah, dengan pengetahuan dan pengalaman kita masing-masing, kita dapat menafsirkan al-Qur`an secara modern.[24] Karena dalam al-Qur`an tidak ada yang bertetangan dengan alam, jadi susunan alam yang tunduk kepada undang-undang mutlak yang tidak mengenal kontradisksi pengecualian. Jadi al-Qur`an merupakan pedoman tunggal untuk memahami agama. Adapun hadis bukan merupakan dasar asasi, demikian pendapat dari Khan. Oleh karena itu dia hanya menerimaa hadis-hadis yang sesuai dengan nash dan ruh al-Qur`an. Sesuai dengan akal dan pengalaman manusia serta tidak bertolak belakang dengan fakta sejarah yang benar. Ia membagi hadis menjadi mutawatir dan mashyur serta ahad. Hadis mutawatir dapat diterima, hadis mashyur tidak dapat diterima kecuali setelah lulus sensor, sedangkan hadis ahad hampir tidak mungkin diterima secara mutlak. Hadis-hadis yang dapat diterima dan memenuhi syarat pun masih ia bagi menjadi dua; hadis-hadis yang khusus mengenai agama (kepercayaa adaya Allah, sifat-sifatnya serta tata cara beribadah) dan hadis-hadis yang khusus mengenai keduniaan (politik, administrasi, sosial, ekonomi). Hadis-hadis tentang agama merupakan ketetapan dan wajib bagi kaum Muslimin untuk berpegang teguh pada-Nya, sedangkan hadis-hadis tentang keduniawian sama sekali tidak termasuk dalam misi rasulallah, bahkan segala sesuatu yang berhubungan dengan masalah itu, khusus berkaitan denga situasi dan kondisi bangsa Arab di zaman kenabian dan bukan merupakan suatu ketetapan bagi kaum Muslimin, yang demikian karena masalah agama adalah tetap sedangkan masalah keduniaan selalu berubah. Sebagai argumen untuk memperkuat pendapatnya ini ia membawakan hadis tentang pengawinan pohon kurma yang dikatakan rasullah; “Kamu semua lebih mengetahui urusan-urusan duniamu”.

Tokoh-tokoh pembaharuan pada generasi pertama selain Sayyid Khan, adalah Muhammad Iqbal, Muhammad Abduh, dan Ali Abdur Raziq. Pada generasi kedua adalah Muhammad Asad, yang menyatakan bahwa jika Islam secara praktis merupakan sumber inovasi, maka hal ini telah di sabdakan oleh Rasullallah yang artinya “Islam mulai (muncul) dalam keadaan asing dan (akhirnya) ia akan kembali asing seperti semula.”

Metode penafsiran modernisme tidak mungkin menafikan kondisi baru dan berkembangnya ilmu pengetahuan manusia, maka tidak mungkin memahami al-Qur`an bersandar pada tafsir-tafsir klasik yang banyak mengandung khurafat. Tapi al-Qur`an harus diinterpretasikan menurut pengetahuan dan pegalaman pribadi. Karena termasuk keistimewaan khusus al-Qur`an bahwa setiap pengetahuan dan pengalaman kita mengenai alam ini bertambah, semakin terungkaplah berbagai makna ayat yang sebelumnya belum pernah tersirat dibenak kita. Penafisran kita terhadap ayat al-Qur`an mungkin berbeda dengan orang dahulu, perbedaan ini sangat tajam dan mendalam bahkan tidak jarang bertolak belakang. Perbedaan ini wajar karena ahli tafsir terdaulu memahami nash-nash al-Qur`an dalam sorotan bahasa Arab dan sunnah, serta disesuaikan dengan pengetahuan yang mereka miliki waktu itu dan kondisi sosial yang ada. Fungsi hadis adalah penting dalam menafsirkan al-Qur`an, karena al-Qur`an merupakan kitab yang diturunkan Allah kepada Muhammad saw. supaya dijelaskan dan diajarkan kepada manusia. Dengan demikian harus diakui bahwa pemahaman yang benar dan terpercaya adalah pemahaman Nabi Muhammad saw.

2. Sikap Islam Terhadap Peradaban dan Moderenitas

Secara tekkstual sejak 14 abad yang lalu, al-Quran telah menegaskan bahwa Islam adalah ajaran universal yang misi kebenaran ajaran agamanya melampui batas-batas etnis, bangsa, dan bahasa. Kita temukan banyak stitment dalam al-Quran yang berciri kosmopolitanisme dan golobalisme. Mislanya ungkapan "hai… sekalian manusia" dan jangkauan dakwahnya meliputi semua dunia, bukan agama suku, rasial, dan parial seperti agama yang mendahului-Nya.

Secara garis besar sikap Islam terhadap peradaban dan moderenitas selama perjalanan sejarahnya ada dua macam yaitu :

a. Mengembangkan unsur-unsur peradaban dan pemikiran yang mendukung misinya. Seperti dalam kontek Indonesia adalah kesenian wayang kulit. Kemudian keramahtamahan bangsa Arab dalam menerima tamu selam tiga hari, merupakan contoh budaya yang ditolerir dalam Islam. Demikan halnya dalam bidang ilmu pengetahuan dan tehnologi Islam sangat mendukung hal itu. Hal ini terlihat dari banyaknya stitment dalam al-Quran yang memerintahkan manusia untuk berpikir, merenung, mencermati, mengamati, mengobservasi dan seterusnya, yang kesemuanya itu merupakan anjuran secara tidak langsung bahwa Islam adalah agama yang mendukung akan kemajuan dan seharusnya umat harus mampu untuk mempimpin peradaban dunia seperti harapan Tuhan kepada hamba-hambanya. Untuk leih jelasnya penulis akan menulis faktor-faktor kemajuan umat Islam pada akhir pembahasan ini.

b. Menolak peradaban yang bertentangan dengan missinya sebagai pemulia ras manusia. Contohnya adalah masalah perbudakan, dan derajat perempuan tatkala itu. Pada awal-awal turunnya al-Quran, Islam membiarkan terjadinya perbudakan. Karena sudah menjadi tradisi masyarakat yang sangat sulit diberantas secara revolusi, namun setelah lama dan secara beransur-ansur perbudakan oleh al-Quran mengajurkan untuk dihapuskan, karena menurut al-Quran merupakan yang baik dan mulia, dan akan mendapatkan ganjaran yang banyak disisi allah.[25]

Dari uraian di atas bahwa sesungguhnya Islam sebagai agama (way of live) sangat care kepada nilai-nilai kemanusiaan. Bahkan sesungguhnya Islam dapat dikatakan sebagai pembawa peradaban yang jauh lebih baik dari perabadan sebelumnya.

Dibawah ini penulis akan mencoba untuk menguraikan masa-masa kemajuan Islam yang membawa Islam kepada masa keemasannya (The Goden Age of Islam) yang semua itu tidak lepas dari nilai-nilai dari agama yang dipahami oleh para intelektual Islam pada masa itu.

3. Faktor-faktor Kemajuan Islam.

Puncak dari kejayaan daulah Abasiyah adalah pada masa Khalifah Harun al-Rasiyd dan putranya al-Makmun serta khalifah-khalifah sesudahnya sampai pada masa al-Mutawakkil. Pada masa Harun al-Rasyd, kekayaan Negara yang banyak sebagian besar dipergunakan untuk mendirikan rumah sakit, membiayai biaya pendidikan kedokteran dan farmasi. Sementara masa al-Makmun ia menggunakan untuk menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen, Sabi'i bahkan penyebah biantang untuk menterjemahkan buku-buku yang berhasa asing ke dalam bahasa Arab, serta mendirikan Baitul Hikmah sebagai pusat penerjemahan dan akademik yang dilengkapi dengan perpustakaan. Di dalamnya diajarkan berbagai macam disiplim ilmu seperti, kedokterna, matematika, geografi, dan filsafat. Di samping itu, masjid-masjid juga merupakan sekolah, tempat mempelajari berbagai disiplin ilmu dengan berbagai khalaqah di dalamnya. Pada masanya kota Bagdad menjadi pusat kota kebudayaan dan ilmu pengetahuan.[26]

Di bawah ini factor-faktor kemajuan dalam dunia Islam

a. Faktor Politik

1. Pindahnya ibu kota Negara dari Syam ke Irak dan Bagdad sebagai ibu kotanya (tahun 146 H.). Bagdad pada waktu itu merupakan kota yang paling tinggi kebudayaannya dan sudah lebih dahulu mencapai tinggat ilmu pengetahuan yang lebih tinggi dari Syam.[27] Di samping itu wilayah kekuasaan Islam ketika itu terbagi menjadi dua: bagian Arab yang terdiri atas Arabia, Irak, Suriah, Palestinan, Mesir, dan Afrika Utara berpusat di Mesir. Sedangkan bagian Persia yang terdiri dari Balkan, Asia kecil, Persia, dan Asia Tengah berpusat di Iran, yang semuanya pusat-pusat ilmu pengetahuan dan Filasfat Yunani.

2. Banyaknya cendikia yang diangkat menjadi pegawai pemerintah dan istana. Khalifah-khalifah Abasiyah misalnya; al-Mansur, banyak mengangkat pegawai pemerintah dan istana dari cendikiawan-cendikiwan Persia. Yang terbesar dan terbanyak pengaruh pada mulanya ialah keluarga Barmak dan kemudian jabatan Wazir yang diberikan al-Mansur kepada Khalid bin Barmak dan turun temurun kepada keluarga anak cucunya, yang terkenal cinta akan ilmu pengetahuan dan filsafat dan cendrung berpaham Mu'tazilah. Jadi disamping mereka menjadi wazir juga menjadi pendidik dari pada keluarga khalifah[28]

3. Diakunya Mu'tazilah sebagai mazhab resmi Negara pada masa khalifah al-Makmun pada tahun 827 M. Mu'tazilah merupakan aliran yang kita tau sangat menganjurkan kemerdekaan dan kebebasan berpikir kepada manusia.

b. Faktor Sosiografi

1. Meningkatnya kemakmuran umat Islam pada waktu itu. Menurut ibn Khaldun sebagaimana dikutip oleh Ahmad Amin, ilmu itu seperti industri, banyak atau sedikitnya tergantung pada kemakmuran, kebudayaan, dan kemewahan, masyarakat[29] kemakmuran yang dicapai oleh umat Islam ketika itu seakan hanya terdapat dalam alam khayal. Hikmat alfu lailah wa lailah adalah cerita yang menggambarkan kehidupan mewah pada masa itu.[30]

2. Luasnya kekuasaan Islam menyebabkan banyaknya orang Persia dan Romawi masuk Islam kemudian menjadi Muslim yang taat. Hal ini menyebabkan perkawinan campuran yang melakhirkan keturunan yang tumbuh dengan memadukan kebudayaan kedua orang tuanya. Hal ini banyak dilakukan oleh Khalifah, Panglima, Gubenur, Menteri dan para pembesar lainnya. Golongan keturunan ini sangat menojol pada masa Abasiyah karena mereka mempunyai banyak keistimewaan dalam bentuk tubuh, kecerdasaan akal, kecakapan berusaha, berorganisasi, bersiasat, dan terkemuka dalam segala bidang.[31]

3. Pribadi khalifah pada masa itu, terutama masa dinasti Abasiyah I seperti al-Mansur, Harun al-Rasiyd, dan al-Makmun yang sangat mencintai ilmu pengetahuan sehingga kebijakannya banyak ditujuakan kepada kemajuan ilmu pengetahuan.

4. Selain itu semua menurut Ahmad Amin, karena permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam semakin komplek dan berkembang, maka untuk mengatasi semua itu diperlukan pengaturan, pembukaan dan pembidangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu naql yang terdiri dari ilmu agama, bahasa, dan abad. Adapun ilmu aql seperti kedokteran, mantek, dan ilmu-ilmu riyadhiyah telah dimulai oleh umat Islam dengan metode yang teratur[32]

c. Aktivitas Ilmiyah

Ada beberapa aktivitas ilmiyah yang berlangsung di kalangang umat Islam pada masa dinasti Abasiyah yang mengantarkan mereka pada kemajuan dibidang ilmu pengetahuan, yaitu;

1. Penyusunan Buku-buku Ilmiyah

Aktivitas penyusunan buku ini, sebagaimana dituturkan oleh Syalaby berjalan melalui tiga fase. Pertama adalah pencatatan pemikiran atau hadis atau hal-hal lain pada kertas kemudian dirangkap. Kedua pembukuan pemikiran atau hadis-hadis rasullah dalam satu buku, misalnya menghimpun hukum-hukum fiqih dalam buku tertentu dan sejarah dalam buku tertentu pula. Ketiga adalah penyusunan dan pengaturan kembali buku-buku yang telah ada dalam pasal-pasal dan bab-bab tertentu[33]

Penyusunan buku-buku ini, sebagaiman diutarakan di atas berlangsung pada masa dinasti Abasiyah I (132-232 H.), pada masa sebelumnya, ulama'-ulama' mentransfer ilmu mereka melalui hapalan dan lembaran-lembaran yang tidak teratur. Pada tahun 143 H. berulah mereka menyususn hadis, fiqih, Tafsir, dan banyak buku dari berbagai bahasa yang meliputi segala macam ilmu yang telah berhasil diterjemahkan kedalam bahasa Arab dalam bentuk buku yang tersusun secara sistematis.

2. Penerjemahan

Penerjemahan merupakan aktivitas yang paling besar peranannya dalam mentransfer ilmu pengetahuan yang berasal dari bahasa-bahasa asing seperti bahasa sansekerta, Suryani, atau Yunani ke dalam bahasa Arab.

Pada dasarnya, penerjemahan dari bahasa asing ke dalam bahasa Arab telah dilakukan sejak masa Umaiyah, seperti yang dilakukan oleh Khalid bin Yazid yang memerintahkan sekelompok orang yang tinggal di Mesir untuk menterjemahkan buku-buku tentang kedokteran, bintang dan kimia yang berbahasa Yunani ke dalam bahasa Arab.[34] Demikian juga khalifah Umar bin Abdul Aziz menyuruh menterjemahkan buku-buku kedokteran ke dalam bahasa Arab. Namun penerjemahan ini menurut Daudy pada umumnya hanya dilakukan oleh orang-orang yang berkepentingan serta dilakukan terhadap buku-buku yang ada kaitannya langsung dengan kehidupan peraktis.[35]

Setelah kekuasaan berpindah ketangan Abasiyah, aktivitas penerjemahan semakin berkembang dengan pesat. Khalifah al-Mansur misalnya, terkenal sangat mencitai ilmu pengetahuan terutama ilmu bintang. Sehingga ia menyuruh Muhammad bin Ibrahim al-Fazzazi (ahli palak pertama kali dalam Islam) untuk menterjemahkan buku sindahind buku ilmu palak dari India ke dalam bahasa Arab, demikian pula beberapa buku lain tentang ilmu hitung dan angka-angka India[36] dari bahasa sansekerta diterjemahkan buku Kalilah wa Dimnah ke dalam bahasa Persi, kemudian Abdullah bin al-Muqaffa menterjehkan ke dalam bahasa Arab.[37] Penerjemahan lainya yang terkenal adalah Jurjis bin Bakhtisyu (801 M) dan Gibril murid Bakhtisyu. [38]

Pada masa khalifah Harun al-Rasyid, menterjemahkan terus berlanjut dan mulai diterjehamkan buku-buku ilmu penetahuan Yunani. Orang-orang dikirim kekerajaan Romawi untuk membeli manuscripts. Pada mulanya yang dipentingkan adalah buku-buku kedokeran, kemudian ilmu-ilmu lain dan filsafat. Buku-buku ini diterjehamkan terlebih dahulu ke dalam bahasa Sirianice, bahasa ilmu pengetahuan di Mesopotomia waktu itu, kemudian ke dalam bahasa Arab.[39] Menurut Philif K Hitty Nestor Syrialah yang pertama menterjemahkan buku-buku tersebut ke dalam bahasa Sirianic[40]

Aktivitas penterjemahan mencapai puncaknya pada masa al-Makmun. Khalifah ini pula seorang cendikia yang sangat besar perhatianya kepada ilmu pengetahuan. Pada tahun 832 M. al-Makmun mendirikan Baitul al-Hikmah di Bagdad sebagai akademik pertama, lengkap dengan tropong bintang, perpustakaan dan lembaga penerjemahan. Dan kepala akademi ini pertama adalah Yahya bin Musawiyah (777-857 M) murid Gibril bin Bakhtisyu, kemudain diangkat Humain bin Ishaq murid Yahya sebagai Ketua kedua.[41] Sebagian ilmuan berpendapat bahwa usaha ilmiyah terpenting dijalankan oleh akademi ini terjadi sewaktu di kepalai oleh Hunain Bin Isahaq (w. 873 M), Seorang Kristen yang pandai berbahasa Arab dan Yunani. Hunain berhasil memindahkan ke bahasa Arab isi kandungan buku-buku karangan Eulide, Galan, Hipocates, Apolonius, Plato, Aristoteles, Thimestius, Perjanjian Lama dan sebuah buku kedokteran yang dikarang oleh Paulus al-Agini dengan bantuan peneterjemah dari Baitul al-Himah itu. Sementara ia sendiri telah menterjemahkan ke dalam bahasa Arab buku-buku karangan Plato, Aristoteles, dan lain-lain [42]

Selain kota Bagdad, aktivitas penerjemahan juga terdapat di kota Marwa (Persia tengah) dan Jundaisabur (Barat Persia). Di kota pertama lebih dipusatkan pada matimatika dan ilmu falak, sedangkan di kota kedua lebih tertarik pada ilmu-ilmu kedokteran dan obat-obatan. Namun kota Harran juga ternyata lebih giat dalam penterjemahan dari pada kota kedua tersebut. Penteremahan yang sangat menjol dikota ini adalah Tsabit bin Qurrah (910 M.) dan anaknya Sinam bin Tsabit yang kemudian pindah ke kota Bagdad. Penerjehahan dilakukan secara langsung dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab terhadap buku-buku ilmu palak, kedokeran, filsafat, dan lain-lain [43]

Selain masa al-Makmun, penerjemahan berjalan terus, bahkan tidak hanya menjadi urusan istana, tetapi telah menjadi urusan pribadi oleh orang-orang yang gemar dan mencintai ilmu, misalnya Muhammad, Ahmad dan al-Hasan anak-anak Musa bin Syakir yang telah menafaathkan sebagian besar hartanya untuk penerjemahan buku-buku.[44] Dan pada umumnya priodeisasi penerjemahan ini dikatagorikan oleh para ahli sejarah menjadi dua bagian besar yaitu priode 650-800 M. dan dari 800-900 M.[45]

3. Pensyarahan.

Menjelang abad ke 10 M, kegiatan kaum Muslimin bukan hanya menterjemahkan, bahkan sudah mulai memberikan sarahan (penjelasan) dan melakukan tahkiq (pengeditan). Pada mulanya muncul dalam bentuk yang ringkas, lalu dalam wujud yang lebih luas dan dipadukan dalam berbagai pemikiran dan petikan, analisis dan kritik yang disusun dalam bentuk bab-bab dan pasal-pasal. Bahkan dengan kepekaan mereka, hasil kritik dan analisis itu memancing lahirnya teori-teori baru sebagai hasil renungan mereka sendiri. Misalalnya apa yang telah dilakukan oleh Muhammad bin Musa al-Khowazimi dengan memisahkan ilmu jabar dari ilmu hisab yang pada akhirnya menjadi ilmu tersendiri secara sistematis. Pada masa inilah lahir karya ulama'-ulama' yang telah tersusun rapi[46]

d. Kemajuan Ilmu Pengetahuan

Aktivitas ilmiyah yang dilakukan oleh kaum Muslimin mengantarkan mereka kepada puncak kemajuan ilmu pengetahuan pada masa Abbasiyah. Penerjemahan yang dilakukan dengan giat menyebabkan mereka dapat menguasai warisan intelektual dari tiga kebudayaan yaitu; Yunani, Persia dan India, yang pada akhirnya kaum Muslimin mampu mengembangkan kebudayaan ilmu agama, filsafat dan sains (ilmu umum). Fenomena ini menarik perhatian para ahli sejarah kebudayaan Islam karena sebagian besar orang yang berkecimpung dalam ilmu pengetahuan adalah mawaly (Muslim bukun keturun Arab atau bekas budak), terutama mereka yang berasal dari keturunan Persia[47]

C. Analisis dan Kesimpulan

Lahirnya Muhammad saw. dan turunnya al-Qur`an menandai dimulainya penemuan dan pengembangan sumber pengetahuan baru bagi kebudayaan manusia. Sumber pengetahuan baru itu adalah kesadaran induktif yang kelak akan memegang peran amat penting bagi peradaban manusia. Al-Qur`an berulang-ulang menekankan pentingnya manusia merenungkan keberadaan alam sekitar. Semangat induktif al-Qur`an inilah yang memberikan corak baru dalam perkembangan kebudayaan manusia Islam hadir bersifat terbuka. Karena itu, Islam membuka dialog dengan kebudayaan lain. Kebudayaan Yunani terutama tradisi filsafat dan pemikiranya adalah kebudayaan yang sangat terasa peranannya terhadap kebudayaaan Islam.[48]

Sejak al-Kindi menerjemahkan karya-karya pemikir Yunani, kegairahan para pemikir Muslim pada kebudayaan menggelora, tapi mereka menemukan kontradiksi antara corak pemikiran Yunani dan spirit al-Qur`an. Tradisi filsafat Yunani terlalu menekankan aspek-aspek teoritik spekulatif idealistik dan cenderung mengesampingkan realitas faktual.

Seperti yang dikatakan di atas bahwa, Arnold J. Toynbee seorang serjarawan terkemuka mengatakan bahwa para ahli sejarah di masa mendatang akan mengatakan bahwa kejadian yang besar di abad dupuluh adalah pengaruh kuat peradaban Barat terhadap semua masyarakat dunia. Mereka juga akan berkata bahwa pengaruh tersebut sangat kuat dan mampu menembus dan menjungkir balikan korbannya… Prediksi ini dalam konsteks sekarang ini dapat kita katakan terbukti adanya (walaupun tidak selalu begitu). Revolusi teknologi informasi telah memberikan kekuatan yang sangat besar dalam merubah paradigma kemanusiaan. Di antaranya yang paling cepat mengadopsi perubahan paradigma itu adalah dunia usaha dan perekonomian global. Sejak revolusi indusrti bergulir, telah banyak terjadi pada masyarakat dunia, tak memandang batas geografis, sekat daerah dan negara, pola hidup modern telah mengejala bahkan mewabah di masyarakat dunia semuanya. Maka dengan arus globalisasi[49] telah menimbulkan dampak yang sangat berarti dalam berbagai dimensi kehidupan manusia, paham neolibraliseme sudah menjadi impian banyak orang, persaingan dalam berbagai hal sudah tidak bisa dibendung lagi, pasar bebas sudah lama terbuka, yang semuanya adalah punya nilai plus-minus bagi umat manusia secara umum. Namun, pada dasarnya perubahan moderenisasi yang sudah mengglobal ini, yang dapat dikatakan berdasarkan kebebasan individu, anti kesejahrtaan koletif, budaya hodonisme, dan penyakit-penyakit lainnya, sudah barang tentu bersinggungan dengan Agama secara umum, lebih-lebih Islam. Maka sesuai dengan uraian di atas bahwa Islam pada dasarnya tidak anti modereinis, tetapi memberikan filter dan arahan supaya tidak terjebak dalam kesenagan patamorgana semata. Islam tidak anti dengan ilmu dan tehnologi, tetapi mendukung bahkan selalu menyeru umat untuk berpikir, merenugkan permaslahan dunia, menjadi solusi bagi permasalahan manusia, dengan menyandang gelar kehormatan dari Tuhan sebagai ummatan wasatan, khair ummah, insal al-kamil, dan khalifah harus diwujudkan.

Berbicara tentang peradaban berarti berbicara tentng manusia, manusia adalah mahluk istimewa yang punya potensi besar untuk beradab, sekaligus berpotensi untuk merusak. Peradabaan pada hakikatnya pengembangan diri dan potensi yang dimiliki, baik itu akal-pikiran, fisik dan spirit. Kebudayaan dan peradaban Islam meliputi berbagai aspek seperti; moral, keseniaan, dan ilmu pengetahuan, serta kebudayaan yang mempunyai sistmem teknologi, seni bangunan, seni rupa, sistme kenegaraan, dan ilmu pengetahuan secara luas, yang semua adalah karena penggalinan potensi diri dari para intelektual Islam yang di dasarkan dari iman kepada Allah Yang Maha Esa, guna kemaslahatan manusia itu sendiri dan bukan sebaliknya.

Faktor-faktor kemajuan Islam yang meliputi; faktor politik., sosiografi dan aktivitas ilmiah, berupa; penyusunan buku-buku ilmiah, baik ilmu pengetahuan agama maupun umum, pensyarahan, penerjemahan membawa Islam pada masa keemasannya. Yang tidak satu bangsa pun dapat mengingkarinya. Bagaimanpun juga bahwa Islam merupakan pewaris dari intelektual sebelumnya (Yunani dan Romawi, India dan lain-lain). Para ilmuan Islam telah berhasil mengantarkan manusia pada era kemajuan dan membebaskan manusia dari pada kejahiliahan peradaban. Dari apa yang telah diuraikan di atas bahwa banyak hal yang telah dilakukan oleh para intelektual Muslim dalam rangka memakmurkan bumi, mensejarakan umat manusia, lebih-lebih dibidang penerjemah. Sepakat atau tidak, kejayaan Islam dalam kebudayaan dan ilmu pengetahuan secara dekat berhubungan dengan aktivitas penerjemahan. Selama aktivitas itu masih terus berlangsung secara sponstan, Islam tetap memiliki kesempatan untuk meraih kemajuan-kemajuan kultural yang lebih tinggi. Tetapi, ketika aktivitas-aktivitas itu semakin menurun, kepemimpinan peradaban Islam menjadi hilang dengan sendirinya. Apa yang telah direncanakan oleh Islam untuk menyerap kebudayaan dan peradaban masyarakat lainnya melalui penerjemahan telah mencapai titik puncaknya. Sebagaimana proses penerjemahan telah membawa Islam ke puncak kepemimpinan budaya dan peradaban, maka proses penerjemahan itu pula yang telah membangunkan Eropa dari tidur panjangnya dan membawa dunia barat meraih kemajuannya, yaitu ditandai dengan renaissance pada abad ke 17 yang silam. \

Hal ini dilakukan oleh para inteletual Islam ketika itu, tidak hanya atas dasar untuk memperoleh kesenangan atau popularitas duniawi semata, namun lebih dari itu adalah semua didasari oleh pemahaman kepada agama mereka, yaitu dalam hal ini adalah spirit Al-Quran yang selalu menyuruh manusia untuk memikirikan, merenungkan, menganalisis, mengobservasi dan seterusnya. Islam adalah agama yang maju, beradab, dan sangat peduli kepada nilai-nilai kemanusiaan.

Islam bukanlah peradaban atau kebudayaan, tetapi melakhirkan peradaban atau kebudayaan. Kebudayaan yang dibawa Islam sesunggungnya sangat mengagungkan yaitu agama monotisme dan keadilan sosial. Islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kesopanan, dan kesamaan derajat di antara manusia.

Sebuah peradaban yang maju dan modern tidak akan banyak memberi manfaat bagi manusia tanpa disertai dengan moral dan nilai-nilai keadilan dari para pelakunya dan pemilik peradaban. Ia akan menjadi boomerang bagi umat manusia. Islam sangat mengidealkan antara kemajuan spiritual, emosional dan intelekual dalam membangun dunia sesuai dengan tugas dan fungsi manusia di dalam dunia.

Hanya saja sekarang ini umat Islam dihadapkan dengan kebudayaan dan perababan Barat yang menghegemoni masyarakat Muslim di penjuru dunia, terkesannya umat Islam dijadikan sebagai kelinci percobaan dan sasaran empuk dari ke-Super Poweraan mereka dalam segala bidang kemajuan. Secara jujur memang harus diakui baik dengan terpaksa maupun tidak, bahwa sekarang umat Islam agak sulit untuk berkometisi apalagi menyaingi dunia Barat. Namun dengan kembali kepada spirit al-Quran yang selalu menyeru umatnya menjadi umat yang terbaik Khair ummah tidak boleh menyerah dengan keadaan begitus saja. Wallah 'alam bisawab

DAFTAR PUSTAKA

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta PT Grapindo Persada 2002)

Johan Hendrik Meulemen, Pergolokan Pemikiran Keagamaan, Eklopedi Tematis Dunia Islam, (Jakarta: PT. Ihtiar Baru Van Houve , th)

Humtingtion, The Class Of Civilition, 1996,

Nurcholis Majid, Islam dokterin dan pradaban, ( Jakarta : Yayasan wakaf Paramadina, 2000)

Husen Shatah, dalam kumpualan artikel yang berjudul, Bangunan ekonomi yang berkeadilan, (Jogyakarta: Magistra Insania Pers kekerjasama dengan MSI-UII, 2004)

Munthoha Dkk., Pemikiran dan Peradaban Islam, (Jogyakarta UII Press 1989).

Harun Nasution , Islam Ditinjau dari berbagai asfek (Jakarta, UI Press , 1985),

Ahmad Amin, Dhuha Islam (Berut, Darul al-Kutub al-Aroby, t,t)

A. Hasjmi, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1993)

Basam Tibi. Ancaman Fundamentalisme. Yogyakarta; Tiara wacana, 2000

Bustami. M. Said. Pembaharu dan Pembaharuan dalam Islam. Tt

Endang Saifuddin Anshari. Wawasan Islam. Bandung; Pustaka, 1983

Fazlur Rahman. Cita-Cita Islam. Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2000

_____________, Islam. Bandung; Pustaka, 2000

Harun Nasutian. Islam Rasional. Bandung; Mizan, 1996

Hasan al Turabi. Fiqih Demokrasi. Bandung; Mizan, 2003

Yusuf al Qardlawi. Sunnah, ilmu Pengetahuan dan Peradaban. Yogyakarta; Tiara Wacana, 2001

Sayyed Husein Nashr, Spiritualitas Islam Bandung, Mizan, 2000



[1] Hal itu terbukti dengan banyaknya kebutuhan masyarakat terhadap agama yang satu ini. Kebudayaan dalam hal ini tidak hanya berbentuk fisik bangunan, atau penemuan moderen yang dapat mempermudah masyarakat dalam menggapai sebuah kesejatraan dan kemapanan dalam hidup, tetapi lebih dari itu adalah kebudayaan dalam arti agama, agama yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw. telah membawa bangsa Arab pada khususnya dan manusia pada umumnya yang semula terbelakang, bodoh, tidak terkenal, dan diabaikan oleh bangsa-bangsa lain, menjadi bangsa yang dapat membaca dan maju. Ia dengan cepat dapat mengembangkan dunia, membina sebuah peradaban dan kebudayaan yang sangat penting artinya dalam sejarah umat manusia hingga sekarang. Bahkan kemajuan Barat pada mula bersumber dari peradaban Islam yang masuk ke Eropa melalui Spanyol. Untuk lebih jelasnya lihat Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Grapindo Persada, 2002), hal. 2

[2] Di samping al-Quran, hadis memainkan peran sebagai rujukan utama bagi umat Islam. Parahnya dalam pandangan sebagian orang awam, hadis yakini sumber keterangan utama mengenai sunnah Nabi dan umatnya yang pertama, bahkan hadis itu melebihi dari Al-Quran.

[3] Johan Hendrik Meulemen, Pergolakan Pemikiran Keagamaan, Enklopedi Tematis Dunia Islam, (Jakarta: PT. Ihtiar Baru Van Houve , th), hlm 122.

[4] Ibid…

[5] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Grapindo Persada 2002), hlm. 2

[6] Humtingtion, The Class Of Civilition, 1996, hlm. 40

[7] Sebenarnya sejarah manusia menurut Humtingtion, istilah perabadan (civilization). tu telah berkembang sejak abad 18 yang telah diperkenalkan oleh pemikir Perancis dengan istilah "Civilization" untuk membedakan dengan barbarisme oleh karena itu, masyarakat berperadaban (civilization society) berbeda dengan masyarakat primitif yang cendung memiliki karakter sebagai masyarakat yang tidak setteled, urban, dan literate. Masyarakat menilai perdaban kalau ia telah menjadi masyarakat yang "baik" atau unggul. Sedangkan masyarakat yang tidak berperadaban disebut sebagai masyarakat "tertinggal" atau "buruk" (Humtingtion,1996.40).

[8] Jauh sebelum Barat mengumandangkan modernisasi, setelah mampu menumbangkan rezim komunis di Eropa Timur, Islam pun telah mengisyaratkan hal yang sama. Datangnya Muhammad sebagai utusan Allah merupakan tuntutan modernisasi. Pembaharuan yang diusung Muhammad adalah perbaikan akhlak dalam tatanan sosial. Namun, pembaharuan yang dilakukan sekarang cenderung didramatisir oleh berbagai kepentingan sehingga menimbulkan konflik. Konflik itu dapat dilihat pada pertarungan tokoh-tokoh intelektual kita, sehingga sepertinya modernisasi tidak memberikan kontribusi bagi masyarakat Muslim.

[9][9]u

qèdur üÏ%©!$# r't±Sr& â/ä3s9 yìôJ¡¡9$# t»|Áö/F{$#ur noyÏ«øùF{$#ur 4 WxÎ=s% $¨B tbrãä3ô±n@

Artinya:

Dan dialah yang Telah menciptakan bagi kamu sekalian, pendengaran, penglihatan dan hati. amat sedikitlah kamu bersyukur

[10] Secara epistemologis modernisme dengan rasionalismenya telah mempengaruhi cendekiawan Muslim untuk menekankan penggunaan rasio -dalam pengertian reason- dalam memahami masalah-masalah keagamaan. Kaum modernis menekankan penggunaan akal dengan kontekstual; cara, alat dan sarana dalam memahami agama.

[11] Untuk menjawab tanda tanya ini ada sebuah ramalan yang mungkin saja betul dan mungkin saja salah, ia mengatakan bahwa sebab kita memperaktekkan ajaran mereka sementara memperaktekkan ajaran kita.

[12] Fungsi sentral al-Quran adalah sebagai petujuk bagi umat manusia dalam menjalani kehidupan, sekaligus sebagai pembeda yang jelas antara yang hak dan yang batil. Hal ini dikatakan dalam surat al-Baqarah ayat 185.ã

öky­ tb$ŸÒtBu üÏ%©!$# tAÌRé& ÏmŠÏù ãb#uäöà)ø9$# Wèd Ĩ$¨Y=Ïj9 ;M»oYÉit/ur z`ÏiB 3yßgø9$# Èb$s%öàÿø9$#ur 4

Artinya:

Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) AlQuran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil.

[13] Sekarang ini memang sudah era kapal olang aling dan roket yang sudah menjelajah ke mana-mana, transformasni di segala bidang sudah terjadi, yang jadi masalah adalah apakah nilai-nilai keunversalan Al-Quran dengan sendirinya akan kehilangan makna dengan perubahan-perubahan yang demikian pesat itu? Di era moderenisasi yang sudah mengglobal yang sudah barang tentu kompetisi dalam segala bidang sudah tidak bisa dielakkan lagi, lalu apa al-Quran bisa meberikan sebuah tawaran positif untuk umat manusia?. al-Quran memang sudah lama diturunkan Allah kepada manusia dengan segudang nilai-nilai normatif, sebagian orang Muslim skiptis dan menganggap bahwa kalau dulu Al-Quran ‘mungkin’ sesuai dengan zamannya, sehingga dianggap mampu menjawab tantangan di zamannya, tetapi saat sekarang ini al-Quran dikatankan sudah ‘ketinggalan zaman’ dan tidak mampu untuk menjawab tantangan zaman, demikian alasan orang yang skiptis terhadap al-Quran. al-Quran sudah ketinggalan zaman dan sudah tidak relevan dengan zaman. Pertanyanya kemudian adalah benarkan demikian? Dan sebagian dari kaum Muslimin juga yakin alias percaya bahwa Al-Quran mampu menjawab semua tantangan zaman di mana dan kapan pun.

[14] Nurcholis Majid, Islam dokterin dan pradaban, ( Jakarta : Yayasan Wakaf Paramadina, 2000), hlm 468.

[15] Al-Quran yang merupakan sumber utama dan pertama bagi ajaran Islam, pada dasarnya mengajak semua manusia untuk mau menghambakan diri pada Allah Swt. Dengan aqidah serta syariahnya yang mulia, baik kepada Allah maupaun dalam kehidupan dengan sesama manusia dan mahluk lain. Namun pada masa pembangunan di era nuklir saat sekarang ini lebih-lebih zaman tidak lagi zaman di mana Al-Quran diturnkan, maka proses kotektualisasi menjadi sangat penting, tentunya selama masih dalam koridor niali-nilai universal al-Quran.inilah yang disuarakan oleh pemikir dan cendikiawan Muslim seperti Fazlurahman, Abu Zaid, Rahman, Syahrur dkk.

[16] Kata wasatan itu kalau ditinjau dari segi ilmu nahwu bisa berbentuk noun (masdar), yang berarti tengah, sedang-sedang saja. Tetapi kalau kata wasatan itu teramabil dari isim fiil berartai pertengan atau moderat.

[17] Hamka dalam tafsir al-Azharnya mengaritkan ayat ini dengan umat yang tidak telalu cendrung dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan dunia seperti umat Yahudi dan tidak terlalu cendrung maslah-maslah-maslah akhirat semata, tetapi Islam dalam hal ini sesuai tunjukan (khitab) dari ayat tersebut adalah tidak berada di antara keduannya. Arti tidak mementingkan salah satu dari keduanya, tetapi harus dikombinasikan. Karena dua hal tersebut yang tidak bisa dipisahkan. Satu sebagai alat dan satu sebagai tujuan. Untuk lebih lanjut lihat tafsir Hamka yang membahas masalah ayat ini.

[18] Walaupun untuk saat sekarang ini umat Islam sangat jauh dari apa yang diharapkan, sebagai aktor perababan, paling tidak masa keemasan Islam dulu juga memberikan indiksi bahwa Islam pernah seperti itu sesuai dengan penafsiran ayat di atas.

[19] Nurcholis Majid, Islam Dokterin dan Pradaban…, hlm 491.

[20] Ibid... hlm. 492.

[21] Dalam Islam istilah modernisme ini menjadi karakterisasi terhadap gerakan kebangkitan Islam. Paham modernisme yang muncul dalam gerakan pembaharuan Islam Indonesia sebagai negara yang mayoritas muslis dimana gagasan modernisme bisa tumbuh subur.

[22] Husen Shatah, dalam kumpualan artikel yang berjudul, Bangunan Ekonomi yang Berkeadilan, (Jogyakarta: Magistra Insania Pers kekerjasama dengan MSI-UII, 2004), hlm. 80.

[23] Di Barat, sarjana pertama yang menggunakan istilah ini adalah Wilfred Cantwell Smith, seorang ahli Islam asal Kanada yang dikenal sangat simpatik. Ia menggunakan kata itu di bukunya ‘Islam in Modern History’. Kata ini digunakan Smith untuk merujuk kecendrungan intelektualisme dan humanisme dalam pemikiran Islam modern, tandasnya. Intelektualisme dan humanisme adalah inti dari gerakan modernisme yang berkembang di dunia Barat.”

Meski ada asumsi bahwa modernisme Islam sebagai penunjuk kecenderungan intelektualisme dan humanisme dalam pemikiran Islam, tetapi mencari akar modernisme dalam Islam masih dirasa sulit. Karena sebuah ide memiliki dunia dan sejarahnya sendiri.

[24] Perjalan sejarah Islam menujukan bahwa pembaharuan yang dibawa Muhammad merupakan karya sepektakuler, yang mampu merubah tatanan sosial, budaya, ekonomi, dan politik ke arah yang lebih humanis. Muhammad melakukann modernisasi memiliki ruh yang dimiiki oleh al Qur`an hal itu bisa dilihat dari penandatanganan piagam madinah oleh pihak Islam dan Yahudi.

[25]Munthoha Dkk., Pemikiran dan Peradaban Islam, (Jogyakarta: UII Press 1989), hlm. 16.

[26] Harun Nasution , Islam Ditinjau dari Berbagai Asfek, (Jakarta: UI Press, 1985), hlm. 68-70

[27] Ahmad Amin, Dhuha Islam, (Berut: Darul al-Kutub al-Aroby, t,t), hlm 14.

[28] Harun Nasution, Islam Ditinjau…, hlm. 69

[29] Ahmad Amin Dhuha Islam…, hlm. 14

[30] A. Hasjmi, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hlm 48.

[31] Ibid…., hlm. 145.

[32] Op cit …, hlm 14.

[33] Ahmad Syalabi, Mausuah al-Tarikh al-Islamy wa Khadarah al-Islmiyah, terj. Labib Ahmad, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husan 1978), hal 234-235

[34] Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam, (Mesir: al-Makatabah al-Nadhah al-Islamiyah, 1976), hal. 345.

[35] Ahmad Daudy Kuliah Filsafat Isalm, (Jalarta: Bulan Bintang, 1989), hlm. 5

[36] Ibid hal 5

[37] Philip K. Hitty, Histori of Arabs, (Londen: The Maccminllan Press, 1970), hlm. 308

[38] Ibid hlm. 809

[39] Harun Nasution Islam di Tinjau dari… hlm. 11

[40] Op cit… hlm. 310

[41] Ahmad Daudy Kuliah Filsafat Isalm… hlm. 6

[42] Ahmad Syaliby, Mausuah al-Tarikh al-Islamy… hlm. 247

[43] Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Isalm… Hlm. 6

[44] Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam… hlm. 346.

[45] Priode 650 – 800 M. Severus sebokht, pendeta biara qen-neshre di upper Euphrates yang terkenal sekitar tahun 650 M adalah seorang ahli sains dan filosof. Di bawah kepemimpinannya, biara menjadi salah satu pusat utama dari pengetahuan Yunani. Banyak dari pengetahuan Yunani dan mungkin juga Hindu yang ditransmisikan kepada bangsa Arab melalui usaha-usahanya. Ia memiliki keyakinan, sebuah keyakinan yang tidak lazim pada masanya, bahwa kemajuan ilmu pengetahuan haruslah berjalan di atas alas internasional.

Khalid ibn yazid ibn murawiya, seorang penguasa Umayyah dan filosof dianggap sebagai orang yang mendorong para sarjana Yunani di Mesir untuk menerjemahkan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab. Peristiwa ini merupakan proses penerjemahan pertama yang terjadi dalam dunia Islam. Ibnu Yazid hidup di Mesir dan meninggal antara tahun 704-708 M.

Muhammad ibn Ibrahim al-Fazari menerjemahkan karya astronomi siddhanta berbahasa sansekerta, ke dalam bahasa Arab sekitar tahun 772 M. ayahnya dianggap sebagai seorang Muslim pertama yang mengkonstruksi astrolabe (ilmu perbintangan), dan ia dipercaya sebagai salah satu sarjana yang pertama kali memiliki hubungan dengan matematika Hindu. Penerjemahan yang dilakukannya mungkin telah membawa huruf-huruf hindu ke dalam Islam.

Abu Sahl al-Fadl ibn Naubkht, seorang kepala Pustakawan berkebangsaan Persia pada masa Harun al-Rasyid, menerjemahkan karya-karya astronomi dari bahasa Persia ke dalam bahasa Arab.

Jirjis ibn Jibril ibn Bakhtyashu, seorang berkebangsaan Persia pengikut Nestorian, merupakan orang pertama yang menerjemahkan karya-karya kedokteran ke dalam bahasa Arab. Ia juga merupakan orang pertama dari kelompok tabib terkenal Nestorian yang memliki hubungn dengan beberapa khalifah Abbasiyah. Mereka semua memberikan pengaruh yang besar bagi ilmu pengobatan Muslim pada abad ke-8 dan ke-9. Bakhtyashu datang ke Bagdad melalui Jundishapur dimana ia di sana bekerja sebagai kepala rumah sakit pada masa khalifah al-Mansur.

Abu Yahya ibn al-Batriq, seorang dokter yang hidup pada abad ke-8, sebagaimana Bakhtyashu, ia bekerja pada khalifah al-Mansur. Ia menerjemahkan dari bahasa إunani ke dalam bahasa Arab sebagian dari karya-karya Hippocrates dan Galen.

Abdullah ibn al-Muqaffa adalah seorang pemikir asli Persia dan terkenal di Basrah. Ia menerjemahkan beberapa karya alam bahasa Matlawi yang berkaitan dengan logika dan medis. Akan tetapi ia lebih dikenal karena terjemahannya terhadap syair Muluk al-Ajam dan Kalila Wa Dimna.

Al-Mansur, khalifah Abbasiyah kedua (754-775 M) pendiri kota Bagdad, terkenal karena karya-karya terjemahannya dari bahasa Syiria, Persia, Yunani dan India selama masa kekuasaannya.

Harun al-Rasyid, khalifah kelima dan salah satu penguasa Abbasiyah yang terbesar, memerintah dari tahun 786 hingga 809 M

.

Periode 800-900 M

Al-Makmun, penguasa Bagdad (786-833 M), khalifah ketujuh dan mungkin juga khalifah Abbasiyah terbesar (813-833), merupakan pemprakarsa pengetahuan dan karya-karya ilmiah melebihi Harun al-Rasyid serta menjadikan pencarian dan penerjemahan manuskrip-manuskrip Yunani sebagai tujuan hidupnya, bahkan ia mengirim sebuah misi kepada raja byzantium Leon De Armenia demi tujuan hidupnya itu. Al-makmun mengundang, menerjemahkan dan mendukung para sarjana Yahudi dan Kristen untuk menerjemahkan manuskrip-manuskrip Yahudi itu ke dalam bahasa Arab. Ia juga mendirikan perpustakaan Bait Al-Hikmah (house of wisdom), akademi ilmu pengetahuan, serta membangun sebuah pusat penelitian berdasarkan usulan ratu Palmyra. Selama masa kekuasaannya, beratus-ratus manuskrip telah diterjemahkan dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab.

Abu Zakariyya Yahya Ibn Batriq, menerjemahkan ke dalam bahasa Arab, buku-buku Hipocrates tentang tanda-tanda kematian, beberapa karya Aristoteles, karya-karya Galen, De Theriaca dan Pisonem.

Al-Kindi, seorang filosof lepas menerjemahkan dan memimpin proses penerjemahan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab. Karya-karya terjemahannya yang paling terkenal adalah sebuah karya Neoplatonik yang didasarkan pada buku-buku IV hingga VI dari buku Enneads karya Plotinus.

Jibrail Ibn Bakhtyashu, cucu dari seorang penerjemah pendahulu dengan nama yang sama, menjadi dokter ahli bagi al-Makmun dan Harun al-Rasyid dan menerjemahkan banyak manuskrip Yunani dalam bidang kedokteran.

Sahl at-Tabari, seorang ahli astronomi dan tabib yahudi adalah satu dari penerjemah-penerjemah pertama adri Almagest karya Ptolemy ke dalam bahasa Arab.

Ibnu Sahda, menerjemahakan banyak karya dalam bidang kedokteran dari bahasa yunani ke dalam bahasa Syria dan Arab. Ia terkenal dengan terjemahannya terhadap beberapa karya Hippocrates dan Galen ke dalam bahasa Arab.

Al-Hajjaj ibn Yusuf ibn Matar, adalah penerjemah pertama element karya Euclid ke dalam bahasa Arab. Ia juga penerjemah pertama al-Magest ke dalam bahasa Arab dari versi Syria pada tahun 830 M.

Tsabit Ibn Qurra (829-901 M), adalah seorang tabib, ahli matematika dan ahli astronomi, serta salah satu dari penerjemah hebat dari bahasa yunani ke dalam bahasa Syria dan bahasa Arab. Ia mendirikan sebuah sekolah bagi para penerjemah yang anggotanya adalah kebanyakan dari keluarganya sendiri. Karya-karyanya yang telah diterjemahkan olehnya atau di bawah arahannya adalah buku V-VII karya Apollonius of perga, dan beberapa karya Archimedes.

Tiga bersaudara Banu Musa, yang masing-masing memiliki keahlian dalam salah satu atau tiga bidang ilmu pengetahuan, menghabiskan sebagian besar waktu dan kekayaannya untuk memperoleh manuskrip-manuskrip Yunani serta menerjemahkannya ke dalam bahasa Arab. Hunain Ibn Ishaq dan Tsabit Ibn Qurra merupakan para penerjemah paling terkenal yang mereka pekerjakan. Banyak tulisan-tulisan dalam bidang matematika, mekanik, dan astronomi serta beberapa karya dalam bidang logika diterjemahkan untuk mereka.

Abu Zakariya Yuhanna Ibn Masaw.aih, seorang tabib yang menerjemahkan beberapa karya Yunani tentang ilmu kedokteran ke dalam bahasa Arab, adalah pemimpin pertama dari perpustakaan Bait Al-Hikmah yang didirikan al-Makmun.

Hunain ibn ishaq (808-877 M), adalah seorang tabib Nestorian, salah satu sarjana hebat dan penerjemah handal pada masanya. Adapun jumlah karya terjemahan yang telah dihasilkannya adalah 95 karya versi bahasa Persia, lima darinya adalah edisi revisi dan 39 versi bahasa Arab dari buku-buku Galen dan lainnya. Ia bekerja sebagai seorang penerjemah sekitar lebih dari 50 tahun. Jumlah dan kualitas karya terjemahan dari ilmu kedokteran yang dihasilkan oleh Hunain dan kelompoknya, menjadi pondasi dari pengetahuan Muslim yang mendominasi pemikiran pertengahan hingga abad ke-17, dan kemudian dilanjutkan oleh putranya.

Qusta Ibn Luqa, adalah seorang tabib, ahli astronomi, matematika, filosof dan penerjemah. Terjemahan dari karya-karya Diophantus, Theodosius, Anatolycos, dan lain-lain.

Hubaish Ibn Al-Hasan, keponakan dari Hunain Ibn Ishaq, menerjemahkan karya-karya Yunani, seperti karya Oribasius, pengarang dari sebuah Ensiklopedia Filsafat.

Stephanos, adalah rekan Hunain Ibn Ishaq. Menurut Hunain, ia menerjemahkan sembilan buah karya-karya Galen ke dalam bahasa Arab. Ia merupakan orang pertama yang menerjemahkan karya-krya Dioscrides ke dalam bahasa Arab dan juga sebagai penerjemah karya Oribasius.

Penerjemahan pada 650-800 M, menunjukkan sebuah permulaan yang berharga. Pada permulaannya, aktifitas penerjemahan tersebut berjumlah sedikit dan bergerak selama lebih dari satu periode panjang. Ketertarikan dalam proses penerjemahan tidak hanya berasal dari sebagian para kaum terpelajar saja, tapi pejabat-pejabat tinggi juga secara aktif mendukung usaha. Misalnya, Sevrus Sebokht seorang pendeta dan Khalid Ibn Yazid Ibn Murawiya, adalah seorang penguasa dan berpengaruh dalam urusan-urusan pemerintahan yang telah memberikan dukungan besar terhadap aktifitas penerjemahan ini.

Hasil nyata pertama terjadi pada separuh abad ke-8 ketika aktifitas penerjemahan ke dalam bahasa Arab terhadap karya-karya bahasa Syria, Persia, hindu, dan yunani mulai dilakukan. Sekali lagi haruslah diingat bahwa proses penerjemahan ke dalam bahasa Arab itu tidak dilakukan secara sendiri-sendiri, dilakukan berdasarkan program yang terencana dengan baik dengan dukungan dari pemerintah. Dua dari khalifah besar Abbasiyah mendukung usaha para penerjemah yang sibuk untuk mengungkap harta karun pengetahuan Yunani, al-Mansur dianggap berjasa karena telah membawa Ibn Bakhtyashu, seorang tabib yang berkecimpung dalam kegiatan penerjemahan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab, ke kota Bagdad. Al-Mansur juga meminta bantuan kepada Ibnu Batriq, salah satu dari para penerjemah yang menjadi pioneer dalam penerjemahan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab, dan terkenal karena penerjemahannya terhadap banyak karya Galen dan Hippocrates.

Dengan demikian, pertengahan kedua abad kedelapan merupakan periode penyebaran pengetahuan dan asimilasinya dengan bangsa Arab. Selaras dengan bertambahnya penerjemahan ke dalam bahasa Arab, langkah-langkah Islam untuk menjadi yang terdepan dalam kebudayaan dan ilmu pengetahuan semakin maju. Hal ini menandakan bahwa aktifitas penerjemahan merupakan kekuatan penggerak (driving force) bagi Islam, ia akan terus berkembang selama aktifitas ini terus berkembang.

Masa keemasan penerjemahan dari bahasa yunani ke bahasa Arab terjadi pada abad kesembilan. Kaum Muslim menjadi ukuran-ukuran standar bagi peradaban, yang sebagian besar dikarenakan banyaknya karya-karya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Lihatlah metode-metode penerjemahan yang dipakai, kuantitas dan kualitas karya-karya yang diterjemahkan selama periode tersebut, dan institusi-institusi yang secara khusus didesain sebagai pusat-pusat penerjemahan.

Pada abad kesembilan Bagdad menjadi benar-benar menjadi pusat ilmu pengetahuan. Penerjemahan-penerjemahan yang telah dihasilkan selama 900 tahun menjadi anti klimaks bagi karya-karya yang ditulis selama ratusan tahun sebelumnya. Teks-teks Yunani klasik dalam bidang matematika dan medis telah selesai diterjemahkan. Akan tetapi, antara periode 900-1000 tahun bukan berarti tidak ada aktivitas atau usaha-usaha yang terorganisir untuk mengembangkan karya-karya terjemahan.

Kontribusi-kontribusi yang diberikan oleh para ilmuwan Arab dan kaum Muslim Persia memiliki arti yang signifikan. Mereka mendapatkan dukungan yang besar dalam kegiatan penerjemahannya, dalam pendirian pusat-pusat penerjemahan dan dalam pengamanan manuskrip-manuskrip Yunani.

Masa penerjemahan (the age of translation) yang berlangsung hampir 150 tahun (750-900 M), merupakan masa bagi berlangsungnya kreatifitas murni dan pengaruh intelektual Muslim.

[46] Ibid hlm. 347

[47] A. Hasjim, Sejarah Kebudayaan Islam… hlm. 260.

[48] Jauh sebelum Barat mengumandangkan modernisasi, setelah mampu menumbangkan rezim komunis di Eropa Timur, Islampun telah mengisyaratkan hal yang sama. Datangnya Muhammad sebagai utusan Allah merupakan tuntutan modernisasi. Pembaharuan yang diusung Muhammad adalah perbaikan akhlak dalam tatanan sosial. Namun, pembaharuan yang dilakukan sekarang cenderung didramatisir oleh berbagai kepentingan, sehingga menimbulkan konflik.

[49] Fazlur Rahman menjelaskan bahwa sejarah pergerakan modernisasi Islam yang telah berjalan lebih dua abad yang lalu, dengan dijelaskan melalui empat aliran gerakan reformasi yang berbeda; pertama, gerakan revivalis (salafi) pada akhir abad 18 dan awal abad 19, misalnya Wahabiyah di Arab Saudi, Sanusiyah di Afrika Utara. Kedua, gerakan modernis; Sayyid Ahmad Khan di India, Jamaluddin al Afghani di Timur Tengah daan Muhammad Abduh di Mesir. Ketiga, neorevivalis (kelompok modern, namun lebih reaksioner seperi al Maududi dan Jama`at Islam. Keempat, neomodernisme; Fazlur Rahman adalah pelopornya yang merupakan sintesis progresif dari rasionalisasi modernis dan ijtihad serta ajaran klasik.

Kaum modernis melakukan ijtihad tak terbatas pada masalah agama saja, tapi menyangkut masalah penerapan ajaran Islam dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Kaum modernis ini terbagi menjadi dua; pertama, kaum modernis klasik yang masih menunjukan sikap hati-hati terhadap budaya Barat, demi kemajuan umat Islam sendiri. Kedua, kaum modernis kontemporer yang akomodatif terhadap budaya Barat, sedangkan kaum neomodernis berupaya melakukan rekonstruksi Islam dengan memadukan khazanah intelektual Islam dengan budaya modern.

Tidak ada komentar: