Kritik Matan Hadits
(Pendekatan Ahli-Ahli Hadis)
- Muqadimah
Hadis telah terkontaminasi oleh pemalsuan karena berbagai kepentingan seperti politik, fanatik aliran dan lain-lain.[1] Pada sisi lain, fatwa orang penting (baca : para ulama) pasca Rasulullah menjadi rujuakan yang perlu didokumentasi. Maka pekerjaan mendokumentasi Hadis Nabi dituntut memilah mana yang berasal dari Rasulullah dan mana yang bukan. Dokumen atau catatan Hadis karena tidak terlepas dari keragaman daya tangkap para periwayat, maka kualitas Hadisnya pun beragam. Maka munculnya aksi kritik Hadis tidak dimaksudkan menguji ajaran Rasulullah, tetapi menguji daya tangkap dan kejujuran para periwayat. Menolak Hadis bukan berarti menolak Rasulullah, tetapi menolak klaim bahwa riwayat itu dari Rasulullah. Maka kritik Hadis memberi kontribusi pemilahan Hadis yang berasal dari Rasulullah atau bukan.
Sekiranya setiap matan Hadis telah secara meyakinkan berasal dari Rasulullah, maka penelitian terhadap matan, demikian juga terhadap sanad Hadis, tidak diperlukan. Kenyataannya, seluruh matan Hadis yang sampai ke tangan kita berkaitan erat dengan sanadnya, sedang keadaan sanad itu sendiri masih diperlukan penelitian secara cermat, maka dengan sendirinya keadaan matan perlu diteliti secara cermat juga.
Hadis atau sunnah Nabi Saw. diyakini oleh sebagian besar umat Islam sebagai sumber ajaran Islam yang berasal dari wahyu Allah swt. Spesifikasi Hadis yang demikian memerlukan penilaian yang mendalam. Penilaian atas Hadis tersebut diperlukan oleh karena Hadis-hadis tersebut sampai kepada kita melalui jalan periwayatan yang panjang, bahkan sepanjang sejarah perjalanan umat Islam sendiri. Di samping perjalanannya yang disampaikan dari generasi ke generasi memungkinkan adanya unsur-unsur yang masuk ke dalamnya, baik unsur sosial maupun budaya masyarakat di mana generasi pembawa Hadis tersebut hidup. Untuk itulah penelitian Hadis haruslah dilakukan dengan melalui dua jalur, yakni jalur sanad dan jalur matan. Dengan penelitian melalui dua jalur tersebut diharapkan akan dapat dibuat rumusan yang pasti dan meyakinkan mengenai status dan kedudukan suatu Hadis. Penelitian-penelitian Hadis sebagaimana yang diharapkan memang telah dilaksanakan oleh para ahli (ulama Hadis) sejak dahulu, namun harus diakui bahwa penelitian-penelitian tersebut lebih banyak di arahkan kepada jalur sanad dan hanya sedikit sekali yang di arahkan ke jalur matan, meskipun secara teoritik mereka menekankan penelitian secara seimbang antara dua jalur tersebut. Penelitian yang lebih banyak di arahkan ke jalur sanad itu pun masih perlu diteruskan dan ditinjau ulang dengan lebih cermat dan seksama, di samping mulai menggalakkan penelitian melalui jalur matan.
Olah karena itu kajian melalui jalur matan dan pemahamannya secara tepat harus diupayakan secara sungguh-sunggh agar warisan syariat yang diamanatkan oleh Nabi Muhammad saw. kepada umat tersebut tidak sia-sia dan musnah bersama dengan memadatnya polusi kehidupan.
Keshahihan suatu Hadis tidak dapat ditentukan hanya oleh keshahihan sanad-nya saja, tetapi matannya pun mesti diteliti, guna memastikan apakah ia tidak syadz atau pun illah. Dengan demikian kritik matan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari studi tekstual dan kontekstual atas Hadis.
B. Pengertian Kritik Matan
Dalam literature Arab, kata naqd digunakan dengan arti “kritik”. Kata ini digunakan oleh beberapa ulama Hadis yang awal pada abad kedua Hijriah. Dalam literatur Arab terdapat ungkapan naqada al-kalam wa naqada al-syi’r, yang berarti, “Dia telah mengkritik bahasanya dan juga puisinya.” Juga ungkapan naqada al-darahim, yang berarti, “Dia memisahkan uang yang baik dari yang buruk.”[2]
Seorang ulama abad ketiga hijriah, yakni Imam Muslim, memberi judul bukunya yang membahas metodologi kritik Hadis dengan judul al-Tamyiz. Beberapa ulama Hadis menggunakan kata naqd, tetapi istilah ini tidak popular di kalangan mereka. Mereka menamakan ilmu yang berurusan dengan kritik Hadis dengan sebutan al-Jarh wa al-Ta’dil, yang berarti ilmu yang menunjukkan ketidakshahihan dan keandalan dalam Hadis.[3]
Jadi, kritik di sini adalah kritik jalan atau cara yang sampai kepada kita melalui periwayatan yang disandarkan pada Rasulullah saw. dengan melihat pada kaidah-kaidah dan syarat-syarat yang mesti dipenuhi jalan ini agar kebenarannya tak diragukan lagi.[4]
Melakukan kritikan dalam Hadis bisa melalui dua cara: kritik eksternal dan kritik internal. Kritik eksternal adalah kritik sanad yaitu jalan yang sampai kepada orang yang meriwayatkan suatu riwayat, yaitu orang yang mengumpulkan Hadis dari para perawi yang merunutkan periwayatan seperti Imam Ahmad, Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud dan lain-lain. Adapun kritik internal yaitu kritik matan. Pembagian ini mengisyaratkan jika para ahli mengatakan tentang suatu Hadis bahwa Hadis tersebut shahih isnad, maka belum tentu shahih matan.
Dalam kritik matan—secara garis besar—bisa dilakukan dengan dua cara:
1. Memvonis suatu Hadis dengan syadz (janggal), yaitu membandingkan Hadis dengan Hadis lain yang sama, namun Hadis pertama mempunyai sanad yang kalah shahih dengan sanad yang terdapat dalam Hadis kedua. Maka Hadis pertama disebut dengan sanad shahih namun matannya syadz. Hadis tersebut dha’if sekalipun sanadnya shahih.
2. Memvonis Hadis dengan illah (cacat), karena salah satu perawinya diketahui kecacatan sehingga diragukan dalam menyampaikan suatu Hadis. Walau seungguhnya sepintas Hadis tersebut shahih secara sanad. Dalam illah ini memang sangat dibutuhkan kejelian dan kedalaman dalam meneliti diri perawi.
C. Tujuan Kritik Matan
Tujuan pokok penelitian Hadis, baik dari segi sanad maupun dari segi matan, adalah untuk mengetahui kualitas Hadis yang diteliti. Kualitas Hadis sangat perlu diketahui dalam hubungannya dengan kehujahan Hadis yang bersangkutan.
D. Awal Mula Kemunculan Kritik Matan
Kritik Hadis telah dimuali pada masa hidup Nabi. Tapi, pada masa itu istilah ini hanya berarti “pergi menemui Nabi untuk membuktikan sesuatu yang dilaporkan telah dikatakan beliau.” Pada tahap ini ia merupakan proses konsolidasi dengan tujuan agar kaum muslimin merasa tentram. Seperti kejadian Dimam bin Tsa’labah datang menemui Nabi saw. bertanya, “Muhammad, utusanmu mengatakan kepada kami begini dan begitu”, Nabi menjawab, “Dia berkata benar”.[5]
Berdasarkan kejadian tersebut dapatlah dikatakan bahwa penelitian Hadis telah dimulai dalam bentuk yang sederhana di masa hidup Nabi. Praktik merujuk kepada Nabi ini dengan sendirinya berhenti dengan wafatnya beliau. Tetapi adalah kewajiban individu, masyarakat dan Negara Islam untuk mengikuti jejak Nabi. Konsekuensinya, mereka harus bersikap sangat berhati-hati dalam menisbatkan pernyataan-pernyataan dari Nabi, dan harus menelitinya dengan cermat.
Khalifah pertama, Abu Bakar Shiddiq adalah perintis di bidang ini. Selanjutnya umar dan Ali. Selama periode awal ini, terdapat sahabat-sahabat lain yang melakukan kritik Hadis, seperti Aisyah dan Ibnu Umar. Maka dengan tersebarnya Hadis ke berbagai daerah di dunia Islam, kemungkinan kekeliruan pun timbul. Maka kebutuhan akan kritik pun menjadi tampak jelas.
Sementara itu dalam setiap tahap penyebaran Hadis di dunia Islam, masyarakat menghadapi kejadian-kejadian besar dan penting, dan terjadi pula pergolakan besar pada masa seperempat abad setelah wafatnya Nabi. Salah satunya adalah konspirasi politik, yaitu pembuhuan terhadap Utsman dan peperangan antara Ali dengan Muawiyah yang menimbulkan perpecahan di kalangan kaum muslimin. Di sini tampak seolah-olah pemalsuan Hadis yang mula-mula dimulai di lapangan politik, untuk mengangkat atau menurunkan citra kelompok tertentu. Pada tahap inilah kecenderungan umum dalam pelajaran Hadis menjadi ketat.
1. Masa Sahabat
Sejak kapan muncul kritik matan Hadis, adalah sebuah pertanyaan awal mengkaji matan Hadis. Kritik matan Hadis itu sebuah upaya memilah matan yang benar dari yang salah. Mana yang otentik dari Rasulullah dan yang “palsu” yang boleh jadi disebabkan oleh kekurangcermatan dalam periwayatan, dapat ditelusuri dengan cara ini. Pada masa Rasulullah hal ini sudah dilakukan para sahabat. Imam Muslim meriwayatkan melalui jalur Anas bin Malik, ada seorang dari dusun datang kepada Rasulullah, kami mendengar ia bertanya, “Hai Muhammad, telah datang kepada kamu utusanmu menjelaskan bahwa Allah mengirim Engkau sebagai Rasul?” beliau menjawab, “benar.” Riwayat ini menunjukkan ada upaya mencari kebenaran berita di masa Rasulullah.
Konfirmasi tentang matan Hadis dilakukan juga oleh sahabat senior semacam Abu Bakar dan Umar dengan gayanya masing-masing di saat Rasulullah sudah tiada. Ketika didatangi seorang nenek untuk meminta bagian warisan cucunya, Abu Bakar berkata, “saya tidak mendapatkan dalil dalam al-Qur’an dan saya tidak pernah mendengar Rasulullah memberi bagian bagi nenek.” Kemudian Abu Bakar menanyakan hal ini kepada orang banyak. Al-Mughirah melaporkan, “saya mendengar Rasulullah memberi bagian nenek seperenam.” Abu Bakar bertanya, “siapa orang lain yang mendengar kasus ini?” Muhammad bin Maslamah naik saksi atas kebenaran al-Mughirah. Dengan konfirmasi ini Abu Bakar memberikan bagian warisan nenek tersebut seperenam.[6]
Hal senada juga dilakukan oleh Siti ‘Aisyah yang menolak beberapa Hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah. Siti ‘Aisyah menolak Hadis riwayat Abu Hurairah yang isinya menyatakan “orang mati itu disiksa karena karena ditangisi oleh keluarganya,” dan Hadis yang isinya “anak akibat zina itu tidak masuk surga.”[7] Kedua Hadis itu dikritik sebagai bertentangan dengan kandungan ayat al-Qur’an yang menyatakan bahwa “seseorang itu tidak menanggung dosa orang lain.”[8] Pada Hadis pertama ada kesalahan periwayatan. Siti Aisyah menjelaskan sebab turunnya Hadis ini. Ketika itu Rasulullah melintasi di dekat orang Yahudi yang sedang menangisi seorang anggota keluarganya yang baru saja meninggal. Kemudian Rasulullah menyatakan, “Mereka menangisinya, sementara, ia (mayit) disiksa di kuburnya.”[9] Siti Aisyah kemudian mengatakan, “cukuplah kalian dengan al-Qur’an.”[10] Adapun kesalahan periwayatan Hadis kedua adalah bahwa sebenarnya Hadis itu menuturkan peristiwa ketika Rasulullah bersama dengan seseorang, diejek oleh orang munafik. “siapa yang mengahalangi aku bersama si pulan ini?” Rasulullah bertanya. Si Munafik berkata, “ia punya anak zina.” Rasulullah menyatakan, “yang berzina itulah yang punya keburukan, bukan anaknya.”[11]
Bagaimanapun, kritik matan berangkat dari—paling tidak—sebuah keraguan, apakah sebuah informasi berasal dari Rasulullah. Keraguan ini tiada lain dimaksudkan untuk menjaga Hadis dari pemalsuan.
2. Masa Pasca Sahabat
Kritik periwayatan Hadis dilakukan juga oleh para ulama dengan cara yang dilakukan oleh para sahabat seperti contoh dimuka, terutama ketika terjadi penyebaran Hadis maudhu’ karena kepentingan tertentu, utamanya kepentingan politik. Setelah terbunuhnya khalifah Usman, suhu politik dalam masyarakat Islam memanas. Dan semakin tinggi panas itu ketika khalifah Ali harus berhadapan dengan Mu’awiyah dalam perang besar. Perseturuan ini, karena harus saling menambah pendukung fanatik, maka implikasinya, mereka perlu mengeluarkan doktrin-doktrin agama berupa Hadis maudhu’. Selanjutnya, untuk mengecek apakah Hadis itu maudhu’ apa tidak, ulama Hadis melihat redaksi Hadis, apakah susunan katanya layak diucapkan oleh Rasulullah atau tidak. Di antaranya Hadis riwayat Abu Daud:[12]
عن سفينة قال قال رسول الله صلى اللهم عليه وسلم خلافة النبوة ثلاثون سنة ثم يؤتى الله الملك أو ملكه
من يشاء قال سعيد قال لي سفينة أمسك عليك أبا بكر سنتين وعمر عشرا وعثمان اثنتي عشرة وعلي
كذا قال سعيد قلت لسفينة إن هؤلاء يزعمون أن عليا عليه السلام لم يكن بخليفة قال كذبت أستاذه
بنى الزرقاء يعنى بنى مروان
Hadis ini mengandung informasi bahwa masa kekhalifahan itu 30 tahun, kemudian berpindah ke dinasti kerajaan. Hadis ini, kendati sesuai dengan fakta, tetapi justru dinilai maudhu’ karena diperkirakan para periwayat mencocok-cocokkan masa kekhalifahan Abu Bakar 2 tahun, Umar 10 tahun, Utsman 12 tahun, sisa genapnya mencapai 30 tahun, masa kekhalifahan Ali. Nabi bukan peramal.
Berdasarkan pedoman penolakan terhadap Hadis yang isinya tidak masuk akal itu para ahli Hadis generasi berikutnya mengadakan kritik terhadap Hadis yang dipandang mencemari keotentikan Hadis seperti, seperti Hadis yang menyebutkan bahwa Hajar Aswad itu dari surga, asalnya berwarna putih, lebih putih dari susu. Ia menjadi hitam karena banyaknya kesalahan yang dilakukan Bani Adam. Sudut Ka’bah dan maqam Ibrahim itu dibuat dari Yaqut surga yang bersinar. Allah menghapuskannya. Teks Hadis itu berbunyi:
روى الترمذى عن ابن عباس ان رسول الله صلعم قال: نزل الحجر الأسود من الجنة, وهو أشد بياض
ا من اللبن, فسودته خطايا بنى ادم ... وروى عن عبد الله بن عمرو أن رسوالله صلعم قال إن الركن
والمقام ياقوتتان من ياقوت الجنة, طمس الله نورهما, ولو لم يطمس نورهما لأضاءتا بين المشرق والمغرب.
Salahuddin al-Adlibi memberi komentar Hadis tersebut sebagai tidak masuk akal. Sekiranya batu itu dulunya putih, sekarang pun tetap putih. Ia mengutip riwayat Ibnu Abbas ketika melihat Umar bin Khattab mencium Hajar Aswad mengatakan, “Sungguh engkau adalah batu yang tidak memberi manfaat atau madharat. Sekiranya aku tidak melihat Rasulullah menciummu, niscaya aku tidak pernah akan melakukannya.”[13] Ungkapan Umar ini menunjukkan bahwa Hajar Aswad itu bukan dari surga seperti yang dipersepsikan orang secara berlebih-lebihan sebagai benda keramat.
F. Tanda-tanda Kepalsuan pada Matan[14]
- Kelemahan kalimat. Yaitu sekiranya seorang yang mengetahui makna-makna ungkapan Arab mendapatkan kalimat tertentu itu lemah, yang tidak mungkin keluar dari seseorang yang fasih berbahasa atau pun orang yang ahli ungkapan. Mereka itu sedemikian banyak mengenal ungkapan-ungkapan Hadis, maka tumbuh pada mereka kondisi psikologis dan kecenderungan yang kuat yang membuat mereka mampu mengenali mana yang mungkin berasal dari ungkapan-ungkapan Nabi dan mana yang tidak mungkin.
- Lemah dari segi makna. Yaitu jika sebuah Hadis menyalahi kepastian-kepastian rasional tanpa kemungkinan untuk menakwilkannya. Contoh, “sesungguhnya kapal Nabi Nuh itu melakukan thawaf di Ka’bah tujuh kali dan bersembahyang di maqam ibrahim dua raka’at”.
- Bertentangan dengan makna yang jelas dari al-Qur’an, yang tidak bisa ditakwil lagi. Seperti Hadis, “anak hasil zina tidak akan masuk surga sampai tujuh turunan.” Juga yang menyalahi Hadis yang mutawatir seperti, “jika kamu menuturkan sebuah Hadis dariku yang mencocoki kebenaran maka ambillah, baik aku benar-benar mengatakannya atau pun tidak”. Itu bertentangan dengan Hadis, “barang siapa berbohong atas diriku secara sengaja maka hendaknya ia mengambil tempat duduknya di neraka”.
- Jika Hadis itu menyalahi fakta-fakta sejarah yang diketahui di zaman Nabi saw. contohnya ialah Hadis dari Anas, “aku masuk pemandian, dan kudapati Rasulullah sedang duduk dan beliau mengenakan sarung (mi’zar, penutup pinggang) . maka aku pun ingin berbicara dengan beliau, lalu beliau bersabda, ‘hai anas, diharamkan untukmu masuk pemandian tanpa sarung karena (suasana) serupa ini.” Padahal diketahui dengan jelas dalam sejarah bahwa rasul tidak pernah satu kali pun masuk pemandian, sebab pemandian itu tidak dikenal di Hijaz pada zaman beliau.
- Jika Hadis bersesuaian dengan mazhab perawinya, sedangkan ia itu dikenal seorang fanatik dan berlebihan dalam kefanatikannya, seperti jika seorang syi’ah Rafidhah menuturkan sebuah Hadis tentang keunggulan anggota rumah tangga Nabi.
- Jika sebuah Hadis mengandung sesuatu yang semestinya menyebabkan orang banyak mengutipnya, karena terjadi dengan persaksian orang banyak namun Hadis itu tidak dikenal dan tidak ada yang menuturkannya kecuali seorang.
- Jika sebuah Hadis mengandung sifat berlebihan dalam soal pahala yang besar atas perbuatan yang kecil, dan berlebihan dalam soal ancaman siksa berkenaan dengan perkara sepele.
Itulah kaidah-kaidah pokok yang telah diletakkan oleh para ulama untuk kritik Hadis serta untuk mengetahui mana yang otentik dan mana yang palsu.
G. Kritik Matan Menurut Ulama Hadis
Kritik para ulama itu terhadap sunnah terjadi dalam dua tahap: pertama ialah kritik terhadap sanad, dan kedua kritik terhadap matan. Kaedah-kaedah yang mereka letakkan untuk kritik matan itu, yang terpenting ialah:[15]
1. Matan itu tidak boleh mengandung kata-kata yang aneh, yang tidak pernah diucapkan oleh seorang ahli retorika atau penutur bahasa yang baik.
2. Tidak boleh bertentangan dengan pengertian-pengertian rasional yang aksiomatik, yang sekiranya tidak mungkin ditakwilkan.
3. Tidak boleh bertentangan dengan kaedah-kaedah umum dalam hukum dan akhlak
4. Tidak boleh bertentangan dengan indera dan kenyataan
5. Tidak boleh bertentangan dengan hal yang aksiomatik dalam kedokteran dan ilmu pengetahuan
6. Tidak mengundang hal-hal yang hina, yang agama tentu tidak membenarkannya
7. Tidak bertentangan dengan hal-hal yang masuk akal dalam prinsip-prinsip kepercayaan tentang sifat-sifat Allah dan para Rasul-Nya.
8. Tidak bertentangan dengan sunatullah dalam alam dan manusia
9. Tidak mengandung hal-hal tak masuk akal yang dijauhi oleh mereka yang berpikir
10. Tidak boleh bertentangan dengan al-Quran atau dengan sunnah yang mantap, atau yang sudah terjadi ijma’ padanya, atau yang diketahui dari agama secara pasti, yang sekiranya tidak mengandung kemungkinan takwil
11. Tidak boleh bertentangan dengan kenyataan-kenyataan sejarah yang diketahui dari zaman Nabi Saw.
12. Tidak boleh bersesuaian dengan mazhab rawi yang giat mempropagandakan mazhabnya sendiri.
13. Tidak boleh berupa berita tentang peristiwa yang terjadi dengan kesaksian sejumlah besar manusia kemudian seorang kesaksian sejumlah besar manusia kemudian seorang rawi hanya dia seorang yang meriwayatkannya
14. Tidak boleh timbul dari dorongan emosional, yang membuat rawi meriwayatkannya
15. Tidak boleh mengandung janji berlebihan dalam pahala untuk perbuatan kecil atau berlebihan dalam ancaman yang keras untuk perkara sepele.
H. Khatimah; Tinjauan atas Kritik Hadis
Selanjutnya sebagai pembawa agama, Rasulullah tentu mempunyai obsesi agar pengikutnya menjadi masyarakat teladan dengan ciri utama rajin, setia, rasional, toleran dan lainnya, yang membawa mereka pada barisan terdepan dalam kemajuan yang damai dan sejahtera. Hadis yang berupa gagasan dan cita-cita diperkirakan memberi keleluasaan dalam aktualisasi. Setidaknya ajaram moralnya tidak ditawar. Sementara, Hadis yang bermuatan ilmu pengetahuan jumlahnya amat sedikit. Tidak jelas, apakah karena para penulis kitab Hadis kurang tertarik dengan isu-isu ilmu pengetahuan, atau karena memang ilmu pengetahuan bukan isu penting dalam “pengajian” Rasulullah, sehingga cukup dengan ayat-ayat al-Qur’an saja.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa kritik terhadap matan Hadis dilakukan dengan berbagai alat uji. Hadis diuji dengan ajaran yang terkandung dalam nash al-Qur’an; terutama Hadis-hadis yang bermuatan akidah, informasi alam gaib dan ritual. Hal ini penting karena tugas utama Hadis adalah menjelaskan al-Qur’an, dan Hadis merupakan “tuntunan praktis” dalam mengamalkannya. Hadis juga diuji dengan sesama Hadis. Bila sebuah Hadis bertentangan dengan Hadis lain, maka Hadis yang periwayatannya lebih unggul dimenangkan. Hadis yang “kalah” disebut syadz.
Di samping itu, Hadis yang memuat informasi pengetahuan perlu diuji dengan ilmu pengetahuan. Selanjutnya, bila informasi sebuah Hadis berisi data sejarah, ia diuji dengan fakta sejarah dan dengan otoritas kebenaran lainnya. Bahkan, Hadis diuji dengan ilmu bahasa (lingusitik). Yaitu, apakah redaksi Hadis yang diriwayatkan itu pantas diucapkan oleh seorang Rasul yang fasih berbahasa Arab. Uji Hadis berarti menguji para periwayat, bukan menguji kebenaran Rasulullah. Sebuah Hadis yang “lulus test” diyakini otentik dari sumbernya, Rasulullah.
Selanjutnya memahami teks Hadis (baca: matan) untuk diambil sunnahnya atau ditolak, memerlukan berbagai pendekatan dan sarana yang perlu diperhatikan. Beberapa tawaran dikemukakan para ulama Hadis sebagai kontribusi ilmiah karena kepedulian mereka terhadapa agama dan umat Islam. Di antaranya 1). Ilmu Gharib al-hadits, 2). Mukhtalif al-Hadits, 3). Ilmu asbab wurud al-Hadits, 4). Ilmu nasikh wa al-mansukh, 5). Ilmu ‘ilal al-hadits, dan sebagainya.
Wallahua’lam
DAFTAR PUSTAKA
Muh. Zuhri, Telaah Matan Hadis: Sebuah Tawaran Metodologis, (Jogyakarta: LESFI, th.).
Muhammad Mustafa Azami, Metodologi Kritik Hadis, terj. A. Yamin, (Jakarta: Pustaka Hidayah,1992).
Shalahddin al-Adlibi, Manhaj Naqd al-Matn ‘Inda ‘Ulama al-Hadits, (Berut: Dar al-Afaq, al-Jadidah, 1983)
Mustahaf Assiba’i, Sunnah Dan Peranannya Dalam Penetapan Hukum Islam (Sebuah Pembelaan Kaum Sunni), (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993).
[1] Muh. Zuhri, Telaah Matan Hadis: Sebuah Tawaran Metodologis, (Jogyakarta: LESFI, th.), hlm. 41
[2] Muhammad Mustafa Azami, Metodologi Kritik Hadis, terj. A. Yamin, (Jakarta: Pustaka Hidayah,1992), hlm. 81
[3] Ibid… , hlm. 82
[4] Secara global kritik sanad bisa dilakukan melalui
[5] MKH…, hlm. 82
[6] Diriwayatkan oleh Imam Malik, Abu Daud, at-Turmudzi, Ibn Majah. TMH hlm. 43
[7] Shalahddin al-Adlibi, Manhaj Naqd al-Matn ‘Inda ‘Ulama al-Hadits, (Berut: Dar al-Afaq, al-Jadidah, 1983), hlm.111-112
[8] Q.S. al-An’am: 164, dan father:18
[9] Shalahuddin al-Adlibi, Op.cit., hlm. 114
[10] Ibid…
[11] Ibid…, hlm. 111
[12] TMH, hlm. 46
[13] Lihat al-Adlibi, op. cit…,hlm. 314.
[14] Mustahaf Assiba’i, Sunnah Dan Peranannya Dalam Penetapan Hukum Islam (Sebuah Pembelaan Kaum Sunni), (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), hlm. 66-72
4 komentar:
Wah artikelmu tepat banget dg keperluanku skr. Kucomot ya buat bahan ajarku hehe... thanks berat akhi.
di edit bung.....! tulisannya ibarat gadis cantik pake sandal jepit...bagus tapi tampilannya amburadul...hehehe
[url=http://cialisonlinehere.com/#yzgvf]cialis online[/url] - generic cialis , http://cialisonlinehere.com/#vmtyz cheap cialis online
Jazakumullah, bikhoir.
Posting Komentar