Abstraks
One onther of religion caring and pushing to kindness, high values and justice, and carp all kinds of undisipline, unjustice, arrogancy and including it is corruption. Indonesia is state which resident moyority are moslem which have goods massage from those religion, for the life of prestigious and cleaness, but diffence from the reality. Indonesia is including most corruption satete. This matter is indication for us that understanding believe it is very differen from attetut religion. This era, How a corruption is not only do individually but also collectively, even between deparement. So that, thera are three kind must be doing; the first is Content Of law, the second is Cuture of law, and third, is Stukture of law. If not corruption eradication is imposible to be eradicate and it is just day-dream in Indonesia, In the thise article, writer about it.
A. Mukadimah
Persoalan korupsi adalah hal mendasar yang dirasakan oleh bangsa Indonsia dari awal kemerdekaan sampai hari ini dan mungkin sampai kapan. Korupsi sudah sangat akut sekali, sehingga belum ada obat yang mujarab untuk menyembuhkannya. Upaya pemberantasan koruspi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum selama ini rasaya membuat hati menjadi miris, dan terkesan lamban. Betapa tidak gaungnya hanya masih pada tataran “wacana” dan sangat miskin dalam aksi kongkrit di lapangan.
Andai kata pun para koruptor pun tertangkap, lalu di proses secara hukum, ujung-ujungnya dihentikan penyelidikan atau tututannya, di hukum ringan, bahkan di bebaskan. Hal ini sungguh ironis betapa lemahnya para penegak hukum yang berwenang menghukum, tetapi tidak mampu berhukum sesuai dengan hukum yang sebenarnya. Kalau dulu orang yang korupsi dan yang menerima, masih terlihat sembunyi-sembunyi, semacam ada perasaan malu tetapi mau. Kalau dulu dilakukan dibelakang meja tetapi hari ini diluar dugaan dilakukan secara terang-terangan dan di atas meja, bahkan mejanya sekalian ikut di korupi. Sebuah pekerjaan khair sering kali dilakukan secara kolektif, seperti berbagai acara ritual keagamaan yang ada di Indonesia, adalah hal yang wajar terjadi, karena ini adalah pekerjaan terpuji dan mendapatkan balasan pahala, tetapi beberapa kasus yang muncul belakangan beredar bahwa koruspi juga dilakukan bukan hanya secara personan, tetapi secara kolektif alias berjamaah. Fenomena ini merupakan rahasia umum, bahawa beberapa departeman di tanah air kita, terjangkit virus semacam ini. Hal ini sangat membingungkan masyarakat mengapa bisa terjadi demikian. Apa sebagaian besar masyarakat sudah tidak ada yang jujur? Apa para penyelenggara Negara di Indonesia sudah tidak ada yang jujur lagi? Atau mungkin para penyelenggara Negara sudah kehilangan hati nurani dan akal sehatnya? Atau barangkali birokrasi dengan segala macam sistemnya tidak memungkinkan untuk dipakai lagi, karena dianggap sudah usang? Atau memang budaya masyarakat itu sudah menyatu dengan pola hidup yang tidak bersih lagi? Yang jelas dampak dari korupsi sudah terlihat nyata; bagaimana kemiskinan sudah menjadi barang tontonan masyarakat, ketidakadilan akhirnya sudah menjadi barang yang langka, apalagi ngomong kesejarhtaan adalah sudah menjadi kidung-kidung tidur yang membuai masyarakat sementara realitasnya masih membumbung tinggi di awan mimpi.
Indonseia adalah negeri yang peduduknya paling banyak Muslim di dunia, yang menurut data konsesus sekitar 76% warganya adalah Muslim, tapi yang ironisnya Indonsia menurut berita yang kita dengar adalah bahwa Indonesia termasuk Negara terkorup ketiga di dunia setelah Denmark dan India. Untuk Asia sendiri termasuk juara satu dalam hal ini. Lalu yang menjadi pertanyaan apakah penduduk Indonesia yang mayoritas Muslim itu, tidak ada norma aturan yang terdapat dalam Agama mereka? atau hukum perudangan-undangannya tidak jelas? Kalau berbicara dalil atau hujjah bagaimana validitasnya, baik al-Qur’an maupun Hadis itu? Seberapa besar korupsi yang terjadi di zaman Rasul waktu itu? lalu apa hukuman yang diberikan Rasul waktu itu? Apa ada hubungan yang spesifik antara agama dengan korupsi. Solusi apa yang tepat untuk menghadapi masalah KKN yang merajalela di Indonesia?. Pertanyaan-pertanyaan ini akan penulis coba uraikan dalam makalah di bawah ini.
B. Pembahasan
Setiap agama pada intinya mengajarkan umatnya untuk berbuat segala bentuk kebaikan dan meninggalkan segala bentuk kemungkaran dan ketidakadilaan, khususnya Islam, penulis yakin mengutuk tindakan korupsi dalam bentuk apa pun. Jika Islam amat membenci korupsi, mengapa tindakan-tindakan seperti itu merajalela dalam masyarakat Indonesia yang mayoritas penduduk Muslimnya di muka bumi. Berbagai survei yang dilakukan lembaga asing, seperti Global Corruption Index atau Transparency International Index, dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan, Indonesia termasuk rengking teratas dalam peringkat korupsinya, bahkan tindak pidana korupsi tidak lagi terpusat di Jakarta, tetapi menyebar ke seluruh daerah, menjadi penumpang gelap dalam proses otonomisasi dan desentralisasi.
Kecenderungan yang sama juga terjadi di Rusia, yang mayoritas penduduknya Kristen, dengan indeks hampir sembilan pada tahun 2000. Negara-negara mayoritas berpenduduk Muslim lain seperti Pakistan, Banglades, dan Nigeria juga memiliki indeks korupsi amat tinggi, rata-rata di atas tujuh. Begitu juga Negara-negara berpenduduk mayoritas Kristiani, seperti Argentina, Meksiko, Filipina, atau Kolombia yang indeks korupsinya juga di atas tujuh. Thailand juga yang mayoritas penduduknya Buddha, indeks korupsinya juga hampir mencapai delapan.
Sementara itu, Negara lain yang juga mayoritas beragama Islam seperti Iran, Arab Saudi, Syria, atau Malaysia dengan angka korupsi yang jauh lebih rendah dibanding Indonesia atau Pakistan. Ada pula Negara mayoritas Kristiani seperti AS, Kanada, atau Inggris dengan indeks korupsi di bawah dua. Gambaran kasar ini memberi indikasi, tinggi atau rendahnya korupsi tidak banyak berkait dengan agama secara khusus, tetapi lebih terkait dengan mental masing-masing individu sebuah masyarakat dan tatanan hukum yang jelas dan tegas, yang diiringi penegakan hukum berat terhadap para koruptor. Demikian juga, salah satu faktor utama yang dirasakan seringkali mejebak seseorang untuk berbuat korpuspi adalah sistem admistrasi yang belum tertata dengan rapi. Dengan kata lain ada ruang yang memungkinkan berbuat KKN walaupun sebetulnya tidak ada niat awal untuk berbuat . Kalau boleh dikatakan bahwa semua agama itu hanya dapat memberikan secam pesan moral secara universal kepada manusia untuk tetap mengedepankan nilai-nilai kebaikan, menjunjung tinggi sikap yang bersih dan berwibawa, sedangkan mekanismenya diserahkan kepada pelaku penegak hukum untuk mengaturnya.
1. Pengertian, Macam, Bentuk, dan Ciri-ciri dari Korupsi
Sebelum masuk dalam permasalahan pokok yang akan dikaji, terlebih dahulu perlu dijelaskan pengertian, unsur-unsur dan macam-macam atau bentuk-bentuk korupsi. Kata ‘korupsi’ berasal dari kata Latin Corruptus yang berarti sesuatu yang hancur atau rusak. Dalam pemakaian sehari-hari dalam bahasa-bahasa modern Eropa, seperti bahasa Inggris, kata ‘korupsi dapat digunakan untuk menyebut kerusakan fisik, seperti frasa ‘a corrupt manuscript’ (naskah yang rusak) dan dapat pula untuk menyebut kerusakan tingkah laku sehingga menyatakan pengertian tidak bermoral (immoral) atau tidak jujur atau tidak dapat dipercaya (dishonest). Selain itu korupsi juga berarti tidak bersih (impure), seperti frasa ‘corrupt air’ yang berarti ‘impure air’ (udara tidak bersih).
Dalam kajian-kajian mengenai korupsi ada berbagai definisi yang dikemukakan oleh para ahli menyangkut terminologi korupsi. Syed Hussein Alatas menegaskan bahwa esensi korupsi adalah pencurian melalui penipuan dalam situasi yang menghianati kepercayaan. Dalam Webster’s Third New International Distionary, korupsi di definisikan sebagai ajakan (dari seorang pejabat publik) dengan pertimbangan-pertimbangan yang tidak semestinya untuk melakukan pelanggaran tugas. Menurut Robert Klitgaard, korupsi meliputi tindakan berupa (1) memungut uang atas layanan yang sudah seharusnya diberikan, (2) menggunakan wewenang untuk mencapai tujuan yang tidak sah, dan, (3) tidak melaksanakan tugas karena lalai atau lupa. Bank Dunia menganut definisi klasik yang singkat tapi luas cakupannya, memandang korupsi sebagai the abuse of public office for private gain (penyalahgunaan jabatan publik untuk memperoleh keuntungan pribadi).’ Sementara itu Badan Informasi International di Libanon menyatakan korupsi adalah perilaku individu-individu swasta maupun pejabat pemerintah yang telah menyimpang dari tanggung jawab yang telah ditetapkan dengan menggunakan jabatan atau kekuasaan mereka untuk mencapai tujuan pribadi maupun mengamankan kepentingan pribadi.” Dengan demikian, unsur pokok korupsi itu sesungguhnya tercermin dengan adanya (1) perbuatan menyimpang dari norma, (2) perbuatan itu menimbulkan kerugian kepada Negara atau masyarakat, meskipun tidak selalu berupa kerugian finansial, misalnya kerugian dalam bentuk buruknya pelayanan umum atau tidak berjalannya sistem hukum, (3) adanya penyalahgunaan wewenang.
Korupsi ditandai dengan (1) adanya penghianatan kepercayaan, (2) keserbarahasiaan, (3) mengandung penipuan terhadap badan publik atau masyarakat, (4) dengan sengaja melalaikan kepentingan umum untuk kepentingan khusus, (5) diselubungi dengan bentuk-bentuk pengesahan hukum, (6) terpusatnya korupsi pada mereka yang menghendaki keputusan pasti dan mereka yang dapat mempengaruhinya.
Adapun macam korupsi menurut Alatas, jenis-jenis tersebut meliputi; pertama, korupsi transaktif, yaitu jenis korupsi yang berwujud adanya kesepakatan timbal-balik antara pihak-pihak bersangkuran guna mengupayakan keuntungan bersama. Korupsi jenis ini biasanya terjadi antara usahawan dengan pejabat pemerintah atau anggota masyarakat dan pemerintah. Kedua, korupsi ekstortif (memeras), yaitu pihak pemberi dipaksa melakukan penyuapan guna mencegah kerugian yang akan mengancam diri, kepentingan, orang-orang atau hal-hal yang penting baginya. Ketiga, korupsi defensif, yaitu korupsi yang dilakukan oleh pelaku korban korupsi pemerasan. Keempat, korupsi investis yaitu korupsi berwujud pemberian sesuatu tanpa ada kaitan langsung dengan keuntungan tertentu, selain dari keuntungan yang dibayangkan di masa depan. Kelima, korupsi nepotistik (perkerabatan), yaitu kolusi penunjukan tidak sah terhadap teman atau kerabat untuk menempati posisi dalam pemerintahan atau memberi perlakuan istimewa kepada mereka secara bertentangan dengan norma yang berlaku. Keenam, otogenik yaitu yang dilakukan sendirian tanpa melibatkan orang lain, misalnya membuat laporan belanja yang tidak benar. Ketujuh, korupsi suportif (dukungan) yaitu tindakan yang dimaksudkan untuk melindungi atau memperkuat korupsi yang sudah ada. Dapat pula ditambahkan jenis korupsi kedelapan yang akhir-akhir ini berkembangan ke permukaan, yaitu korupsi legal, di mana suatu kebijakan yang secara hukum adalah sah karena sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku, namun sesungguhnya pada dasarnya merupakan suatu korupsi bila dilihat dari sudut pandang penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good gaverment). Termasuk ke dalam kategori ini adalah apa yang disebut dengan korupsi demokratis, yaitu kebijakan yang disahkan oleh legislatif, namun bertentangan dengan visi yang benar dari pemerintahan yang baik. Misalnya penganggaran rumah dinas pejabat yang jauh lebih besar dari anggaran pembangunan gedung sekolah dasar.
Nampaknya semua jenis korupsi ini, seperti yang disebutkan di atas, di masing-masing Negara yang masih tetap berkembang.
2. Hadis-hadis tentang Korkupsi
Tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa korupsi merupakan fenomena kebudayaan manusia yang cukup tua. Barang kali hampir sama tuanya dengan peradaban manusia itu sendiri. Paling tidak dapat diperkirakan bahwa fenomena korupsi sudah muncul dalam sejarah peradaban manusia, sejak manusia itu mengenal sistem hidup bersama yang terorganisir.
Dalam sejarah Islam, praktik korupsi juga telah ditemukan sejak periode yang relatif dini, setidaknya beberapa kitab Hadis menyebutkan antara lain; Sunnan at-Tirmidzi, Sunnan Abi Daud, Musnad Abi Ya’la, al-Mu’jam al-Kabir, Tafsir at-Tabari, Asbab an-Nuzul dari al-Wahidi dan Musntad Imam Ahmad. Sebagaimana diketahui masyarakat Islam di zaman Nabi saw.. khususnya pada periode Madinah, telah menjadi suatu masyarakat yang terorganisir secara rapi, bahkan dinyatakan bahwa Madinah sendiri merupakan sebuah Negara kota yang dilengkapi dengan sebuah konstitusi, yang belakangan dikenal dengan Konstitusi Madinah. Itu berarti di sana telah terdapat suatu struktur kekuasaan dan adanya kekayaan publik untuk mengelola dan mengenai kepentingan penyelenggaraan kekuasaan itu. Dengan demikian, dapatlah dibuat suatu hipotesis bahwa dalam masyarakat tersebut tentu ada korupsi dalam bentuk tertentu, walaupun hanya kecil.
Bilamana kita mempelajari rekaman-rekaman yang mencatat sejarah Islam awal, kita melihat bahwa isu korupsi muncul pada periode Madinah awal. Dalam hal ini, ditemukan sebuah riwayat bahwa dalam Perang badar tahun 2 H. terjadi korupsi, yaitu raibnya sehelai beludru merah rampasan Perang yang diperoleh dari kaum Musyrikin. Tetapi ada pula riwayat yang menerangkan bahwa yang hilang itu adalah pedang. Laporan mengenai hilangnya beludru merah dalam Perang Badar ini ditemukan dalam beberapa sumber orisinil berikut: Sunnan at-Tirmidzi, Sunnan Abi Daud, Musnad Abi Ya’la, al-Mu’jam al-Kabir, Tafsir at-Tabari, Asbab an-Nuzul dari al-Wahidi. Dalam Sunnan al-Tirmidzi ditegaskan:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ زِيَادٍ عَنْ خُصَيْفٍ حَدَّثَنَا مِقْسَمٌ قَالَ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةَ ( مَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَغُلَّ ) فِي قَطِيفَةٍ حَمْرَاءَ افْتُقِدَتْ يَوْمَ بَدْرٍ فَقَالَ بَعْضُ النَّاسِ لَعَلَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخَذَهَا فَأَنْزَلَ اللَّهُ ( مَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَغُلَّ (رواه الترمذى)
Artinya:
Telah menyampaikan kepada kami Qutaibah: telah menyampaikan kepada kami Abdul Wahid Ibn Ziyad dari Khusaif (dilaporkan bahwa ia berkata): Miqsan telah menyampaikan kepada kami seraya berkata: Ibnu Abbas mengatakan: Ayat ini ‘wa ma kana li nabiyyin an yagulla’ turun mengenai kasus beludru merah yang hilang pada waktu Perang Badar. Beberapa orang mengatakan: Barangkali Rasulullah SAW. mengambilnya, maka Allah Tabaraka wa Ta’ala menurunkan ‘wa ma kana li nabiyyin an yagulla’ hingga akhir ayat (HR. Tirmidzi).
Peristiwa hilangnya beludru merah seperti tersebut dalam sumber di atas dinyatakan sebagai sebab turunnya ayat 161 Ali-Imran ‘wa ma kana li nabiyyin an yagulla’ (‘Tiada seorang Nabi akan melakukan gulul [korupsi]”). Akan tetapi juga terdapat riwayat lain yang mengaitkan turunnya ayat 161 Ali Imran tersebut dengan peristiwa Perang Uhud (tahun 3 H). Bahkan ada riwayat melalui Juwaibir (w. 140 – 150 H. / 757 – 767 M.) dari ad-Dhahak (w. 102 H / 721 M.) dari Ibn Abbas (w. 68 H. / 688 M.) yang menghubungkan turunnya ayat ini dengan kasus pembagian ghanimah pada Perang hunain (tahun 8 H.). Hanya saja dalam kitab al-Ijab fi Bayan as-Sabab oleh Syihabuddin Abu al-Fadl (w. 852 H. / 1447 M.) ditegaskan bahwa Juwaibir melakukan kekeliruan dan yang benar adalah ayat itu turun pada waktu Perang uhud. Selain itu Juwaibir merupakan periwayat tafsir Ibn ‘Abbas yang dinilai sangat lemah (da’if jiddan).
Kembali kepada kasus beludru merah, pertanyaan yang muncul dalam kaitan ini adalah apakah riwayat hilangnya beludru merah di Perang badar ini benar? At-Tirmidzi menyatakan Hadis tersebut sebagai hasan. Hanya saja penilaian at-Tirmidzi bukanlah final, tetapi dapat diuji ulang. Bila kita melihat sanad dari riwayat di atas ternyata bahwa seluruh versi dari riwayat tersebut dilaporkan melalui Khusaif Ibn Abdurrahman dan tidak ada orang lain yang meriwayatkan Hadis itu dari sumber (guru) Khusaif, sehingga riwayat Khusaif ini tidak memiliki pengikut (mutaba’ah). Karena itu, ia merupakan “Hadis gharib”, sebagaimana dikatakan oleh at-Tirmidzi. Khusaif sendiri adalah penduduk Harran (Suriah) dan meninggal di Kuffah pada tahun 137 H/ 755 M. Ia dinilai oleh jumhur ahli Hadis sebagai rawi yang tidal reliabel. Ia sangat kacau dan banyak melakukan kesalahan dalam periwayatan. Yahya Ibn Said al-Qattan (w. 198 H/ 814 M), seorang ahli Hadis pada abad ke-2 H, memandang Khsuaif sebagai rawi dhaif dan ia mengatakan “Kami pada waktu itu menjauhi Hadis Khusaif.” Ibn Khuzaimah (w. 311 H/ 923 M.) menyatakan bahwa Khusaif tidak dapat dijadikan Hujjah. an-Nasa’i dalam Kitab ad-Duafa’ wa al-Matrukin menyatakan, Khusaif Ibn Abdurrahman tidak kuat (dalam Hadis). Dari Imam Ahmad dilaporkan bahwa ia menilai Khunaif sebagai rawi yang lemah dan tidak kuat dalam Hadis. Mengutip Taqrib at-Tahdzib, at-Tarabulusi (w. 814 H/ 1437 M) menyatakan bahwa Khusaif buruk hafalannya dan kacau pada periode akhir hidupnya. Namun demikian, ada juga ahli Hadis yang menganggapnya terpercaya seperti Ibn Sa’id (w. 230 H / 844 M.) yang menyatakan kana siqah ia rawi terpercaya’. Ibn Hibban (w. 354 H/ 965 H) tidak mencatatnya dalam daftar orang-orang terpercaya dalam kitab as-Siqat, melainkan masukkannya dalam kitab al-Majruhin (orang-orang tercela/ cacat kualitas) dan mengatakan bahwa yang adil adalah bahwa kita menerima Hadis-hadis riwayatnya yang sesuai dengan riwayat para rawi yang terpercaya, dan menolak Hadis-hadis yang tidak memiliki pengikut (mutaba’ah). Berhubung riwayat beludru merah ini tidak ada mutaba’ah-nya, maka riwayat ini harus ditolak. Lagi pula riwayat hilangnya beludru merah dalam Perang Badar sebagai latar belakang turunnya ayat 161 Ali-Imran tidak sesuai dengan konteks ayat itu sendiri di dalam al-Qur’an yang sedang menceritakan Perang Uhud. Dengan demikian, disimpulkan bahwa isu korupsi pada waktu Perang Badar tidak didukung oleh data yang dapat dipercaya.
Pada umumnya para ulama menghubungkan ayat 161 Ali-Imran dengan peristiwa Perang Uhud yang terjadi pada tahun ke-3 H. Dalam peristiwa ini, strategi Nabi SAW. adalah menempatkan pasukan pemanah pada posisi di atas bukit di belakang pasukan Rasulullah dan pasukan pemanah itu bertugas melindungi pasukan Rasulullah di bawah bukit dari serangan pasukan Musyrikin dari belakang. Pada awalnya pasukan Rasulullah berhasil mengalahkan pasukan Musyrikin dan mereka lari. Melihat kemenangan itu pasukan pemanah di atas bukit meninggalkan posisi mereka untuk berebut rampasan Perang, sehingga akibatnya kemudian kemenangan mereka berubah menjadi kekalahan. Ketika melihat mereka turun, sebagaimana yang ditegaskan dalam kitab al-Ijab, Nabi saw.. berkata: “Bukankah saya perintahkan kepada kalian agar tidak meninggalkan posisi sampai ada perintah saya”. Mereka menjawab: “Masih ada beberapa teman kita berdiri di sana”. Pada waktu itu Nabi berkata: “Sebenarnya kalian pasti mengira bahwa kami melakukan gulul.” Untuk menyanggah anggapan itu, maka turunlah ayat ‘wa ma kana li nabiyyin an yagulla…’ (Q.S. 3: 161), yang oleh at-Tabari ditafsirkan “Bukanlah sifat para Nabi untuk melakukan gulul dan orang yang melakukan gulul bukanlah nabi.”
Syihabuddin Abu al-Fadl menyebutkan, bahwa al-Kalbi (w. 146 H/ 763 M) dalam tafsirnya menyebutkan riwayat yang sama, dengan sedikit perbedaan kalimat, di mana dalam kalimatnya “Kami khawatir Rasulullah saw.. tidak membagikan ghanimah, seperti halnya tidak ia lakukan pada waktu Perang Badar” dan ia menambahkan sesudah ‘…bahwa kami melakukan gulul’ kata-kata ‘dan tidak membagikan ganimah untuk kalian.’ Al-Wahidi (w. 468 H 1075 M) menggabungkan kedua riwayat tersebut menjadi satu. Meskipun Muqatil (w. 150 H/ 766 M.) dan al-Kalbi (w 146 H/ 763 M.) terbilang periwayat tafsir Ibn Abbas yang dianngap lemah, namun riwayat mereka ini cocok dengan konteks ayat yang bersangkutan, yaitu Perang Uhud dan para ulama hampir sepakat bahwa ayat tersebut memang turun menyangkut Perang tersebut. Lagi pula Muqatil dan al-Kalbi banyak dikutip oleh para ahli tafsir yang kemudian. Beberapa rawi terpercaya seperti Sufyan as-Sauri (w. 161 H/ 778 M) dan Muhammad Ibn Fudail Ibn Gazwan (w. 195 H/ 810 M) meriwayatkan dari al-Kalbi.
Dengan memperhatikan riwayat di atas dan memperhatikan tafsir yang diberikan oleh at-Tabari (w. 310 H/ 923 M) terhadap ayat 161 Ali-Imran, dapat dilihat bahwa dalam Perang Uhud sebenarnya tidak ada korupsi yang terjadi. Yang ada adalah anggapan atau sangkaan dari pasukan pemanah di atas bukit bahwa pasukan yang dipimpin oleh Nabi SAW. di bawah bukit akan melakukan gulul saat mereka berhasil mengalahkan pasukan kaum Musyrikin.
Poin yang hendak di catat di sini adalah makna gulul itu sendiri. Dari ungkapan Nabi, “Kamu sebenarnya mengira kami melakukan gulul dan tidak membagikan ghanimah untuk kamu,” terlihat bahwa pengertian gulul adalah kebijakan pembagian ghanimah yang tidak sebagaimana mestinya, menyimpang dari ketentuan yang ada. Dengan kata lain gulul (korupsi) dalam konteks ini adalah perbuatan kebijakan yang menyimpang dari yang semestinya. Pengertian ini sejalan atau menyerupai bentuk kedelapan dari korupsi yang dikemukakan pada sub-bahasan sebelumnya.
Dari Badar dan Uhud, kita pindah ke Khaibar, sebuah perkampungan Yahudi yang ditaklukkan oleh Rasulullah SAW. pada tahun 6 H. di sini kita menemukan bentuk korupsi yang riil, meskipun jumlahnya kecil. Ada dua kasus korupsi di Khaibar yang dilaporkan dalam beberapa kitab Hadis. Pertama, peristiwa kematian seorang laki-laki yang melakukan korupsi (gulul) di Khaibar pada waktu penaklukan daerah tersebut, dan kedua, kasus kematian seorang budak bernama Mid’am yang juga melakukan korupsi dan kasus korupsi tali sepatu. Kasus pertama dilaporkan dalam beberapa Hadis di antaranya adalah versi Ahmad Ibn Hambal sebagai berikut:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدِ بْنِ حَيَّانَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى عَنْ أَبِي عَمْرَةَ عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ أَنَّ رَجُلًا مِنْ أَشْجَعَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تُوُفِّيَ يَوْمَ خَيْبَرَ فَذُكِرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ فَتَغَيَّرَ وُجُوهُ النَّاسِ مِنْ ذَلِكَ فَقَالَ إِنَّ صَاحِبَكُمْ غَلَّ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَفَتَّشْنَا مَتَاعَهُ فَوَجَدْنَا خَرَزًا مِنْ خَرَزِ يَهُودَ مَا يُسَاوِي دِرْهَمَيْنِ
(رواه أحمد)
Artinya:
Yahya Ibn Sa’id telah menyampaikan kepada kami dari Yahya Ibn Sa’id Ibn Hayyan, dari Muhammas Ibn Yahya, dari Abi ‘Amrah, dari Zaid Ibn Khalid al-Juhani bahwa seorang sahabat Nabi dari meninggal pada waktu penaklukan Khaibar,maka para sahabat melaporkan hal itu kepada Nabi SAW.. Lalu beliau bersabda: “Salatkanlah kawanmu itu”, maka berubahlah raut wajah orag-orang karena sabda itu.dan Nabi bersabda: “Rekanmu itu telah melakukan gulul dalam Perang”. Maka kamipun memeriksa barang-barangnya, lalu kami temukan manik-manik orang Yahudi yang harganya tidak mencapai dua dirham (HR. Ahmad)
Secara umum para perawi dalam sanad Hadis ini tidak ada yang cacat sehingga Hadisnya dapat diterima. Hadis ini merekam sebuah kasus korupsi kecil yang dilakukan oleh salah seorang sahabat yang ikut dalam penaklukan Khaibar. Tidak ada catatan tentang nama orang tersebut. Hanya saja dalam beberapa versi dari Hadis bersangkutan disebutkan bahwa ia berasal dari Bani ‘Asyja’. Dalam kasus ini korupsi diberi hukuman moral, yaitu Rasulullah saw.. tidak ikut menyalatkan jenazahnya; beliau menyuruh sahabatnya saja yang menyalatkannya.
Kasus kedua, dari korupsi di Khaibar adalah korupsi mantel dan korupsi tali sepatu. Korupsi mantel dilakukan oleh Mi’dam, seorang budak yang mengikuti perjalanan Nabi saw. ke Wadi al-Qura beberapa waktu setelah penaklukan Khaibar. Ia terkena tembakan anak panah misterius di Wadi al-Qura, ketika hendak menurunkan barang-barang bawaan Rasulullah dari untanya sehingga meninggal dunia. Para sahabat yang melihat kejadian itu mengatakan ‘semoga ia masuk surga.’ Namun Nabi SAW. menyanggah dan menerangkan, bahwa ia pernah melakukan korupsi mantel pada waktu penaklukan Khaibar dan mantel yang dikorupsi itu akan membakarnya di neraka kelak. Korupsi tali sepatu pada waktu penaklukan Khaibar dilakukan oleh salah seorang yang ikut dalam perjalanan ke Wadi al-Qura tersebut. Identitasnya secara lebih jelas tidak ada informasinya. Ketika mendengar pernyataan Rasulullah saw. mengenai mantel yang dikorupsi oleh Mi’dam dapat menjadi penyebab ia masuk neraka, lelaki itu buru-buru memberikan tali pengikat sepatu yang dikorupsinya pada waktu penaklukan Khaibar kepada Rasulullah saw. Teks Hadis tersebut dalam Shahih Bukhari adalah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ ثَوْرِ بْنِ زَيْدٍ الدِّيلِيِّ عَنْ أَبِي الْغَيْثِ مَوْلَى ابْنِ مُطِيعٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ خَيْبَرَ فَلَمْ نَغْنَمْ ذَهَبًا وَلَا فِضَّةً إِلَّا الْأَمْوَالَ وَالثِّيَابَ وَالْمَتَاعَ فَأَهْدَى رَجُلٌ مِنْ بَنِي الضُّبَيْبِ يُقَالُ لَهُ رِفَاعَةُ بْنُ زَيْدٍ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غُلَامًا يُقَالُ لَهُ مِدْعَمٌ فَوَجَّهَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى وَادِي الْقُرَى حَتَّى إِذَا كَانَ بِوَادِي الْقُرَى بَيْنَمَا مِدْعَمٌ يَحُطُّ رَحْلًا لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَهْمٌ عَائِرٌ فَقَتَلَهُ فَقَالَ النَّاسُ هَنِيئًا لَهُ الْجَنَّةُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَلَّا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنَّ الشَّمْلَةَ الَّتِي أَخَذَهَا يَوْمَ خَيْبَرَ مِنَ الْمَغَانِمِ لَمْ تُصِبْهَا الْمَقَاسِمُ لَتَشْتَعِلُ عَلَيْهِ نَارًا فَلَمَّا سَمِعَ ذَلِكَ النَّاسُ جَاءَ رَجُلٌ بِشِرَاكٍ أَوْ شِرَاكَيْنِ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ شِرَاكٌ مِنْ نَارٍ أَوْ شِرَاكَانِ مِنْ نَار.
ٍ (رواه البخارى)
Artinya:
Ismail telah menyampaikan kepada kami, ia berkata Malik telah menyampaikan kepadaku, dari Saur Ibn Zaid ad-Dili, dari Abi al-Ghais bekas budak Ibn Muti’, dari Abu Hurairah (bahwa) ia berkataa: Kami keluar bersama Rasulullah SAW. pada waktu penaklukan Khaibar, kami tidak memperoleh rampasan Perang berupa emas dan peran, yang kami peroleh adalah benda tak bergerak, pakaian dan barang-barang dan seorang lelaki dari Bani ad-Dubaib bernama Rifa’ah Ibn Zaid menghadiahi Rasulullah SAW. seorang budak bernama Mi’dam. Rasulullah SAW. berangkat menuju Wadi al-Qura, sehingga ketika ia sampai ke Wadi al-Qura itu pada saat Mi’dam emnurunkan barang-barang bawaan Rasulullah SAW. tiba-tiba sebuah panah misterius (mengenai Mi’dam) dan menyebabkan ia meninggal. Maka orang-orang (yang melihat) mengatakan: Semoga ia masuk sorga. Maka Rasulullah SAW. bersabda: “Tidak! Demi Tuhan yang diriku berada di tangannya, sesungguhnya mantel yang diambilnya pada waktu penaklukan Khaibar dari rampasan Perang yang belum dibagi akan menyulut api neraka yang akan membakarnya.” Ketika orang-orang mendengar pernyataan Rasulullah itu, seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW. membawa seutas tali sepatu atau dua utas tali sepatu (keraguan dari rawi). Nabi SAW. lalu mengatakan: seutas tali sekalipun akan menjadi api neraka atau dua utas talipun akan menjadi api neraka (seandainya tidak dikembalikan). (HR. Bukhari)
Dalam Hadis ini, seperti disinggung terdahulu, terdapat korupsi yang jumlahnya kecil; mantel dan tali sepatu. Namun para ahli Hadis menegaskan bahwa Hadis ini menekankan beratnya dosa korupsi. Korupsi dalam Hadis ini dapat dikategorikan sebagai korupsi otogenik, yaitu korupsi yang dilakukan seorang diri melalui penggelapan kekayaan publik. Dalam kasus ini para koruptor menggelapkan harta rampasan Perang (ghanimah) dan tidak melaporkannya kepada Nabi Saw.
Demikian juga pesan nabi kepada Mua'az bin Jabal, seperti Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim . Sejalan dengan redaksi Hadis ini juga, Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Hal senada juga Imam Turuzi menyebutkan hal serupa Ibn Hajar mengatakan bahwa Hadis pendek Ahmad ini diriwayatkan melalui Ismail Ibn ‘Ayysy (w. 181 H/ 797 M) dari Yahya Ibn Sa’id (w. 144 H/ 761 M) dan merupakan ringkasan atau riwayat dengan makna dari Hadis panjang di atas. Hadis ini dengan tegas menyatakan bahwa hadiah yang diterima pejabat dari masyarakat dipandang sebagai salah satu bentuk korupsi dan tidak boleh diterima. Yang dimaksud dengan hadiah di sini menurut pensyarah Hadis dan ulama fiqih adalah pemberian yang diterima seorang pejabat atau pegawai (petugas) yang terkait atau patut diduga terkait jabatan. An-Nawawi (w. 676 H/ 1277 M) menyatakan, “dalam Hadis Nabi SAW. menjelaskan, sebab diharamkannya menerima hadiah (pemberian), yaitu keterkaitannya dengan jabatan. Lain halnya dengan hadiah kepada bukan pejabat (petugas), hadiah semacam itu dianjurkan.
Lebih jauh apabila dilacak, pengertian hadiah (pemberian) dalam kedua Hadis di atas mencakup pula risywah (suap). Mengomentari Hadis ini, asy-Syafi’i (w. 204 H/ 820 M.) dalam al-Umm mengatakan:
“Apabila seorang warga masyarakat memberikan hadian kepada seorang pejabat, maka bilamana hadiah itu dimaksudkan untuk memperoleh, melalui atau dari pejabat itu, suatu hak atau suatu yang batil, maka haram atas pejabat bersangkutan menerima hadiah tersebut. Hal itu karena adalah haram atasnya untuk mempercepat pengambilan hak (yang belum waktunya) untuk kepentingan orang yang ia tangani urusannya (dengan menerima imbalan) karena Allah mewajibkannya mengurus hak tersebut, dan haram pula atasnya untuk mengambilkan suatu yang batil untuk orang itu dan imbalan atas pengambilan sesuatu yang batil itu lebih haram lagi. Demikian pula (haram atasnya) apabila ia menerima hadiah itu agar ia menghindarkan pemberi hadiah dari sesuatu yang tidak ia ingini. Adapun apabila ia dengan menerima hadiah itu bermaksud menghindarkan pemberi hadiah dari suatu kewajiban yang harus ditunaikannya, maka haram atas pejabat tersebut menghindarkan pemberi hadiah dari kewajiban yang harus dilakukannya”.
Demikian juga penulis temukan dalam Musnad Imam Ahmad sebuah ungkapan Hadis yang sering kali kita denar;
حَدَّثَنَا الْأَسْوَدُ بْنُ عَامِرٍ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ يَعْنِي ابْنَ عَيَّاشٍ عَنْ لَيْثٍ عَنْ أَبِي الْخَطَّابِ عَنْ أَبِي زُرْعَةَ عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ وَالرَّائِشَ يَعْنِي الَّذِي يَمْشِي بَيْنَهُمَا. (رواه أحمد)
Artinya:
Dari Tsa'ban (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah SAW. melaknat pelaku, penerima, dan perantara risywah, yaitu orang yang menjadi penghubung di antara keduanya (HR. Ahmad)
Jadi berbicara tentang hujjah dalam hal ini umat Islam di Indonesia mempunyai ladasan kuat untuk tidak berbuat korupsi, apa pun bentuk dan jenisnya. Karena dalam agamanya nyata dan jelas bahwa hal itu dilarang, walaupun korupsinya sesuatu yang amat kecil. Kerena akibatnya sangat besar sekali baik di mata manusia atau pun di mata Tuhan.
Namun, berbicara tentang hadiah -seperti yang disebutkan di atas- pada zaman sekarang dalam konteks Indonesia, paham seperti ini akan ikut mendorong lajunya korupsi, akan sulit membedakan mana hadiah murni dan mana hadiah dengan istilah ngetren, seperti; uang terima kasih, uang admistrasi, uang rokok, uang transportasi uang F dan istilah-istilah lainnya. Pemberian semacam ini meskipun dilakukan oleh pemberi untuk mendapatkan haknya yang sah, akan membawa dampak merusak sistem pelayanan publik berupa memburuknya kualitas pelayanan tersebut.
C. Korupsi di Indonesia dan Solusinya
Kita sepakat bahwa korupsi, kolusi dan Nepotisme (KKN) dengan segala macam derivasinya, masih mengakar dalam masyarakat pada intraksi ekonomi, politik, maupun hukum Indonesia. Secara empiris, korupsi adalah penyakit sosial dalam kehidupuan manusia. Ia tidak hanya merusak individu yang berbuat, tetapi juga semua orang ikut terkena imbasnya. Fenomena korupsi di Negara kita sudah demikian koronisnya, sehingga demikian perlu penanganan yang serius. Seperti yang telah disinggung di muka, bahwa korupsi tidak lagi dianggap sebagai sebuah kebiasan yang sedikit menimbulkan resiko berat seperti yang ada dalam Udang-undang, toh menutut mereka ada banyak cara membela diri, baik secara nyata maupun secara tidak, sehingga pelakunya demikian menggampangkannya.
Yang lebih menarik lagi adalah seperti yang dikatakan Munir Mulkan dalam PIR ke 23 (Pengajian ‘Iktikaf Ramadahan) bahwa fenomena korupsi ini bukan hanya masalah hukum semata, tetapi lebih kepada tradisi sosial masyarakat. Ia mencontokkan beberapa tradisi keagamaan dan paham keagamaan juga menyuburkan praktik korupsi. Dosa korupsi seringkali hanya sebesar harta yang dikorup, sementara infaq yang dijalan Tuhan bisa dijanjikan pahala berlipat sampai 700 kali, bahkan lebih, sehigga di akhirat nanti para korup bisa memperoleh timbangan amal yang jauh lebih berat dari pada ulama yang bersih, yang tidak pernah memberi infaq sebesar koruptor. Jadi, dalil sebagian orang Islam yang melakukan korupsi (koruptor), bahwa kedermawanaan (infaq, sadakah, zakat, haji, qurban dan seterusnya), yang dilakukan sebagai pembersihan amal korup yang telah diperbuatnya.
Fenomena ini, tampaknya tidak hanya ditinggkat orang-orang legilatif, eksekiutif, tetapi juga dikalangan yudikatif yang seharusnya memberikan contoh kepada lembaga-lembaga lain.
Kasus KPU, Pertamina, Depaq, Pertamina, dan beberapa Institusi pemerintah sudah banyak diekspos media masa, atau yang belum terungkap, terdeteksi melakukan korupsi secara berjamaah, yang sesungguhnya membuat kita tidak punya harga diri dan tidak bermartabat di mata Internasional.
Sejak di undangkan Undang-undang Nomer 30 tahun 2002 tentang KPK (Komisi Tindak Pemberantasan Korupsi), sebuah lembaga yang independent dan ekslusif, masyarakat menaruh perhatian besar terhadap kenerja komisi ini. Namun hal ini sebetulnya masih jauh dari harapan masyarakat. Walaupun sudah beberapa kasus dapat disesesaikan dengan baik. Tapi itu masih bibit-bibit ikan teri yang masih kecil, sementara koruptor yang kelas kakap masih tidak tau arah rimbanya, berkeliaran ke sana kemari. Pengadilan Negeri sebagai lembaga yang seharusnya menjadi tumpuan masyarakat, terkesan masih jauh dari harapan yang sebenarnya, bahkan dapat dibilang gagal. Kegagalan Pengadilan ini sebagian besar dilakoni oleh aparat penegak hukum kita yang tidak profeisional. Kegagalan penegakan hukum secara keseluruhan dapat dilihat dari ketidakmapuan (unebillity) dan ketidakmauan (anwillingness). Ketidakmampuan penegakan hukum, profesionalisme aparat yang kurang, dan ketidakseriusan penegakan hukum oleh aparat sudah menjadi rahasia umum masyarakat. Menurut Amir Syamsydin, dalam harian Reblika bahwa para aparat penegak hukum lebih banyak bersipat pasif dan hanya berusaha memenuhi target atasan semata, ketimbang melakukan penegakan hukum secara benar sesuai dengan hukum yang berlaku. Dekian juga akibat komitem para elit reformasi yang cendurng setengah hati, mengakibatkan korupsi seperti sebuah makhluk halus, tetapi berdampak nyata dalam kehidupan. Menurut Amir, gejala korupsi di atas bukan semata-mata persoakan hukum, melainkan sebuah tata nilai, tradisi, kultur suatu masyarakat di mana gejala itu berkembang yang ikut menyuburkan korupsi.
Untuk melaksanakan sebuah pemertintah yang bersih (good govermant) ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, pertama pengembangan pengajaran (penyisipan materai pelajaran) melalui pendidikan agama atau moral dan modul anti korupsi, dan kalau perlu menjadikan kurikulum khusus anti koruspi, seperti yang diseminarkan oleh Komaruddin Hidayat beberap minggu yang lalu di Jakarta. Kedua, kualisi antar ummat beragama; dan ketiga adalah advodkasi (Public Hearing).
1. Pengembangan (penyisipan) materi antikorupsi melalui pendidikan agama. Program seperti ini, hemat penulis, penting dilakukan, karena tertujuan memberikan pemahaman kepada para pelajar dan mahasisiwa tentang nilai-nilai moral antikorupsi yang tersirat dalam ajaran agama. Walaupun secara formal dalam agama, seperti yang sebutkan di atas, tidak ada satu agama pun yang mengajarkan secara spesifik, mengatur, dan memberikan ganjaran bagi para pelakunya, Tuhan serahkan kepada manusia untuk merumuskan mekanismenya. Hal ini sangat berbeda dengan mencuri dalam Syari’ah, sudah jelas hukumannya, walaupun sama-sama merugikan. Membangun percaya diri untuk menghindari sikap dan perilaku koruptif, serta memberikan pelajar, mahasiswa dan generasi muda untuk berperan aktif dalam gerakan antikorupsi.
2. Kualisi antar umat beragama. Program seperti ini, adalah cara ekektif dalam membangun gerakan moral dan aksi di kalangan aktifis muda beragama untuk menggalang kekuatan melawan korupsi, serta memberikan bekal para juru aktivis dakwah di masing-masing agama untuk menggugah kesadaran ummat. Untuk mencapai streratergi ini, perlu dilakukan traning of triainer yang bertujuan membangun kesadaran kritis aktifis agama menjadi garda terdepan gerakan antikorupsi. Dengan adanya pelatihan semacam ini diharapkan mempunyi persiapan yang matang, serta diharapkan dapat membetuk komunitas gerakan antikorupsi pada masing-masing agama.
3. Ketiga advokasi. Tujuan advokasi ini adalah untuk mempesentasikan hasil yang dicapai program kepada para pengambil kebijakan baik di pusat maupun daerah, sehingga dapat mengubah kebijakan pemerintah untuk memasukan materi antikorupsi dalam mata kuliah pendidikan agama.
4. Keempat, para penegak hukum secara terus menerus dihimbau agar tidak memutuskan perkara seperti mesin, dalam arti membacakan perkara, pasal demi pasal lalu memutuskan, tanpa dibarengi dengan keputusan yang di ambil berdasarkan hati nurani dan merasakan dengan fikiran. Frof Dr. Ahmad Safi'i Ma'arif mengatakan bahwa dalam kasus ini (koropsi dan kemisikan) yang lumpuh adalah akal sehat, dan hati nurani. Akal sehat dan hati nurani yang tidak berfungsi adalah pangakal dari korupsi dan kemiskinan.
D. Khatimah
Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan Imam Ahmad tentang korupsi mengindikasikan, bahwa dalam masyarakat awal Islam di zaman Nabi saw. terdapat beberapa bentuk korupsi, sebagai suatu fenomena dari masyarakat yang telah terorganisir dan memiliki kekayaan publik untuk menjalankan kepentingan dan kekuasaan di dalamnya. Bentuk-bentuk korupsi yang terindikasi dalam Hadis-hadis riwayat at-Tirmidzi dan Imam Ahmad meliputi pengambilan kebijakan publik yang tidak sesuai dengan visi penyelenggaraan kepentingan publik yang ideal dan semestinya, korupsi otogenik dalam bentuk penggelapan kekayaan publik, pemberian hadiah dan suap kepada pejabat atau petugas Negara. Ternyata dalil-dalil (hujjah) ini dapat dikatakan kuat dan dapat untuk dilaksanakan oleh ummat Islam secara substansial, demi menjaga harga diri, dan mempetahankan harkat dan martabat sebagai anggota masyarakat maupun sebagai Negara bangsa.
Korupsi tampaknya seperti hantu, terasa tapi tidak tampak dalam kehidupan manusia. Korupsi dapat dikatakan sudah menjadi sosial-budaya masyarakat di mana manunsia itu hidup, dan itu sebuah penyakit yang kronis yang memerulukan penangan serius dan intesif. Untuk merubah sebuah wajah masyarakat seperti penulis uraikan di atas tidaklah semudah membolak telapak tangan bim salabim, tetapi butuh waktu dan proses yang panjang. Bangsa Indonesia yang notebene-nya mayoritas Muslim, pesan moral dan nilai-nilai keagamaan itu tidak begitu signifikan, membekas dalam diri masing-masing masyarakat. Hal ini mengidikasikan sebuah pemahaman beragama berbeda dengan cara beragama semestinya. Bukankah para koruptor itu paham Agama? bahkan mereka lebih cerdas dengan berbagai macam dalil yang ada, baik dari al-Qur’an baik maupun Hadis Nabi.
Tetapi, setidaknya secara teoritical ada tiga hal yang perlu dijaga dan dilestarikan dalam rangka mewujudkan masyarakat dan bangsa yang bersih dan baik, pertama, adalah containt of law. Matrialnya harus jelas dan tegas, seperti di Negara-negara maju, Jepang dan Cina misalnya, hukuman yang layak bagi seorang yang terbukti melakukan korupsi adalah mati. Kedua, cuture of law. Yaitu bagaimana kesadaran masyarakat akan hukum serta melaksanakannya. Ketiga, adalah stukture of law. Yaitu budaya masyarakat antikorupsi, dan bercita-cita untuk menjadi bangsa yang bermartabat, diperlukan budaya malu untuk melakukan korpsi. Ketiga hal ini harus dilakukan secara serentak, kalau tidak maka pemberantasan koruspi akan menjadi angan-angan kosong yang tidak pernah terwujud.
Oleh sebab itu, yang perlu diperhatikan adalah bagaimana memberikan pendidikan materi agama antikorupsi, kalau perlu menjadikannya sebagai kurikulum wajib kepada pelajar dan mahasiswa sedini mungkin, untuk meberikan pemahaman yang utuh, untuk menghindari sikap dan perilaku koruptif. Dengan materi itu diharapkan kesadaran kritis mereka. Kemudian dengan mengadakan kualisi antar umat beragama dengan traning of trainer, sehingga setelah mendapatkan bekal yang cukup dengan semangat dan kekeritisan mereka dapat melakukan menufer-menufer yang jitu. Wallahu 'alam
Daftar Pustaka
Abu al-Fadhl, Syihabuddin, Al-‘Ijab fi Bayan as-Sabab, (Damam: Dar Ibn Jauzi, 1997).
Alatas, Syed Hussein, Korupsi: Sifat, Sebab dan Fungsi, terj. Nitwono (Jakarta: LP3ES, 1987).
Alatas, Syed Hussein, Sosiologi Korupsi; Sebuah Penjelajahan dengan Data Kontemporer, Alih Bahasa al-Ghozie Usman, (Jakarta: LP3ES, 1975).
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987).
Al-Wahidi, Asbab an-Nuzul, (Beirut: Dar al-Fikr li at-Tiba’ah wa an-Nasyr, 1991),..
Anwar, Syamsul, Sejarah Korupsi dan Perlawanan Terhadapnya di Zaman Awal Islam: Perspektif Studi Hadis, dalam Hermeneia, (Yogyakarta: Program Pascasarjana UIN Sunnan Kalijaga, Vol. 4 No. 1 2005).
Asy-Syafi’i, al-Umm, (Beirut: Dar al-Fikr, 1990)
At-Tabari, Ibn Jarir, Jami’ al-Bayan, (Beirut: Dar al-Fikr, 1405).
At-Tirmidzi, Sunnan at-Tirmidzi (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2002),
Azra, Azumardi, Agama dan Pemberantasan Korupsi, (Jakarta: Kompas, Edisi Jumat, 05 September 2003).
Horby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary, edisi ke-4 (Oxford: Oxford University Press, 1989).
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0309/05/opini/542015.htm
Ibn Hajar, Fath al-Bari’, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1379H),
Ibn Hanbal, Ahmad, Musnad Ahmad, (Mesir: Muassasah Qurtubah, t.t).
Ibn Hanbal, Ahmad, Musnad Ahmad, (Mesir: Muassasah Qurtubah, t.t),.
Ibn Hibban, Kitab al-Majruhin, (Aleppo, Suriah: Dar al-Wa’y, t.t.),
Ibn Sa’d, Tabaqat al-Kubra (Beirut: Dar Sadir, t.t.)
Ibnu Hajar, Tahdzib al-Tahdzib, (Beirut: Dar al-Fikr, 1984).
Klitgard, Robert, dkk, Penuntun Pemberantasan Korupsi Dalam Pemerintahan Daerah, alih Bahasa Masli Maris (Jakarta: Yayasan Obor dan Partnership for Governance Reform in Indonesia, 2002)
Mualimudin, Inaini, Makalah; membangun gerakan Anti Korupsi Melalui Pendidikan dan Agama Di Daerah DIY, (Pospes Budi Mulia Jogyakarta ttp).
Mulkan, Munir, Makalah; Beberapa Catatan Tentan Korupsi Dalam Perspertif Budaya Dan Doktrin Geralam Islam Klasik, (Pondok Pesanten Mudi Mulia, Jogyakarta, ttp.)
Safi'I Ma'arif, Ahmad, Resonansi; Pahlawan Devisa Yang Sering Teraniaya, Harian Republika 7 Maret 2006
Said, Sudirman, dan Nizar Suhendra, Korupsi dan Masyarakat Indonesia dalam Hamid Basyaib dkk, (ed.) Mencuri Uang Rakyat: 16 Kajian Korupsi di Indonesia Buku I, (Jakarta: Yayasan Aksara, 2001)
Syamsuddin, Amir, Opini; Tanggung Jawab Penegak Hukum, , Kompas, 2 Aprl, 2004.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar