UJIAN MID SMESTER GENAP (II) MATAKULIAH HADIS I KELAS A & B PROGRAM STUDI SI PGMI IAIH PANCOR TAHUN AKADEMIK 2009
1. Apa yang Saudara ketahui tentang hari qiamat? Sebutkan dalil-dalil baik al-Qur’an dan Hadis Nabi yang menceritakan peristiwa hari penghanjuran jagad tersebut? Manfaat dan hikmah apa yang bisa diraih dengan peristiwa tersebut?
2. Mentauhidkan Tuhan salah satu aspek yang paling penting dalam beragama, sebutkan dan jelaskan definisi tahuid? Mancam-macam? Dalil-dalilnya? Serta bagaimana cara mentahuidkan Tuhan dengan sejati menurut Saudara?
3. Mengapa ada surga dan neraka? Mengapa ada malikat dan syaitan? Apa manfaat dari adanya makhluk Tuhan tersebut di atas? Datangkap pula dalil yang Saudara ketahui?
4. Shalat dan thaharah merupakan dua komponen sejoli dalam beribadah kepada Tuhan, pertanyaannya sebutkan definisi keduanya? Macam-macam keduanyanya? Syarat dan rukun keduanya? Serta manfaat penting yang di dapat dari ibadah keduany? Datangkan pula dalil-dalilnya dalam al-Qur’an dan Hadis Nabi yang Saudara ketahui?
5. Apa yang dimaksud dengan tangungjawab? Sebutkan macam-macam tanggungjawab? Serta kenapa manusia harus bertangungjawab? Datangkan dalil dan contohnya?
Note:
- Jawablah empat dari lima pertanyaan di atas disertai argument jelas Saudara.
- Sertakan daftar pustaka tempat pengambilan kutipan yang Saudara dipakai.
- Dalam penilaian, Dosen tidak menerima hasil yang sama di antara mahasiswa, kalau sama tidak akan diberikan nilai maksimal.
Gunungsari, 10 Juni 2009
Athor Munawir Haris, M.S.I.
Kamis, 11 Juni 2009
UJIAN MID SMESTER (IV) STAIDAKA
UJIAN MID SMESTER GENAP (IV) MATAKULIAH ULUMUL HADIS 3 (MA’ANIL HADIS) PROGRAM STUDI SI TAFSIR HADIS SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM DARUL KAMAL KEMBANG KERANG TA. 2009
Apa yang Saudara ketahui tentang ulumul hadis? Bagaimana hubungan ulumul hadis dengan hermeneutika? Apa perbedaan antara: tafsir, ta’wil, bayan, dan hermeneutika? Datangkan contoh du saja (baik kata, kalimat, hadis maupun al-Qura’an), dari analisa masing-maing istilah di atas?
Pendekatan-pendekatan apa saja yang dipergunakan dalam memahami hadis nabi secara humanity? Datangkan dua saja dari pendekatan-pendekatan tersebut dalam memahami hadis Nabi?
Sebutkan dan jelaskan metodologi (langkah-langkah) riil Fazlur Rahman dan Nurcholis Madjid dalam memahami as-sunnah?
Sebutkan dan jelaskan, minimal tiga hadis, tentang Gender dengan menggunakan analisa hermenuetik yang Saudara ketahui?
tuliskan dan komentari otobigrafi dari salah satu pemikir atau ahli hadis di bawag ini:
Iman Syafi’i
Imam Ahmad bin Hambal
Imam Malik
Yusup Qardawi
M. Al-Gazali
Nurcholis Madjid
Fazlur Rahman
Syuhudi Ismail
Note:
- Jawablah empat dari lima pertanyaan di atas disertai argument jelas Saudara.
- Sertakan daftar pustaka tempat pengambilan kutipan yang Saudara dipakai.
- Dalam penilaian, Dosen tidak menerima hasil yang sama di antara mahasiswa, kalau sama tidak akan diberikan nilai maksimal.
Gunungsari, 10 Juni 2009
Athor Munawir Haris, M.S.I.
Apa yang Saudara ketahui tentang ulumul hadis? Bagaimana hubungan ulumul hadis dengan hermeneutika? Apa perbedaan antara: tafsir, ta’wil, bayan, dan hermeneutika? Datangkan contoh du saja (baik kata, kalimat, hadis maupun al-Qura’an), dari analisa masing-maing istilah di atas?
Pendekatan-pendekatan apa saja yang dipergunakan dalam memahami hadis nabi secara humanity? Datangkan dua saja dari pendekatan-pendekatan tersebut dalam memahami hadis Nabi?
Sebutkan dan jelaskan metodologi (langkah-langkah) riil Fazlur Rahman dan Nurcholis Madjid dalam memahami as-sunnah?
Sebutkan dan jelaskan, minimal tiga hadis, tentang Gender dengan menggunakan analisa hermenuetik yang Saudara ketahui?
tuliskan dan komentari otobigrafi dari salah satu pemikir atau ahli hadis di bawag ini:
Iman Syafi’i
Imam Ahmad bin Hambal
Imam Malik
Yusup Qardawi
M. Al-Gazali
Nurcholis Madjid
Fazlur Rahman
Syuhudi Ismail
Note:
- Jawablah empat dari lima pertanyaan di atas disertai argument jelas Saudara.
- Sertakan daftar pustaka tempat pengambilan kutipan yang Saudara dipakai.
- Dalam penilaian, Dosen tidak menerima hasil yang sama di antara mahasiswa, kalau sama tidak akan diberikan nilai maksimal.
Gunungsari, 10 Juni 2009
Athor Munawir Haris, M.S.I.
Minggu, 04 Januari 2009
Menepis Kekerasan Beragama dan Menyongsong Angin Pluralisime
Menepis Kekerasan Beragama dan Menyongsong Angin Pluralisime
Oleh: Munawir Haris
A. Mukadimah
Sejarah peradaban dunia adalah sejarah yang bergelimang dengan kekerasan, dan diakhiri konflik. Konflik yang ditimbulkan oleh satu peradaban seharusnya tidak terjadi pada wilayah keagamaan, -baik internal agama maupun lintas agama- yang kesemuanya di atas namakan Tuhan dan kitab suci, karana maenstrem-nya berbeda. Hal ini tidak hanya menimbulkan trauma di hati manusia, tetapi ia menyisakan dendam di hati masing-masing-masing pemeluk agama samapai hari ini.
Agama dibenturkan oleh umatnya dengan alasan bahwa berperang di jalan-Nya akan mendapatkan balasan setimpal dari Tuhan pula, yaitu surga-Nya sudah siap menanti mereka, para bidadari dengan riang gembira akan menyambutnya, para Malaikat bertepuk tangan kegirangan menyemput ke datangan mereka, dan gelar Sahid yang mereka sandang karena dianggap mati dalam perang suci (holly war).
Gejala kekerasan (voelence), kebidaban (barbarity), kekejaman (cruerly), dan segala bentuk tindankan yang melampui batas kemanusiaan (inhumanity) yang meuncul dalam kehidupan umat manusia pada hakikatnya telah tua, setua sejarah manusia itu sendiri. Demikian juga sebaliknya, fenomena kemanusiaan (humanity), kedamaian (peace), keamanan, (scurity), toleransi, kabajikan (benevolence), dan rasa kasih kayang atas nama sesama (kemanusiaan), juga telah tua, setua sejarah manusia mengenal kebudayaan, peradaban dan agama. Dalam Islam sendiri mengakui bahwa pembunuhan terjadi pertama kali adalah dilakukan oleh anak Nabi Adam As, Qabil, yang membunuh adik kandungnya sendiri Habil. Ini adalah sejarah pertama kali bergelimangnya darah di permukaan bumi oleh anak kandung Nabi Adam sendiri. Praktik-praktik kezaliman Fir’aun di Mesir Kuno terhadap rakyatnya yang tidak berdosa banyak dikenal dalam cerita-cerita keagamaan. Demikian pula pada era sekarang, di Mesir kelompok seperti Jihad Islam dan kelompok ekstimis lainnya telah membunuh Presiden Anwar Sadat dan Pejabat pemerintah lainnya, membunuh turis di Luxor, membakar Gereja dan membunuh orang kristen. Belum lagi hubungan Isra’il-Palestina, penggunaan bunuh diri meninggkat secara ekponensial selama intifada (kebangkitan) yang dimulai tahun 2000, dan fenomena mutahir paling menakutkan adalah bom bunuh diri atau serangan bunuh diri dapat dilihat pada serangan 11 September, terhadap World Trade Center dan Pentagon adalah kasusu-kasus kekerasan atas nama agama dan Tuhan.
Lebih jauh lagi orang-orang Yahudi di Israel yang membunuhi kaum Muslim yang tengah shalat di Masjid Hebron, orang-orang Hindu di India yang membakar Masjid Babri, orang-orang Islam di Mesir yang meneror dan membunuh para turis, atau di Banglades dan Iran yang menuntut hukuman mati terhadap novelis Taslima Nasreen atau Salman Rushdie, akar-akar (etnis), konflik berkepanjangan di Irlandia Utara dan bekas Yugoslavia, dan seterusnya, merupakan fenomena lainya.
Sejarah banyak mencatat, terjadinya perselisihan, pertikaan bahkan peperangan antaragama yang menodai kemanusiaan manusia itu sendiri. Pertentangan antar Katolik-Islam di Bosnia, antara Islam dan Hindu di India, antara Katolik dan Pronsetan di Irlandia utara, antara Budda dan Hindu di Serilangka, konflik Islam dan Kristen Maluku, konfilik Armenia-Azebrijan dan mungkin masih banyak lagi di tempat-tempat lain yang belum terekspos media yang sesungguhnya sangat memilukan hati nurani manusia yang paling dalam.
Pada umumnya sejumlah konflik antarumat bergama yang terjadi di berbagai penjuru dunia itu tercatat di antara tiga Agama Samet: Yahudi, Kristen dan Islam, memiliki frekuensi yang cukup tinggi, entah apa sebenarnya terjadi, padahal ketiga Agama tersebut pada dasarnya memiliki sumber dan corak yang sama, bahkan disebut-sebut berakar dari satu sumber yakni pada Nabi Ibrahim, hingga sering disebut sebagai “satu saudara“. Nabi Muhammad sendiri pernah menyatakan (diriwayatkan oleh Bukhari ) “bahwa para Nabi itu termasuk Musa dan Isa adalah saudara satu ayah namun beda Ibu”. Dengan demikian agama mereka pada dasarnya adalah satu, yaitu monotisme (tauhid), penegakan keadilan secara univesral.
Belum lagi tradisi internal agama-agama, selain memiliki ajaran yang diakui kebenaannya secara umum, bisa dan sering terjadi penyelewengan oleh umatnya sendiri sangat berpeluang mengundang konfiki yang berdarah-darah. Sederet tokoh yang telah melakukan itu; misalnya dalam sejarah agama-agama abad ke-20, kita bisa menyebut nama Mahatma Gandhi (Hindu), Martin Luther King Jr. (Kristen), Malcolm X (Islam), Ibu Theresa (Katolik), dan Dalai Lama (Budha) mengakitabkan hal yang serupa, menyebabkan konflik, kericuhan, kekerasan, dan akhirnya gendang peperangan terjadi. Belum lagi perbedaan mazhab di antara 4 mazhab yang tekenal, antara Sunni-Syi’ah juga ikut menorehkan sejarah kemanusiaan yang semuanya berakar dari pemahaman agama dan konsep perbedaan visi politik, melahirkan ribuan korban nyawa melayang.
Secara jujur harus diakui bahwasanya hubungan antaragama itu tidak selalu menampilkan wajah yang harmonis, santun, penuh kerukunan dan pengertian. Sebakiknya yang muncul adalah wajah konflik dan ketegangan, dan kekerasaan. Satu sisi juga kekerasan, konfik, gelak sosial lainnya, terjadi diinternal agama itu sendiri, menambah kesan bahwa orang beragama adalah orang yang berjiwa keras, kaku dan berdarah-darah.
Persoalan hubungan antarumat beragama dan internal umat beragama menjadi tema yang menarik, hal ini setidaknya dikarenakan dua hal; pertama, karena agama dianggap sesuatu yang vital dan berhubungan dengan sesuatu yang diyakini kebenarannya secara final (given for garanted), dan tidak boleh ditawar-tawar lagi, sementara dalam realitanya tidak hanya satu agama yang dipercayai manusia (ourselves), tetapi ada banyak agama, (other). Kedua, agama adalah sesuatu yang sekaral yang memberikan kedamaian dan kesejukan dalam menjakani hidup. Dengan kata lain agama sebagai insfirator dan way of live bagi pemeluknya. Sehingga ketika terjadi “benturan kepentingan” secara otomatis masing-masing pemeluk agama akan menjadikan kitab suci mereka sebagai kiblat, dan menfikan yang agama-agama lain (other). Ketiga, sikap yang ekslusif pemahaman beragama. Hal ini juga banyak memicu konflik yang selama ini terjadi di antara manusia. Ketika orang bersikap demikian bahwa yang ada adalah kita dan yang lain adalah salah, kafir, murtad, dan surga hanya milik dirinya dan kelompoknya.
De fackto menunjukkan, keragaman agama dan kepercayaan dalam kehidupan adalah kenyataan yang tidak mungkin dihindari. Berhadapan dengan kenyataan tersebut setiap orang dan umat beragama dituntut untuk mengambil sikap yang tepat dan benar. Maka tibul pertanyaan besar apakah agama merupakan biang keladi masalah di atas? Jika agama itu benar sebagaimana diyakini pemeluknya, mengapa agama itu tidak mempengaruhi pemeluknya, sehingga tidak timbul kekerasan dan konflik? Mengapa Tuhan menciptakan banyak agama? Apakah tidak lebih baik bagi Tuhan untuk menciptakan satu agama dan semua manusia mengikuti agama tersebut?. Kalau pun tidak demikian bagaimana cara terbaik untuk menjalin hubungan yang baik dan harmonis antar agama? Bagiamana seharusnya agama yang saya, kami, mereka anut, dipercayai kebenarannya dapat berintraksi dangan agama lain? cara dan pendekatan apa yang harus ditempuh, konfrontatif atau kooperatif, objektivitas atau subyektivitas atau intersubjektif atas teks agama?, temukan jawabannya di malakah ini.
B. Ambiguitas Agama ‘Boleh Jadi’ Penyebab Konflik dan Kekerasan
Disadari atau tidak, bahwa berbagai kemungkinan sumber atau akar kekerasan dapat disebutkan antara lain adalah, pengaruh iklaim, watak jahat dan distruktif dalam diri manusia, struktur yang jelek dan tidak adil, dan terakhir adalah Sara. Namun dari sekian banyak penyebab atau sumber kekerasan, sering terjadi di antara manusia yang berakhir dengan peperangan adalah kasus Sara. Maka Konflik itu seolah-olah membenarkan bahwa agama penuh dengan kekerasan. Agama penuh dengan wajah dendam, wajah perang, dan wajah anti damai. Apakah demikian adanya? Jika demikian sejarah peradaban manusia seakan-akan ikut membenarkan dalil Karl Marx yang terkenal dengan “agama adalah candu masyarakat”. Demikian juga dengan statemennya Nietzsche, seperti yang kutip oleh Tyler T. Roberts, “kisah orang suci (beragma), adalah bacaan paling abigu dalam eksistensi”.
Dengan meminjam teori Nietzsche, keambiguan agama sangat kental terlihat dalam realitas sehari-hari kehidupan beragama manusia. Ada beberapa penyebab yang dapat menyebabkan konflik antaragama antara lain; pertama, adanya truth claim (klaim kebenaran) dalam diri suatu agama. Klaim ini merupakan fondasi iman dan fondasi ajaran berdirinya suatu agama dan bersifat mutlak (absolut) dalam segalanya, sehingga merelatifkan yang lain. Padahal yang mutlah (absolute) itu hanya Tuhan, bukan manusia atau agama itu sendiri secara personal. Semua selain Tuhan adalah relatif sifatnya. Terjadinya truth claim ini menjadi bagain terpenting dalam memicu kekerasan dan menyulut peperangan. Kebenaran dalam agama adalah mutlak (absolute) dalam pemahaman manusia saja, tetapi menjadi tidak mutlak jika dihadapkan pada keabsolutan Tuhan. Seluruh jalan keselamatan yang diimani oleh pemeluknya dan yang termuat dalam teks kitab suci diyakini sebagai sumber keselamatan yang berasal langsung dari Tuhan, tidak ada konstruksi manusia di dalamnya. Oleh karena itu kebenaran itu tidak memerlukan kebenaran dari pihak agama lain.
Kedua, perbedaan penafsiran, paradigma dan pendekatan justru membuat agama menjadi tidak toleran. Ketika teks-teks kebenaran dari suatu agama dipahami dan diinterpretasikan secara kaku dan literal agama justru menjerumuskan dirinya sendiri ke dalam perilaku tidak toleran itu. Contoh sederhana adalah makna Jihad dalam persepsi sebagian umat orang Islam. Jihad secara bahasa berarti sunggung-sungguh, berjuang, mengelurkan segenap kemampuan yang dimiliki, kemampuan, daya upaya atau kesanggupan. Namun sering kali jihad dipahami secara literer berarti perang, sehingga dengan adanya legitimasi dari al-Qur'an maupun Hadis perang merupakan hal yang wajib bagi setiap orang yang beriman.
Ketiga, identifikasi “kita” dan “mereka” yang membutuhkan legitimasi terus-menerus agar tidak usang terus dikembangkan lewat narasi besar berupa dasar-dasar keimanan, kisah-kisah dan ritual keagamaan, keterlibatan dalam upacara-upacara keagamaan tertentu, dan seterusnya. Narasi ini seringkali diperkokoh oleh bentuk-bentuk ekspresi keagamaan yang amat kasat mata seperti kekhasan pakaian, arsitektur, musik dan lainnya. Semua ini hanya menambah kekokohan identitas diri dan kelompok di atas, sekaligus memperteguh pembedaan di antara banyak orang dan kelompok manusia beriman. Dalam situasi yang amat genting, narasi seperti ini akan berkembang makin tajam, mengarah kepada askalasi konflik. Kelompok sendiri, “kita,” disucikan dan makin disucikan, sedang kelompok lain, “mereka,” dilecehken dan disetankan.
Keempat, di satu sisi agama identik dengan kedamian dan keadilan, memberikan kesejukan dan rasa aman bagi manusia yang percaya kepada ajaran Tuhan, namun di satu sisi ia mengancam dengan neraka bagi mereka yang tidak mempercayai dan melaksanan ajaran-ajaran yang ada di dalamnya. Hal semacam menjadi delima bagi manusia, sehingga menuntut untuk diimani dan dilaksanakan segala macam perintahnya dan meninggalkan segala macam larangannya. Hemat penulis, hampir semua agama mempercayai adanya dokterin seperti itu, sehingga doktirin itu mempompa dan membakar umatnya untuk memaksan diri menyebarkan agama kepada orang lain agar diyakini dan ikut bergabung dengan keyakinannya, melalui da’wah.
C. Menuju Umat wasattan untuk Perdamaian Dunia
Setiap orang yakin akan kebenaran agamanya, adalah sesuatu yang wajar dan niscaya, karena di sanalah inti dan pokok dari keberagamaan. Tetapi kemudian keyakinan akan kebenaran agamanya tersebut membuatnya menegasikan kepercayaan orang lain dan memvonis yang lain itu sebagai yang pasti salah adalah sikap yang patut di pertanyakan kembali. Apalagi jika vonis salah tersebut kemudian digeneralisasikan dengan menganggap salah juga segala hal yang berasal dari si kafir tersebut, ini adalah tindakan ekstim dan ekslusif yang harus dijahui.
Pada umumnya ada tiga paragidma dasar manusia dalam beragama seperti yang dikatakan oleh Raimodo Pannikar, yaitu:
1. Eklusifime, yaitu pandangan dan sikap yang mengklaim kebenaran dan keselamatan hanya pada agama yang dianutnya sendiri yang lain, tidak ada jalan untuk selamat dan masuk sorga.
2. Inkulisfisme, yaitu pandangan dan sikap yang mengklaim bahwa agama yang dianutnya memiliki kebenaran dan keselamatan yang lebih sempurna, jika dibandingkan dengan agama lainya. Artinya dalam padangan ini agama lain masih ada ruang untuk selamat, untuk masuk sorga dan seterusnya, dengan beberapa syarat-syarat tertentu.
3. Paralisme, yaitu satu pandangan yang menganggap bahwa sumua kepercayaan agama yang berbeda itu meskipun terjadi lika-liku dan kebersimpangsiuran, sesungguhnya mempunyai kesejajaran dan kesamaan yang nantinya akan bertemu pada penziarahan manusia.
Semenrtara W. Tilly menambahkan bahwa empat teori keagamaan yaitu; ekslusifisme inklusifisme, pluralisme dan partikularisme dari penelitaian Tilly mengemukakan bahwa semula teori-reori dasar ini dilontarkan oleh para sarjana agama untuk menjelaskan sikap dan pandangan umat Kristen tentang tema keselamatan dan kebenaran. Eklusifisme dan inklusifisme yang di kemukakan oleh Tilly mencakup pengertian seperti yang di ungkapan di atas, akan tetapi pluralismenya mengandang penjelasan yang berbeda. Dalam pemahamannya, ia menjelaskan; pluralisme adalah pandangan dan sikap yang mengkliam bahwa terdapat banyak jalam menuju yang satu yang menujukkan dirinya dengan banyak cara, sehingga setiap orang hendaknya menuruti jalannya masing-masing sebaik mungkin agar selamat; artinya tidak ada kepastiaan yang mutlak. Kemudian teori keempat yang dikemukan oleh Tilly adalah partikularisme, yaitu suatu pandangan dan sikap yang menganggap bahwa setiap agama memiliki substansi yang berbeda-beda dan cendrung mendukung klaim-klaim teologis yang santun. Kaum partikularis memandang bahwa memastikan siapakah yang benar dan selamat merupakan “tindakan lancang”, karena mengkliam paling mengetahui, pada akhirnya Tuhan mengatur segala sesuatu. Sementara Cobb merasa tidak puas dengan teori-teori di atas lalu menggagas sautu teori yang disebut dengan teologi transpormatif
Di era globalisasi saat ini, umat beragama dihadapkan kepada serangkaian tantangan baru yang dengan apa yang pernah dialami sebelumnya. Maka, pluralisme agama, konflik internal atau antarkeagamaan adalah fenomena nyata. Dalam realitas sosial kemasyarakatan tidak hanya ada self, tetapi ada the ather yang harus diakui eksistensinya. Dalam rangka mencipatkan suasana yang harmonis dan dinamis, perlunya ada pemahaman yang komprhensif dan universal tentang esensi ajaran agama sendiri, agama orang lainnya.
Dalam Islam sendiri, inti agama yang benar adalah sikap pasrah kepada Allah, Tuhan yang Maha Esa, pencipta seluruh langit dan bumi. Tanpa sikap itu hemat Cak Nur, suatu keyakinan keagamaan akan tidak memiliki kesejatian. Agama yang benar di sisi Tuhan Yang Maha Esa ialah sikap pasrah yang tulus kepada-Nya. Dalam al-Qur'an sangat mengajurkan penyerahan total kepada-Nya dan tidak ada tempat selain penyerahan kepada Tuhan. Penyerahan adalah sikap batin dan hal ini bersifat sangat personal, atau dengan bahasa lain, hanya orang yang bersangkutan sendiri saja dan Allah yang tau persis apakah ia secara sejati pasrah kepada Allah (muslim), atau tidak. Atau dengan meminjam bahasanya Hasan Hanfi, objektifitas akan menjadi kuat melalui inter-subjektifitas ketimbang tenggelam dalam pemahaman objektivisme.
Islam sebagaimana namanya adalah terbentuk dari kata yang sama dengan salam, yang berarti perdamaian, dengan kata lain Islam adalah agama damai dan penuh kedamaian. Maka ketika Islam sudah diyakini dan dipeluk sebagai sebuah aksi, dan model hidup, tunggal, jamak, laki-laki atau wanita ia akan melahirkan sikap yang santun dan damai. Demikian juga as-salam merupakan bagian dari nama Tuhan yang dianggap sebagai kode universal dari etika perdamaian, dan karenanya, menurut Hasan Hanafi, merupkan bagian dari tingkah laku manusia baik sebagai individu maupun sebagai komunitas.
Pluralitas keberagamaan manusia adalah realitas kehidupan yang tidak bisa dihindari. Terlebih saat sekarang ini era moderenitas segala sesuatu berubah secara cepat dan intsan. Dan tidak suatu kelompok maupun Negara yang bisa menolak atau mengentikannya. Pluralitas keberagamaan ini merupakan tantangan khusus yang di hadapi oleh agama-agama dewasa ini. Setiap agama muncul dalam lingkungan yang plural dan membentuk dirinya sebagai tanggapan pluralitas tersebut. Ketegangan terkadang mewarnai hubungan antara pemeluk agama yang satu dengan yang lain. Dalam kaitan ini sikap yang diambil para pemeluk agama dalam merespon realitas pluralitas agama memang tidaklah seragam dan seide, sesuai dengan cara pandang terhadap realitas tersebut dan pemahaman atas dasar-dasar atau sumber dari keyakinan yang diantutnya. Dan tidak jarang sikap-sikap tersebut bertentangan, bahkan sikap pemeluk agama tertentu juga berpariasi, meskipun sikap yang berbeda itu pada dasarnya, berdasar pada mencari legitimasi dari sumber suci yang sama.
Umat Islam, misalnya dalam menyikapi masalah ini tentu saja merujuk kepada al-Quran dan al-Sunnah sebagai sumber pokok ajaran Islam. Namun demikian , meskipun sama-sama berpegang pada al-Quran dan Hadis, sikap dan pemahaman atau corak fikir terhadap realitas pluralitas agama sangat beragam. Hal ini dapat di saksikan melalui beragamnya penafsiran atas nash-nash al-Quran yang berkaitan dengan pluralitas agama. Bahkan satu penafsiran terkadang bertentangan dengan penafsrian lainnya. Menurut identifikasi Alwi Syhab, beberapa kitab tafsir al-Quran seperti yang ditulis oleh Syaid Qutub (fi zdilalil Quran Wahbah Zuhaili (al-Tafsri al-Manir), Syaid Hawwa (al-asas fi Al-Tafasir), Mutawalli Sa'rawy (Tafir al-Sa'rawy) dan Muhmmad al-Balaghi –Penafsir syi'ah ('ala al Rahman fi' Tafsir al-Quran) adalah contoh penasiran Quran bercorak eklusif, dan sangat berbeda dari yang dilakukan oleh mufassir yang bercorak inkusif, seperti Muhammad Abduh dan Rasih Rido' (Tafsrir al-Manar) al-Taba'ta'i (al-Mizan) dan Muhammad Jawwad al-Mughiyah (Tafsir al-Mubin), semenrara Fazlur Rahman juga digolongkan sebagai pemikir yang bercorak pluralis
Maka dalam rangka untuk bersikap secara sehat dan dinamis diperlukan satu sikat yang akomodatif, terbuka, santun dan berwawasan tinggi, perlu dikedepankan dengan essi-issi yang perlu direnungkan bersama dalam keragaman beragama.
1. Betapun setiap orang terkait demensi dengan historisitas kehidupannya. Setiap orang menghayati dan memahami Agamanya hanya sejauh kemampuan dan pengalamannya. Pemahamanan dan penghayatan seorang anak kecil, seorang remaja, seorang pendang, seorang mahasiswa, seorang ibu, seorang Kiay dan seterusnya, terhadap Agamanya, Tuhannya, Nabinya, Kitab sucinya, bisa dipastikan berbeda-beda, meskipun sumbernya sama. Pemahaman di antra mereka tersebut yang dapat dikatakan paling berar? Dengan kata lain kondisi histories masing-masing orang pada ahirnya sangat menentukan kepercayaan apa dan keberagamaan seperti apa yang akan di jalaninya. Menurut John H Hick melului bukunya Philosofi of Riligion benturan yang terjadi itu sebenarnya bukanlah benturan antar Agama atau antar kebenaran Agama itu sendiri, tetapi lebih merupakan benturan pemahaman terhadap Agama masing-masing. Pemahaman terhadap Agama yang pada ahirnya menjadi basis bagi perilaku budaya pemeluk Agama inilah yang sering berbenturan. Jadi mengatakan satu Agama itu salah itu benar tidaklah tepat, yang lebih tepat apakah satu budaya itu salah atau benar jika dikaitkan dengan nilai atau norma yang menjadi landasannya. Pandangan-pandangan kerangka pakir semacam ini memunculkan ide-ide mengenai esoteris-esoteris juga Normativitas-Historisitas dalam keberagamaan dan dapat ditelaah lebih jauh antra lain dalam Tulisan-tulisan Tyinbee, Fritjoof Schon, Paul Kniter, Huten Smith, juga bisa didapati dalam karya-karya Seyyed Hossen Nasr.
2. Pluralitas Agama itu adalah satu realitas, maka pertanyaan-pertanyaan yang harus di ajaukan, adalah dapatkah realitas keberagamaan Agama dan kepercayaan itu di hindari atau di satukan? Akankah menyatukan keragaman tersebut dan membuat semua orang tunduk dan patuh pada satu Agama? Kalau mungkin bagaimana caranya? Kalau tidak mungkin lantas keberagamaan itu disikapi seperti apa? Apakah setiap orang yang memiliki keyakinan berbeda dengan milikku atau milik mereka dilenyapkan saja dipermukaan bumi ini,?. Jelasnya Pluralitas Agama itu adalah satu keniscayaan yang tidak bisa dihindari, maka langkah paling Urgen yang dibutuhkan adalah bagaimana mengelola pluralitas tersebut agar menjadi ladang harmoni dan sumber bagi penguatan manusia, bukannya mengupayakan dan mencita-citakan agar setiap orang “bersatu Agama”.
3. Betapapun setiap orang memiliki keyakinan dan Agama yang berbeda-beda pada dasarnya mereka adalah mahluk yang sama, memiliki kebuTuhan yang sama, yang mengemban hak dan kewajiban kemanusiaan yang sama. Kalau seseorang dianggap salah, dan dianggap sebagai musuh dalam totalitas kehidupannya hanya karena Agama yang beda, maka yang sebenarnya yang terjadi adalah “suatu bunuh diri kemanusiaan“ seorang ibu menyusui anaknya, seorang bapak yang menyekolahkan putranya, seorang mahasiswa yang sedang belajar demi masa depannya dan seterusnya, masihkah mereka dalam katagori musuh, ketika menjalankan semua itu hanya karena Agama mereka berbeda.
4. Betapapun terdapat perbedaan yang prinsipil antar Agama-Agama, sebetulnya masih banyak persamaan-persamaan dan kesatuan visi dan misi di antara mereka. Orang boleh mengklaim bahwa Tuhanku, Nabiku, kitab suciku berbeda sama sekali dengan petujuk Tuhanmu, tutunan Nabimu, bimbingan kitab sucimu, hal ini perlu dipertimbangkan kembali. Agama mana? Tuhan yang mana? Nabi siapa dan kitab suci apa? yang tidak mengajarkan kasih sayang, kebajikan, kesuciaan, kedamaian, keadilan dan seterusnya dari nilai-nilai positif lainya. Secara sosologis justru manusia satu dengan manusia yang lain, bangsa yang satu dengan bangsa yang lain, umat yang satu dengan umat yang lain, saling membutuhkan untuk memenuhi kebuTuhan hidupnya. Manusia bukan mahluk individu yang harus memisahkan diri dari masyarakat banyak.
Kita telah mengetahui bahwa hidup manusia mempunyai tujuan ahir yaitu sesuatu yang baik dan tinggi. Kebahagian adalah keinginan yang terpuaskan, karena disadari memiliki sesuatu yang baik. Kepuasan jasmani semata, bukanlah kebagaiaan, itu hanyalah bagian dari intrumen manusia. Kebahagian tidak sama dengan kegembiraan atau kesenangan. Kebahagian adalah suatu keadaan yang berlangsung (a lasting condition), dan bukanlah sebuah perasaan atau emosi yang berlalu.
Secara psikoligis tidaklah mungkin menghendaki atau mengingini penderitaan atau kesengsaran dalam hidupnya. Semua orang ingin hidupnya bahagia, aman, tentram, dan korto raharjo. Orang yang menginginkan hidupnya menderita dan sengsara adalah orang yang jiwanya tidak sehat. Sudah barang tentu di dalam kehidupan beragama yang sesungguhnya terdiri dari berbagai Multireligi dan multicultural akan terjadi benturan-benturan keinginan dan kecendrungan masing-masing orang, atau organisasi, yang semua itu setiap saat akan memicu kekerasan, pertentangan, perpecahan, bahkan pertumpahan darah. Hal inilah yang kita sama-sama tidak inginkan terjadinya. Oleh sebab itu diperluakan kesadaran semua pihak untuk menahan diri, selalu introspeksi diri, dan yang paling penting kita kembali keajaran Agama masing-masing sesuai dengan pemahaman yang baik dan benar seperti yang dijalsakan di atas.
Salah satu hal yang perlu dipertimbangkan dalam rangka meminimalisir segala sesuatu yang terkait erat dengan konflik antar umat beragama dengan menggunakan Hermeneutiaka ala Gadamer. Menurutnya penafsiran kitab suci disesuaikan dengan empat macam seni bahasa yang yang dia rumuskan pertama adalah Bildung (calture). Teks kitab suci harus berintraksi atau berdialoh dengan nilai-nilai budaya dimana sebuah teks itu ada. Kedua adalah sensus Coommunis, yang artinya mempunyai petimbangan peraksis yang baik, ketiga, judgment hampir sama dengan kedua. dan keempat, adalah Taste yaitu keseimbangan antara insting panca indra dengan intelekual.
Pemerintah Indonsia berusaha melakukan segala upaya untuk implementasiakan petujuk-petujuk dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), yang secara lebih konkrit dan ralaitas. GBHN menyatakan bahwa pembangunan kehidupan keagamaan harus di laksanakan sedemikian rupa untuk meningkatkan kerukunan beragama, meningkatkan fasilitas-fasilitas yang butuhkan kehidupan keagamaan dan membangum pendidikan Agama di sekolah-sekolah pada semua tingkat. Perlu dicatat bahwa dalam hal ini Departemen Agama mengembangkan tiga kerukunan ummat beragama; 1) kerukunan intern umat beragam, 2) kerukunan antar-umat beragama, 3) kerukunan antar umat beragama dan pemerintah.
Penyebaran Agama tidak dilarang oleh pemerintah, selama tidak bertentangan dengan hukum yang ada. Bahkan sebenarnya pemerintah dalam hal ini menganjurkan kegiatan tersebut sepanjang hal ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan masing-masing pemeluk Agama. Demikian juga Pemerintah mendirikan WMAUB (wadah musyawarah antar umat beragama), tahun 1980, sebagai upaya membangun hubungan yang baik antar umat beragama yang berbeda dengan pemerintah. Demikian, juga pemerintah daerah mendirikan forum-forum serupa, di tingkat Propensi dan di hampir selurah kota-kota besar, untuk misi dan tujuan yang sama pula.
Dalam hal ini pluralisme haruslah dipahami bukan dengan suatu absolutisme (mutlak-mutlakan) dalam pemahaman tentang kebenaran dalam agama. Memang, tidak semua agama itu sama. Agama-agama itu berbeda-beda. Pluralisme juga bukan dipahami dengan bahasa keterpisahan (fragmentasi, segregasi), yang justru akan menghidupkan fanatisme sempit. Tetapi pluralisme haruslah dipahami sebagai suatu keterikatan perbedaan dalam suatu keadaban. Bahwa perbedaan adalah suatu anugerah dan pemahaman terhadap perbedaan yang menimbulkan keterikatan sebagai umat manusia yang beradab-lah yang menjadi faktor utama dalam pluralisme.
D. Sebuah Refleksi
Tuhan yang Maha Esa itu sempurna dengan sesempurna-sempurnanya, sedangkan manusia, tidak sempurna alias lemah dan terbatas. Perbedaan yang terjadi di antara agama-agama yang ada di bumi adalah bentuk dari keterbatasan manusia dalam memahami dan mengerti kemahasempurnaan Tuhan. Perbedaan itu justru menandai betapa kaya kesempurnaan dan kepenuhan Tuhan yang tidak sepenuhnya dipahami manusia. Terjadinya kekerasan, konflik yang berkepanjangan antar manusia adalah salah satu dari kelemahan memahami sesuatu yang maha transendental itu. Maka pendekatan yang paling efektif untuk mereda konflik itu adalah pendekatan intersubjektif-open main dalam beragama. Dengan pendekatan ini akan melahirkan manusia yang pluralis yang tidak jatuh kepada nihilisme.
Pluralisme keberagamaan adalah suatu bentuk pengakuan akan keterbatasan manusia dalam memahami dan menangkap kemahasempurnaan Tuhan. Keterbatasan ini tentunya tidak mengurangi konsep keagamaan yang menegaskan kebenaran suatu agama sebagai jalan keselamatan bagi pemeluk-pemeluknya. Di lain sisi, manusia tidak dapat menggunakan keabsolutan dalam pemahamannya dalam memahami keabsolutan Tuhan. Dalam diri manusia tidak ada yang absolute, hanya Tuhan itu maha absolut, dan keabsolutan itu tidak bisa diklaim hanya dapat dipahami oleh bahasa suatu agama tertentu. Pemahaman manusia tidak akan mampu menembus kemahasempurnaan dan kemahaabsolutan Tuhan. Manusia hanya mampu berikhtiar melalui jalan keselamatan yang telah diwahyukan Tuhan dengan jalan yang berbeda terhadap tiap manusia yang ada dimuka bumi ini.
Dimasa modern saat sekarang ini, agama semakin ditutut mampu memecahkan berbagai macam masalah yang muncul di tengah-tengah umat, dan merupakan tugas atau amanah dari Allah kepada para cendikia muslim untuk bagaimana bisa menangkap spirit Al-Quran secara utuh dan komprehensip. Dengan uraian di atas yang ideal harus dikedepankan, maka beberapa kesimpulan dapat dikatakan, adalah : pertama, jaminan kebenaran seseorang pemeluk agama bukan atas status atau identitas kepemelukannya dalam agama-agama tertentu , tetapi pada penyerahan dirinya secara total kepada Tuhan dan pembuktian melalui amal-amal baik. Dengan memenuhi syarat-syarat tersebut, setiap pemeluk agama akan memperoleh keselamatan. Kedua klaim-klaim ekslusif tentang kebenaran agama muncul dari dua sebab antara lain: (a) kurangnya pengetahuan pemeluk agama atas agama yang dipeluknya. Artinya klaim ekslusif tidak mucul jika pemeluk agama memiliki pengetahuan yang mendalam tentang intisari agama, yaitu penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan. (b) berbahnya agama sejati, menjadi "agama golongan" tertentu. Agama golongan inilah yang terlalu melihat kedalam diri, inword looking, dan tidak sudi memandang adanaya kebenaran pada agama lain, outward looking. Bila seseorang atau kelompok pemeluk agama telah berperilaku demikian, maka dia atau mereka telah menjadikan agama yang semula sejati, menjadi agama golongan. Hal ini bisa mucul dalam komunitas agama mana saja.
Hidup memang penuh dinamika, apalagi dalam dimensi sosial kemasyarakatannya, termasuk dalam wilayah antar umat beragama. Ketegangan dan kelegaan, kesulitan dan kemudahan, kerukunan dan konfik semuanya datang silih berganti. Namun semua konflik yang berdarah-darah itu, yang terjadi dalam wilayah kehidupan antar dan inter beragama, menujukan adanya bentuk konflik tidak sehat, karena manusia tidak hanya gagal mengatasinya dengan jalan kreatif, dan tanpa kekerasan, tetapi bahkan sering kali mengulang konflik yang sama dengan menimbulkan korban baik harta benda maupun nyawa yang tak terhitung jumlahnya.
Melihat paparan dan uraian di atas, agaknya tidak berlebihan menyebut bahwasanya kunci dan jalan keluar pertama dari berbagai konflik antar Agama yang berdarah-darah dan memilukan tersebut adalah:
1. Kesediaan untuk membuka diri dan membuka mata terhadap pluralitas untuk selanjutnya mampu menempatkan diri secara prorprsional ditengah masing-masing umat.
2. Membuang jauh jauh truth klaim dalam berintraksi dengan Agama dan kepercayaan lain, sehingga mampu melihat orang dari luar dan dalamnya mereka.
3. Membuang jauh-jauh prasangka-prasangka negatip lainnya, sehingga ia melihat semua orang, semua agama ingin mencapai hidup sebagaimana dirinya, aman, tentram, dan sejatra selamat dunia dan ahirat.
Sebagai catatan ahair dari tulisan ini, agaknya menarik untuk melihat analisa Farid Esack, terhadap ayat al-Quran yang membahas menenai hubungan antar Agama ini, yaitu surat al-Maidah Q.S 5 : 48 , dalam ayat tersebut dinyatakan, bahwa beragam jalan dan Agama yang ada itu, adalah kehendak Allah, agar manusia saling berlomba dalam kebaikan. Dengan melihat kontek perlombaan itu, menurut Farid Esack, menyebutkan ada empat implikasi yang harus disadari oleh setiap umat beragama; 1) kebajikan yang diakaui dan diberi pahala itu, bukan monopuli dari satu pihak yang berlomba. 2 ) juri dalam hal ini adalah Tuhan harus berada diluar kepentingan-kepentingan sempit para peseta lomba. 3) klaim bahwasanya dia lebih dekat dengan juri atau juri lebih sayang kepadanya, tidak ada gunnya bagi peserta lomba, bahkan bisa jadi merugikan dirinya sendiri. 4) konpetisi yang adil itu, tidak dapat diketahui hasilnya sebelum lomba berahir.
Selamat dan raih Menjadi Umat yang Pluralis untuk Meraih Kemenangan
DAFTAR PUSTAKA
CD Mausu’ah (Kumpulan Hadis-hadis Nabi ).
Dawam Rahadjo, Ensiklopedi Al-Qur'an, Tafsir Saosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, (Jakarta : Paramadina, 2002).
Djoko Suryo, dkk. Mengungkap Gejala Kekerasan Dalam Sejarah Manusia, (Yogyakarta : PP IRM, The Asian Fondetion Dan Pustaka Pelajar, 2000).
Dr. Tammizi Tahir Menuju Ummatan Wasatan, Kerukunan Baragama Di Indonesia, (Jakarta : PPIM 1998).
Dr. W.Posepoprodjo, L PH. SS, Filsafat Moral, (Bandung : Remaja Karya, 1988).
Fahrudin Faiz, Hubungan Islam Kristen “Jurnal” Religi Vol 1 No 1 Januari- Juni 2002.
Farid Esack , Librition And Pluralisme , (Oxfod : One Word ,1998).
Goerge B.Gres dan Benjain J. Hubbard, Tiga Agama Satu Tuhan, (Bandung : Mizan, 1998).
Hasan Hanafi, Cakarawala Baru Peradaban Global; Revolusi Islam Untuk Globalisme, Pluralisme Dan Egaliter Anata Peradaban, terj. Muhammad Saiful Anam Abudullah. (Yogyakarta : IRCiSoD, 2003),
Hasan Hanafi, dkk, Persiapan Masyarakat Dunia Untuk Hidup Secara Damai, Dalam Buku “Islam Dan Perdamaian Global”, (Yogyakarta : Madyan press, IAIN Makasar, Dan The Asia Fondetion, 2002).
Ihsan Ali-Fauzi, dkk. Ambivalensi Sebagai Peluang: Agama, Kekerasan, Dan Upaya Perdamaian, (Yogyakarta PP IRM, The Asian Fondetion Dan Pustaka Pelajar, 2000).
Jalaluddin Rahmat, Islam Aktual; Refleksi-Sosial Seseorang Cendikiawan Muslim, (Bandung : Mizan 2004).
John L. Esposito, Jawaban Atas Gejolak Masyarkat Post-Moredern; Islam Aktul, terj, Norma Arbi’a, Juli Setiawan, (Depok : Inisiasi Press, 2005).
Jonh H. Hicks, Philosopi Of Religion, ( New Jerserey : Prentice Hall, 1990).
Josep Bleicher, Hermeneutika Kontemporer, Terj. Ahmad Norma Permata (Jogyakata Pajar Baru 2003).
Marsana Windu, dkk. Dimensi Kekerasan; Tinjauan Teoritis Atas Fenomena Kekerasan, (Yogyakarta : PP IRM, The Asian Fondetion Dan Pustaka Pelajar, 2000).
Nurcholis Madjid, Islam Doktin Dan Peradaban; Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemausiaan, Dan Kemodernan, (Jakarta : Parmadina, 1991).
Raimundo Panikker, Diolog Intera Religion, terj. Kelompok Studi Filsafat Dryakara (Jogyakarta : Kansius, 1994).
Richard, Interpetion Theority In Scelemecher, Dilthay, Heideger And Gadamer, (Epanshans Northertern : Universiti Press, 1969).
Terence W. Tilly, Posmodern Theology and Religion Diversy, (Marykollm New York : Obris Book 1996),
Tyler T. Roberts, Spiritualitas Pasreligius; Eksplorasi Hermeneutis Transfigurasi Agama Dalam Praksis Filsafat Nietzsche, Terj. Katarmina, (Jogyakarta : Qalam, 2002).
Oleh: Munawir Haris
A. Mukadimah
Sejarah peradaban dunia adalah sejarah yang bergelimang dengan kekerasan, dan diakhiri konflik. Konflik yang ditimbulkan oleh satu peradaban seharusnya tidak terjadi pada wilayah keagamaan, -baik internal agama maupun lintas agama- yang kesemuanya di atas namakan Tuhan dan kitab suci, karana maenstrem-nya berbeda. Hal ini tidak hanya menimbulkan trauma di hati manusia, tetapi ia menyisakan dendam di hati masing-masing-masing pemeluk agama samapai hari ini.
Agama dibenturkan oleh umatnya dengan alasan bahwa berperang di jalan-Nya akan mendapatkan balasan setimpal dari Tuhan pula, yaitu surga-Nya sudah siap menanti mereka, para bidadari dengan riang gembira akan menyambutnya, para Malaikat bertepuk tangan kegirangan menyemput ke datangan mereka, dan gelar Sahid yang mereka sandang karena dianggap mati dalam perang suci (holly war).
Gejala kekerasan (voelence), kebidaban (barbarity), kekejaman (cruerly), dan segala bentuk tindankan yang melampui batas kemanusiaan (inhumanity) yang meuncul dalam kehidupan umat manusia pada hakikatnya telah tua, setua sejarah manusia itu sendiri. Demikian juga sebaliknya, fenomena kemanusiaan (humanity), kedamaian (peace), keamanan, (scurity), toleransi, kabajikan (benevolence), dan rasa kasih kayang atas nama sesama (kemanusiaan), juga telah tua, setua sejarah manusia mengenal kebudayaan, peradaban dan agama. Dalam Islam sendiri mengakui bahwa pembunuhan terjadi pertama kali adalah dilakukan oleh anak Nabi Adam As, Qabil, yang membunuh adik kandungnya sendiri Habil. Ini adalah sejarah pertama kali bergelimangnya darah di permukaan bumi oleh anak kandung Nabi Adam sendiri. Praktik-praktik kezaliman Fir’aun di Mesir Kuno terhadap rakyatnya yang tidak berdosa banyak dikenal dalam cerita-cerita keagamaan. Demikian pula pada era sekarang, di Mesir kelompok seperti Jihad Islam dan kelompok ekstimis lainnya telah membunuh Presiden Anwar Sadat dan Pejabat pemerintah lainnya, membunuh turis di Luxor, membakar Gereja dan membunuh orang kristen. Belum lagi hubungan Isra’il-Palestina, penggunaan bunuh diri meninggkat secara ekponensial selama intifada (kebangkitan) yang dimulai tahun 2000, dan fenomena mutahir paling menakutkan adalah bom bunuh diri atau serangan bunuh diri dapat dilihat pada serangan 11 September, terhadap World Trade Center dan Pentagon adalah kasusu-kasus kekerasan atas nama agama dan Tuhan.
Lebih jauh lagi orang-orang Yahudi di Israel yang membunuhi kaum Muslim yang tengah shalat di Masjid Hebron, orang-orang Hindu di India yang membakar Masjid Babri, orang-orang Islam di Mesir yang meneror dan membunuh para turis, atau di Banglades dan Iran yang menuntut hukuman mati terhadap novelis Taslima Nasreen atau Salman Rushdie, akar-akar (etnis), konflik berkepanjangan di Irlandia Utara dan bekas Yugoslavia, dan seterusnya, merupakan fenomena lainya.
Sejarah banyak mencatat, terjadinya perselisihan, pertikaan bahkan peperangan antaragama yang menodai kemanusiaan manusia itu sendiri. Pertentangan antar Katolik-Islam di Bosnia, antara Islam dan Hindu di India, antara Katolik dan Pronsetan di Irlandia utara, antara Budda dan Hindu di Serilangka, konflik Islam dan Kristen Maluku, konfilik Armenia-Azebrijan dan mungkin masih banyak lagi di tempat-tempat lain yang belum terekspos media yang sesungguhnya sangat memilukan hati nurani manusia yang paling dalam.
Pada umumnya sejumlah konflik antarumat bergama yang terjadi di berbagai penjuru dunia itu tercatat di antara tiga Agama Samet: Yahudi, Kristen dan Islam, memiliki frekuensi yang cukup tinggi, entah apa sebenarnya terjadi, padahal ketiga Agama tersebut pada dasarnya memiliki sumber dan corak yang sama, bahkan disebut-sebut berakar dari satu sumber yakni pada Nabi Ibrahim, hingga sering disebut sebagai “satu saudara“. Nabi Muhammad sendiri pernah menyatakan (diriwayatkan oleh Bukhari ) “bahwa para Nabi itu termasuk Musa dan Isa adalah saudara satu ayah namun beda Ibu”. Dengan demikian agama mereka pada dasarnya adalah satu, yaitu monotisme (tauhid), penegakan keadilan secara univesral.
Belum lagi tradisi internal agama-agama, selain memiliki ajaran yang diakui kebenaannya secara umum, bisa dan sering terjadi penyelewengan oleh umatnya sendiri sangat berpeluang mengundang konfiki yang berdarah-darah. Sederet tokoh yang telah melakukan itu; misalnya dalam sejarah agama-agama abad ke-20, kita bisa menyebut nama Mahatma Gandhi (Hindu), Martin Luther King Jr. (Kristen), Malcolm X (Islam), Ibu Theresa (Katolik), dan Dalai Lama (Budha) mengakitabkan hal yang serupa, menyebabkan konflik, kericuhan, kekerasan, dan akhirnya gendang peperangan terjadi. Belum lagi perbedaan mazhab di antara 4 mazhab yang tekenal, antara Sunni-Syi’ah juga ikut menorehkan sejarah kemanusiaan yang semuanya berakar dari pemahaman agama dan konsep perbedaan visi politik, melahirkan ribuan korban nyawa melayang.
Secara jujur harus diakui bahwasanya hubungan antaragama itu tidak selalu menampilkan wajah yang harmonis, santun, penuh kerukunan dan pengertian. Sebakiknya yang muncul adalah wajah konflik dan ketegangan, dan kekerasaan. Satu sisi juga kekerasan, konfik, gelak sosial lainnya, terjadi diinternal agama itu sendiri, menambah kesan bahwa orang beragama adalah orang yang berjiwa keras, kaku dan berdarah-darah.
Persoalan hubungan antarumat beragama dan internal umat beragama menjadi tema yang menarik, hal ini setidaknya dikarenakan dua hal; pertama, karena agama dianggap sesuatu yang vital dan berhubungan dengan sesuatu yang diyakini kebenarannya secara final (given for garanted), dan tidak boleh ditawar-tawar lagi, sementara dalam realitanya tidak hanya satu agama yang dipercayai manusia (ourselves), tetapi ada banyak agama, (other). Kedua, agama adalah sesuatu yang sekaral yang memberikan kedamaian dan kesejukan dalam menjakani hidup. Dengan kata lain agama sebagai insfirator dan way of live bagi pemeluknya. Sehingga ketika terjadi “benturan kepentingan” secara otomatis masing-masing pemeluk agama akan menjadikan kitab suci mereka sebagai kiblat, dan menfikan yang agama-agama lain (other). Ketiga, sikap yang ekslusif pemahaman beragama. Hal ini juga banyak memicu konflik yang selama ini terjadi di antara manusia. Ketika orang bersikap demikian bahwa yang ada adalah kita dan yang lain adalah salah, kafir, murtad, dan surga hanya milik dirinya dan kelompoknya.
De fackto menunjukkan, keragaman agama dan kepercayaan dalam kehidupan adalah kenyataan yang tidak mungkin dihindari. Berhadapan dengan kenyataan tersebut setiap orang dan umat beragama dituntut untuk mengambil sikap yang tepat dan benar. Maka tibul pertanyaan besar apakah agama merupakan biang keladi masalah di atas? Jika agama itu benar sebagaimana diyakini pemeluknya, mengapa agama itu tidak mempengaruhi pemeluknya, sehingga tidak timbul kekerasan dan konflik? Mengapa Tuhan menciptakan banyak agama? Apakah tidak lebih baik bagi Tuhan untuk menciptakan satu agama dan semua manusia mengikuti agama tersebut?. Kalau pun tidak demikian bagaimana cara terbaik untuk menjalin hubungan yang baik dan harmonis antar agama? Bagiamana seharusnya agama yang saya, kami, mereka anut, dipercayai kebenarannya dapat berintraksi dangan agama lain? cara dan pendekatan apa yang harus ditempuh, konfrontatif atau kooperatif, objektivitas atau subyektivitas atau intersubjektif atas teks agama?, temukan jawabannya di malakah ini.
B. Ambiguitas Agama ‘Boleh Jadi’ Penyebab Konflik dan Kekerasan
Disadari atau tidak, bahwa berbagai kemungkinan sumber atau akar kekerasan dapat disebutkan antara lain adalah, pengaruh iklaim, watak jahat dan distruktif dalam diri manusia, struktur yang jelek dan tidak adil, dan terakhir adalah Sara. Namun dari sekian banyak penyebab atau sumber kekerasan, sering terjadi di antara manusia yang berakhir dengan peperangan adalah kasus Sara. Maka Konflik itu seolah-olah membenarkan bahwa agama penuh dengan kekerasan. Agama penuh dengan wajah dendam, wajah perang, dan wajah anti damai. Apakah demikian adanya? Jika demikian sejarah peradaban manusia seakan-akan ikut membenarkan dalil Karl Marx yang terkenal dengan “agama adalah candu masyarakat”. Demikian juga dengan statemennya Nietzsche, seperti yang kutip oleh Tyler T. Roberts, “kisah orang suci (beragma), adalah bacaan paling abigu dalam eksistensi”.
Dengan meminjam teori Nietzsche, keambiguan agama sangat kental terlihat dalam realitas sehari-hari kehidupan beragama manusia. Ada beberapa penyebab yang dapat menyebabkan konflik antaragama antara lain; pertama, adanya truth claim (klaim kebenaran) dalam diri suatu agama. Klaim ini merupakan fondasi iman dan fondasi ajaran berdirinya suatu agama dan bersifat mutlak (absolut) dalam segalanya, sehingga merelatifkan yang lain. Padahal yang mutlah (absolute) itu hanya Tuhan, bukan manusia atau agama itu sendiri secara personal. Semua selain Tuhan adalah relatif sifatnya. Terjadinya truth claim ini menjadi bagain terpenting dalam memicu kekerasan dan menyulut peperangan. Kebenaran dalam agama adalah mutlak (absolute) dalam pemahaman manusia saja, tetapi menjadi tidak mutlak jika dihadapkan pada keabsolutan Tuhan. Seluruh jalan keselamatan yang diimani oleh pemeluknya dan yang termuat dalam teks kitab suci diyakini sebagai sumber keselamatan yang berasal langsung dari Tuhan, tidak ada konstruksi manusia di dalamnya. Oleh karena itu kebenaran itu tidak memerlukan kebenaran dari pihak agama lain.
Kedua, perbedaan penafsiran, paradigma dan pendekatan justru membuat agama menjadi tidak toleran. Ketika teks-teks kebenaran dari suatu agama dipahami dan diinterpretasikan secara kaku dan literal agama justru menjerumuskan dirinya sendiri ke dalam perilaku tidak toleran itu. Contoh sederhana adalah makna Jihad dalam persepsi sebagian umat orang Islam. Jihad secara bahasa berarti sunggung-sungguh, berjuang, mengelurkan segenap kemampuan yang dimiliki, kemampuan, daya upaya atau kesanggupan. Namun sering kali jihad dipahami secara literer berarti perang, sehingga dengan adanya legitimasi dari al-Qur'an maupun Hadis perang merupakan hal yang wajib bagi setiap orang yang beriman.
Ketiga, identifikasi “kita” dan “mereka” yang membutuhkan legitimasi terus-menerus agar tidak usang terus dikembangkan lewat narasi besar berupa dasar-dasar keimanan, kisah-kisah dan ritual keagamaan, keterlibatan dalam upacara-upacara keagamaan tertentu, dan seterusnya. Narasi ini seringkali diperkokoh oleh bentuk-bentuk ekspresi keagamaan yang amat kasat mata seperti kekhasan pakaian, arsitektur, musik dan lainnya. Semua ini hanya menambah kekokohan identitas diri dan kelompok di atas, sekaligus memperteguh pembedaan di antara banyak orang dan kelompok manusia beriman. Dalam situasi yang amat genting, narasi seperti ini akan berkembang makin tajam, mengarah kepada askalasi konflik. Kelompok sendiri, “kita,” disucikan dan makin disucikan, sedang kelompok lain, “mereka,” dilecehken dan disetankan.
Keempat, di satu sisi agama identik dengan kedamian dan keadilan, memberikan kesejukan dan rasa aman bagi manusia yang percaya kepada ajaran Tuhan, namun di satu sisi ia mengancam dengan neraka bagi mereka yang tidak mempercayai dan melaksanan ajaran-ajaran yang ada di dalamnya. Hal semacam menjadi delima bagi manusia, sehingga menuntut untuk diimani dan dilaksanakan segala macam perintahnya dan meninggalkan segala macam larangannya. Hemat penulis, hampir semua agama mempercayai adanya dokterin seperti itu, sehingga doktirin itu mempompa dan membakar umatnya untuk memaksan diri menyebarkan agama kepada orang lain agar diyakini dan ikut bergabung dengan keyakinannya, melalui da’wah.
C. Menuju Umat wasattan untuk Perdamaian Dunia
Setiap orang yakin akan kebenaran agamanya, adalah sesuatu yang wajar dan niscaya, karena di sanalah inti dan pokok dari keberagamaan. Tetapi kemudian keyakinan akan kebenaran agamanya tersebut membuatnya menegasikan kepercayaan orang lain dan memvonis yang lain itu sebagai yang pasti salah adalah sikap yang patut di pertanyakan kembali. Apalagi jika vonis salah tersebut kemudian digeneralisasikan dengan menganggap salah juga segala hal yang berasal dari si kafir tersebut, ini adalah tindakan ekstim dan ekslusif yang harus dijahui.
Pada umumnya ada tiga paragidma dasar manusia dalam beragama seperti yang dikatakan oleh Raimodo Pannikar, yaitu:
1. Eklusifime, yaitu pandangan dan sikap yang mengklaim kebenaran dan keselamatan hanya pada agama yang dianutnya sendiri yang lain, tidak ada jalan untuk selamat dan masuk sorga.
2. Inkulisfisme, yaitu pandangan dan sikap yang mengklaim bahwa agama yang dianutnya memiliki kebenaran dan keselamatan yang lebih sempurna, jika dibandingkan dengan agama lainya. Artinya dalam padangan ini agama lain masih ada ruang untuk selamat, untuk masuk sorga dan seterusnya, dengan beberapa syarat-syarat tertentu.
3. Paralisme, yaitu satu pandangan yang menganggap bahwa sumua kepercayaan agama yang berbeda itu meskipun terjadi lika-liku dan kebersimpangsiuran, sesungguhnya mempunyai kesejajaran dan kesamaan yang nantinya akan bertemu pada penziarahan manusia.
Semenrtara W. Tilly menambahkan bahwa empat teori keagamaan yaitu; ekslusifisme inklusifisme, pluralisme dan partikularisme dari penelitaian Tilly mengemukakan bahwa semula teori-reori dasar ini dilontarkan oleh para sarjana agama untuk menjelaskan sikap dan pandangan umat Kristen tentang tema keselamatan dan kebenaran. Eklusifisme dan inklusifisme yang di kemukakan oleh Tilly mencakup pengertian seperti yang di ungkapan di atas, akan tetapi pluralismenya mengandang penjelasan yang berbeda. Dalam pemahamannya, ia menjelaskan; pluralisme adalah pandangan dan sikap yang mengkliam bahwa terdapat banyak jalam menuju yang satu yang menujukkan dirinya dengan banyak cara, sehingga setiap orang hendaknya menuruti jalannya masing-masing sebaik mungkin agar selamat; artinya tidak ada kepastiaan yang mutlak. Kemudian teori keempat yang dikemukan oleh Tilly adalah partikularisme, yaitu suatu pandangan dan sikap yang menganggap bahwa setiap agama memiliki substansi yang berbeda-beda dan cendrung mendukung klaim-klaim teologis yang santun. Kaum partikularis memandang bahwa memastikan siapakah yang benar dan selamat merupakan “tindakan lancang”, karena mengkliam paling mengetahui, pada akhirnya Tuhan mengatur segala sesuatu. Sementara Cobb merasa tidak puas dengan teori-teori di atas lalu menggagas sautu teori yang disebut dengan teologi transpormatif
Di era globalisasi saat ini, umat beragama dihadapkan kepada serangkaian tantangan baru yang dengan apa yang pernah dialami sebelumnya. Maka, pluralisme agama, konflik internal atau antarkeagamaan adalah fenomena nyata. Dalam realitas sosial kemasyarakatan tidak hanya ada self, tetapi ada the ather yang harus diakui eksistensinya. Dalam rangka mencipatkan suasana yang harmonis dan dinamis, perlunya ada pemahaman yang komprhensif dan universal tentang esensi ajaran agama sendiri, agama orang lainnya.
Dalam Islam sendiri, inti agama yang benar adalah sikap pasrah kepada Allah, Tuhan yang Maha Esa, pencipta seluruh langit dan bumi. Tanpa sikap itu hemat Cak Nur, suatu keyakinan keagamaan akan tidak memiliki kesejatian. Agama yang benar di sisi Tuhan Yang Maha Esa ialah sikap pasrah yang tulus kepada-Nya. Dalam al-Qur'an sangat mengajurkan penyerahan total kepada-Nya dan tidak ada tempat selain penyerahan kepada Tuhan. Penyerahan adalah sikap batin dan hal ini bersifat sangat personal, atau dengan bahasa lain, hanya orang yang bersangkutan sendiri saja dan Allah yang tau persis apakah ia secara sejati pasrah kepada Allah (muslim), atau tidak. Atau dengan meminjam bahasanya Hasan Hanfi, objektifitas akan menjadi kuat melalui inter-subjektifitas ketimbang tenggelam dalam pemahaman objektivisme.
Islam sebagaimana namanya adalah terbentuk dari kata yang sama dengan salam, yang berarti perdamaian, dengan kata lain Islam adalah agama damai dan penuh kedamaian. Maka ketika Islam sudah diyakini dan dipeluk sebagai sebuah aksi, dan model hidup, tunggal, jamak, laki-laki atau wanita ia akan melahirkan sikap yang santun dan damai. Demikian juga as-salam merupakan bagian dari nama Tuhan yang dianggap sebagai kode universal dari etika perdamaian, dan karenanya, menurut Hasan Hanafi, merupkan bagian dari tingkah laku manusia baik sebagai individu maupun sebagai komunitas.
Pluralitas keberagamaan manusia adalah realitas kehidupan yang tidak bisa dihindari. Terlebih saat sekarang ini era moderenitas segala sesuatu berubah secara cepat dan intsan. Dan tidak suatu kelompok maupun Negara yang bisa menolak atau mengentikannya. Pluralitas keberagamaan ini merupakan tantangan khusus yang di hadapi oleh agama-agama dewasa ini. Setiap agama muncul dalam lingkungan yang plural dan membentuk dirinya sebagai tanggapan pluralitas tersebut. Ketegangan terkadang mewarnai hubungan antara pemeluk agama yang satu dengan yang lain. Dalam kaitan ini sikap yang diambil para pemeluk agama dalam merespon realitas pluralitas agama memang tidaklah seragam dan seide, sesuai dengan cara pandang terhadap realitas tersebut dan pemahaman atas dasar-dasar atau sumber dari keyakinan yang diantutnya. Dan tidak jarang sikap-sikap tersebut bertentangan, bahkan sikap pemeluk agama tertentu juga berpariasi, meskipun sikap yang berbeda itu pada dasarnya, berdasar pada mencari legitimasi dari sumber suci yang sama.
Umat Islam, misalnya dalam menyikapi masalah ini tentu saja merujuk kepada al-Quran dan al-Sunnah sebagai sumber pokok ajaran Islam. Namun demikian , meskipun sama-sama berpegang pada al-Quran dan Hadis, sikap dan pemahaman atau corak fikir terhadap realitas pluralitas agama sangat beragam. Hal ini dapat di saksikan melalui beragamnya penafsiran atas nash-nash al-Quran yang berkaitan dengan pluralitas agama. Bahkan satu penafsiran terkadang bertentangan dengan penafsrian lainnya. Menurut identifikasi Alwi Syhab, beberapa kitab tafsir al-Quran seperti yang ditulis oleh Syaid Qutub (fi zdilalil Quran Wahbah Zuhaili (al-Tafsri al-Manir), Syaid Hawwa (al-asas fi Al-Tafasir), Mutawalli Sa'rawy (Tafir al-Sa'rawy) dan Muhmmad al-Balaghi –Penafsir syi'ah ('ala al Rahman fi' Tafsir al-Quran) adalah contoh penasiran Quran bercorak eklusif, dan sangat berbeda dari yang dilakukan oleh mufassir yang bercorak inkusif, seperti Muhammad Abduh dan Rasih Rido' (Tafsrir al-Manar) al-Taba'ta'i (al-Mizan) dan Muhammad Jawwad al-Mughiyah (Tafsir al-Mubin), semenrara Fazlur Rahman juga digolongkan sebagai pemikir yang bercorak pluralis
Maka dalam rangka untuk bersikap secara sehat dan dinamis diperlukan satu sikat yang akomodatif, terbuka, santun dan berwawasan tinggi, perlu dikedepankan dengan essi-issi yang perlu direnungkan bersama dalam keragaman beragama.
1. Betapun setiap orang terkait demensi dengan historisitas kehidupannya. Setiap orang menghayati dan memahami Agamanya hanya sejauh kemampuan dan pengalamannya. Pemahamanan dan penghayatan seorang anak kecil, seorang remaja, seorang pendang, seorang mahasiswa, seorang ibu, seorang Kiay dan seterusnya, terhadap Agamanya, Tuhannya, Nabinya, Kitab sucinya, bisa dipastikan berbeda-beda, meskipun sumbernya sama. Pemahaman di antra mereka tersebut yang dapat dikatakan paling berar? Dengan kata lain kondisi histories masing-masing orang pada ahirnya sangat menentukan kepercayaan apa dan keberagamaan seperti apa yang akan di jalaninya. Menurut John H Hick melului bukunya Philosofi of Riligion benturan yang terjadi itu sebenarnya bukanlah benturan antar Agama atau antar kebenaran Agama itu sendiri, tetapi lebih merupakan benturan pemahaman terhadap Agama masing-masing. Pemahaman terhadap Agama yang pada ahirnya menjadi basis bagi perilaku budaya pemeluk Agama inilah yang sering berbenturan. Jadi mengatakan satu Agama itu salah itu benar tidaklah tepat, yang lebih tepat apakah satu budaya itu salah atau benar jika dikaitkan dengan nilai atau norma yang menjadi landasannya. Pandangan-pandangan kerangka pakir semacam ini memunculkan ide-ide mengenai esoteris-esoteris juga Normativitas-Historisitas dalam keberagamaan dan dapat ditelaah lebih jauh antra lain dalam Tulisan-tulisan Tyinbee, Fritjoof Schon, Paul Kniter, Huten Smith, juga bisa didapati dalam karya-karya Seyyed Hossen Nasr.
2. Pluralitas Agama itu adalah satu realitas, maka pertanyaan-pertanyaan yang harus di ajaukan, adalah dapatkah realitas keberagamaan Agama dan kepercayaan itu di hindari atau di satukan? Akankah menyatukan keragaman tersebut dan membuat semua orang tunduk dan patuh pada satu Agama? Kalau mungkin bagaimana caranya? Kalau tidak mungkin lantas keberagamaan itu disikapi seperti apa? Apakah setiap orang yang memiliki keyakinan berbeda dengan milikku atau milik mereka dilenyapkan saja dipermukaan bumi ini,?. Jelasnya Pluralitas Agama itu adalah satu keniscayaan yang tidak bisa dihindari, maka langkah paling Urgen yang dibutuhkan adalah bagaimana mengelola pluralitas tersebut agar menjadi ladang harmoni dan sumber bagi penguatan manusia, bukannya mengupayakan dan mencita-citakan agar setiap orang “bersatu Agama”.
3. Betapapun setiap orang memiliki keyakinan dan Agama yang berbeda-beda pada dasarnya mereka adalah mahluk yang sama, memiliki kebuTuhan yang sama, yang mengemban hak dan kewajiban kemanusiaan yang sama. Kalau seseorang dianggap salah, dan dianggap sebagai musuh dalam totalitas kehidupannya hanya karena Agama yang beda, maka yang sebenarnya yang terjadi adalah “suatu bunuh diri kemanusiaan“ seorang ibu menyusui anaknya, seorang bapak yang menyekolahkan putranya, seorang mahasiswa yang sedang belajar demi masa depannya dan seterusnya, masihkah mereka dalam katagori musuh, ketika menjalankan semua itu hanya karena Agama mereka berbeda.
4. Betapapun terdapat perbedaan yang prinsipil antar Agama-Agama, sebetulnya masih banyak persamaan-persamaan dan kesatuan visi dan misi di antara mereka. Orang boleh mengklaim bahwa Tuhanku, Nabiku, kitab suciku berbeda sama sekali dengan petujuk Tuhanmu, tutunan Nabimu, bimbingan kitab sucimu, hal ini perlu dipertimbangkan kembali. Agama mana? Tuhan yang mana? Nabi siapa dan kitab suci apa? yang tidak mengajarkan kasih sayang, kebajikan, kesuciaan, kedamaian, keadilan dan seterusnya dari nilai-nilai positif lainya. Secara sosologis justru manusia satu dengan manusia yang lain, bangsa yang satu dengan bangsa yang lain, umat yang satu dengan umat yang lain, saling membutuhkan untuk memenuhi kebuTuhan hidupnya. Manusia bukan mahluk individu yang harus memisahkan diri dari masyarakat banyak.
Kita telah mengetahui bahwa hidup manusia mempunyai tujuan ahir yaitu sesuatu yang baik dan tinggi. Kebahagian adalah keinginan yang terpuaskan, karena disadari memiliki sesuatu yang baik. Kepuasan jasmani semata, bukanlah kebagaiaan, itu hanyalah bagian dari intrumen manusia. Kebahagian tidak sama dengan kegembiraan atau kesenangan. Kebahagian adalah suatu keadaan yang berlangsung (a lasting condition), dan bukanlah sebuah perasaan atau emosi yang berlalu.
Secara psikoligis tidaklah mungkin menghendaki atau mengingini penderitaan atau kesengsaran dalam hidupnya. Semua orang ingin hidupnya bahagia, aman, tentram, dan korto raharjo. Orang yang menginginkan hidupnya menderita dan sengsara adalah orang yang jiwanya tidak sehat. Sudah barang tentu di dalam kehidupan beragama yang sesungguhnya terdiri dari berbagai Multireligi dan multicultural akan terjadi benturan-benturan keinginan dan kecendrungan masing-masing orang, atau organisasi, yang semua itu setiap saat akan memicu kekerasan, pertentangan, perpecahan, bahkan pertumpahan darah. Hal inilah yang kita sama-sama tidak inginkan terjadinya. Oleh sebab itu diperluakan kesadaran semua pihak untuk menahan diri, selalu introspeksi diri, dan yang paling penting kita kembali keajaran Agama masing-masing sesuai dengan pemahaman yang baik dan benar seperti yang dijalsakan di atas.
Salah satu hal yang perlu dipertimbangkan dalam rangka meminimalisir segala sesuatu yang terkait erat dengan konflik antar umat beragama dengan menggunakan Hermeneutiaka ala Gadamer. Menurutnya penafsiran kitab suci disesuaikan dengan empat macam seni bahasa yang yang dia rumuskan pertama adalah Bildung (calture). Teks kitab suci harus berintraksi atau berdialoh dengan nilai-nilai budaya dimana sebuah teks itu ada. Kedua adalah sensus Coommunis, yang artinya mempunyai petimbangan peraksis yang baik, ketiga, judgment hampir sama dengan kedua. dan keempat, adalah Taste yaitu keseimbangan antara insting panca indra dengan intelekual.
Pemerintah Indonsia berusaha melakukan segala upaya untuk implementasiakan petujuk-petujuk dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), yang secara lebih konkrit dan ralaitas. GBHN menyatakan bahwa pembangunan kehidupan keagamaan harus di laksanakan sedemikian rupa untuk meningkatkan kerukunan beragama, meningkatkan fasilitas-fasilitas yang butuhkan kehidupan keagamaan dan membangum pendidikan Agama di sekolah-sekolah pada semua tingkat. Perlu dicatat bahwa dalam hal ini Departemen Agama mengembangkan tiga kerukunan ummat beragama; 1) kerukunan intern umat beragam, 2) kerukunan antar-umat beragama, 3) kerukunan antar umat beragama dan pemerintah.
Penyebaran Agama tidak dilarang oleh pemerintah, selama tidak bertentangan dengan hukum yang ada. Bahkan sebenarnya pemerintah dalam hal ini menganjurkan kegiatan tersebut sepanjang hal ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan masing-masing pemeluk Agama. Demikian juga Pemerintah mendirikan WMAUB (wadah musyawarah antar umat beragama), tahun 1980, sebagai upaya membangun hubungan yang baik antar umat beragama yang berbeda dengan pemerintah. Demikian, juga pemerintah daerah mendirikan forum-forum serupa, di tingkat Propensi dan di hampir selurah kota-kota besar, untuk misi dan tujuan yang sama pula.
Dalam hal ini pluralisme haruslah dipahami bukan dengan suatu absolutisme (mutlak-mutlakan) dalam pemahaman tentang kebenaran dalam agama. Memang, tidak semua agama itu sama. Agama-agama itu berbeda-beda. Pluralisme juga bukan dipahami dengan bahasa keterpisahan (fragmentasi, segregasi), yang justru akan menghidupkan fanatisme sempit. Tetapi pluralisme haruslah dipahami sebagai suatu keterikatan perbedaan dalam suatu keadaban. Bahwa perbedaan adalah suatu anugerah dan pemahaman terhadap perbedaan yang menimbulkan keterikatan sebagai umat manusia yang beradab-lah yang menjadi faktor utama dalam pluralisme.
D. Sebuah Refleksi
Tuhan yang Maha Esa itu sempurna dengan sesempurna-sempurnanya, sedangkan manusia, tidak sempurna alias lemah dan terbatas. Perbedaan yang terjadi di antara agama-agama yang ada di bumi adalah bentuk dari keterbatasan manusia dalam memahami dan mengerti kemahasempurnaan Tuhan. Perbedaan itu justru menandai betapa kaya kesempurnaan dan kepenuhan Tuhan yang tidak sepenuhnya dipahami manusia. Terjadinya kekerasan, konflik yang berkepanjangan antar manusia adalah salah satu dari kelemahan memahami sesuatu yang maha transendental itu. Maka pendekatan yang paling efektif untuk mereda konflik itu adalah pendekatan intersubjektif-open main dalam beragama. Dengan pendekatan ini akan melahirkan manusia yang pluralis yang tidak jatuh kepada nihilisme.
Pluralisme keberagamaan adalah suatu bentuk pengakuan akan keterbatasan manusia dalam memahami dan menangkap kemahasempurnaan Tuhan. Keterbatasan ini tentunya tidak mengurangi konsep keagamaan yang menegaskan kebenaran suatu agama sebagai jalan keselamatan bagi pemeluk-pemeluknya. Di lain sisi, manusia tidak dapat menggunakan keabsolutan dalam pemahamannya dalam memahami keabsolutan Tuhan. Dalam diri manusia tidak ada yang absolute, hanya Tuhan itu maha absolut, dan keabsolutan itu tidak bisa diklaim hanya dapat dipahami oleh bahasa suatu agama tertentu. Pemahaman manusia tidak akan mampu menembus kemahasempurnaan dan kemahaabsolutan Tuhan. Manusia hanya mampu berikhtiar melalui jalan keselamatan yang telah diwahyukan Tuhan dengan jalan yang berbeda terhadap tiap manusia yang ada dimuka bumi ini.
Dimasa modern saat sekarang ini, agama semakin ditutut mampu memecahkan berbagai macam masalah yang muncul di tengah-tengah umat, dan merupakan tugas atau amanah dari Allah kepada para cendikia muslim untuk bagaimana bisa menangkap spirit Al-Quran secara utuh dan komprehensip. Dengan uraian di atas yang ideal harus dikedepankan, maka beberapa kesimpulan dapat dikatakan, adalah : pertama, jaminan kebenaran seseorang pemeluk agama bukan atas status atau identitas kepemelukannya dalam agama-agama tertentu , tetapi pada penyerahan dirinya secara total kepada Tuhan dan pembuktian melalui amal-amal baik. Dengan memenuhi syarat-syarat tersebut, setiap pemeluk agama akan memperoleh keselamatan. Kedua klaim-klaim ekslusif tentang kebenaran agama muncul dari dua sebab antara lain: (a) kurangnya pengetahuan pemeluk agama atas agama yang dipeluknya. Artinya klaim ekslusif tidak mucul jika pemeluk agama memiliki pengetahuan yang mendalam tentang intisari agama, yaitu penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan. (b) berbahnya agama sejati, menjadi "agama golongan" tertentu. Agama golongan inilah yang terlalu melihat kedalam diri, inword looking, dan tidak sudi memandang adanaya kebenaran pada agama lain, outward looking. Bila seseorang atau kelompok pemeluk agama telah berperilaku demikian, maka dia atau mereka telah menjadikan agama yang semula sejati, menjadi agama golongan. Hal ini bisa mucul dalam komunitas agama mana saja.
Hidup memang penuh dinamika, apalagi dalam dimensi sosial kemasyarakatannya, termasuk dalam wilayah antar umat beragama. Ketegangan dan kelegaan, kesulitan dan kemudahan, kerukunan dan konfik semuanya datang silih berganti. Namun semua konflik yang berdarah-darah itu, yang terjadi dalam wilayah kehidupan antar dan inter beragama, menujukan adanya bentuk konflik tidak sehat, karena manusia tidak hanya gagal mengatasinya dengan jalan kreatif, dan tanpa kekerasan, tetapi bahkan sering kali mengulang konflik yang sama dengan menimbulkan korban baik harta benda maupun nyawa yang tak terhitung jumlahnya.
Melihat paparan dan uraian di atas, agaknya tidak berlebihan menyebut bahwasanya kunci dan jalan keluar pertama dari berbagai konflik antar Agama yang berdarah-darah dan memilukan tersebut adalah:
1. Kesediaan untuk membuka diri dan membuka mata terhadap pluralitas untuk selanjutnya mampu menempatkan diri secara prorprsional ditengah masing-masing umat.
2. Membuang jauh jauh truth klaim dalam berintraksi dengan Agama dan kepercayaan lain, sehingga mampu melihat orang dari luar dan dalamnya mereka.
3. Membuang jauh-jauh prasangka-prasangka negatip lainnya, sehingga ia melihat semua orang, semua agama ingin mencapai hidup sebagaimana dirinya, aman, tentram, dan sejatra selamat dunia dan ahirat.
Sebagai catatan ahair dari tulisan ini, agaknya menarik untuk melihat analisa Farid Esack, terhadap ayat al-Quran yang membahas menenai hubungan antar Agama ini, yaitu surat al-Maidah Q.S 5 : 48 , dalam ayat tersebut dinyatakan, bahwa beragam jalan dan Agama yang ada itu, adalah kehendak Allah, agar manusia saling berlomba dalam kebaikan. Dengan melihat kontek perlombaan itu, menurut Farid Esack, menyebutkan ada empat implikasi yang harus disadari oleh setiap umat beragama; 1) kebajikan yang diakaui dan diberi pahala itu, bukan monopuli dari satu pihak yang berlomba. 2 ) juri dalam hal ini adalah Tuhan harus berada diluar kepentingan-kepentingan sempit para peseta lomba. 3) klaim bahwasanya dia lebih dekat dengan juri atau juri lebih sayang kepadanya, tidak ada gunnya bagi peserta lomba, bahkan bisa jadi merugikan dirinya sendiri. 4) konpetisi yang adil itu, tidak dapat diketahui hasilnya sebelum lomba berahir.
Selamat dan raih Menjadi Umat yang Pluralis untuk Meraih Kemenangan
DAFTAR PUSTAKA
CD Mausu’ah (Kumpulan Hadis-hadis Nabi ).
Dawam Rahadjo, Ensiklopedi Al-Qur'an, Tafsir Saosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, (Jakarta : Paramadina, 2002).
Djoko Suryo, dkk. Mengungkap Gejala Kekerasan Dalam Sejarah Manusia, (Yogyakarta : PP IRM, The Asian Fondetion Dan Pustaka Pelajar, 2000).
Dr. Tammizi Tahir Menuju Ummatan Wasatan, Kerukunan Baragama Di Indonesia, (Jakarta : PPIM 1998).
Dr. W.Posepoprodjo, L PH. SS, Filsafat Moral, (Bandung : Remaja Karya, 1988).
Fahrudin Faiz, Hubungan Islam Kristen “Jurnal” Religi Vol 1 No 1 Januari- Juni 2002.
Farid Esack , Librition And Pluralisme , (Oxfod : One Word ,1998).
Goerge B.Gres dan Benjain J. Hubbard, Tiga Agama Satu Tuhan, (Bandung : Mizan, 1998).
Hasan Hanafi, Cakarawala Baru Peradaban Global; Revolusi Islam Untuk Globalisme, Pluralisme Dan Egaliter Anata Peradaban, terj. Muhammad Saiful Anam Abudullah. (Yogyakarta : IRCiSoD, 2003),
Hasan Hanafi, dkk, Persiapan Masyarakat Dunia Untuk Hidup Secara Damai, Dalam Buku “Islam Dan Perdamaian Global”, (Yogyakarta : Madyan press, IAIN Makasar, Dan The Asia Fondetion, 2002).
Ihsan Ali-Fauzi, dkk. Ambivalensi Sebagai Peluang: Agama, Kekerasan, Dan Upaya Perdamaian, (Yogyakarta PP IRM, The Asian Fondetion Dan Pustaka Pelajar, 2000).
Jalaluddin Rahmat, Islam Aktual; Refleksi-Sosial Seseorang Cendikiawan Muslim, (Bandung : Mizan 2004).
John L. Esposito, Jawaban Atas Gejolak Masyarkat Post-Moredern; Islam Aktul, terj, Norma Arbi’a, Juli Setiawan, (Depok : Inisiasi Press, 2005).
Jonh H. Hicks, Philosopi Of Religion, ( New Jerserey : Prentice Hall, 1990).
Josep Bleicher, Hermeneutika Kontemporer, Terj. Ahmad Norma Permata (Jogyakata Pajar Baru 2003).
Marsana Windu, dkk. Dimensi Kekerasan; Tinjauan Teoritis Atas Fenomena Kekerasan, (Yogyakarta : PP IRM, The Asian Fondetion Dan Pustaka Pelajar, 2000).
Nurcholis Madjid, Islam Doktin Dan Peradaban; Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemausiaan, Dan Kemodernan, (Jakarta : Parmadina, 1991).
Raimundo Panikker, Diolog Intera Religion, terj. Kelompok Studi Filsafat Dryakara (Jogyakarta : Kansius, 1994).
Richard, Interpetion Theority In Scelemecher, Dilthay, Heideger And Gadamer, (Epanshans Northertern : Universiti Press, 1969).
Terence W. Tilly, Posmodern Theology and Religion Diversy, (Marykollm New York : Obris Book 1996),
Tyler T. Roberts, Spiritualitas Pasreligius; Eksplorasi Hermeneutis Transfigurasi Agama Dalam Praksis Filsafat Nietzsche, Terj. Katarmina, (Jogyakarta : Qalam, 2002).
Menelisik Kritik Hadis Ala’ Joseph Schacht dan Juynboll
Menelisik Kritik Hadis Ala’ Joseph Schacht dan Juynboll
Dalam Persepektif dan Analisis Teori Comman Link
A. Muqadimah
Secara histories pengalaman Barat terhadap beradabaan Muslim sudah dimulai sejak abad 11, ketika Adalusia (Spanyol) berada pada masa keemasan dan menjadi pusat peradaban dan ilmu pengetahuan. Pada saat itu orang-orang Eropa bersekolah dan belajar di perguruan Arab. Pada saat ini kemunculan orentalis Barat dapat diidentikkan sebagai tarap “kesadaran awal” untuk menguasai bahasa Arab untuk menterjemahakan buku-buku ilmu pengetahuan dan filsafat yang berbahasa Arab ke bahasa latin, yang pada saat itu merupakan bahasa ilmiah. Jadi, pada fase ini tujuan orenatalis atau akativitas orentalis lebih berorentasi pada pemindahan ilmu pengetahuan dan filsafat dari dunia Islam ke Eropa. Pada masa ini pembahasan tentang Hadis belum terjadi.
Sejarah mencatat pada tahun 1096-1291 terjadilah perang Salib antara Kristen-Barat dan Islam-Timur, peristiwa ini menimbulkan kekalahan bagi Barat-Kristen. Lalu tidak lama setelah itu kerajaan Ottoman (Usmani) mengadakan ekspansi atau serangan ke Eropa yang menyebabkan jatuhnya sejumlah kota seperti Andrionopel tahun 1366, Konstinopel (Istambul) tahun 1453 M. Menurut hemat Hasan Hanafi Islam pada tahun tersebut tersebar dan menguasai seperempat bumi Eropa di Andalusia, pulau laut Putih dan Eropa utara Prancis, bagian utara Italia, Sicilia, Creete, Yunani, Cyprus, dan Eropa Timur.
Pada abad 17-18 disebut sebagai abad pencercahan (enilightement), karena pada masa ini arah kecendrungan untuk mengkaji bidang Hadis, seiring perhatiannya terhadap keislaman secara makro, nampaknya semakin mengeliat.
Kongkritnya kajian mereka memuncak pada abad 19-20 terhadap ilmu Hadis dan ilmu-ilmu semisalnya. Di antara oreintalis yang berkecimpung dalam bidang Hadis pada masa ini adalah, Leon Caetani, A Spereger, Eduwerd E Salib Bury, Igez Golgoldeher, Alfred, Jemes Reosen, GHA. Jonball, Joseph Schacht Deinel. W. Drow, dan masih banyak lagi nama-nama orentalis yang tidak dapat disebut dalam makalah ini. Di antara nama-nama di atas yang paling menonjol dalam pemikiran dan karya-karyanya tetang Hadis adalah Igaz Goldzeher (1850-1921) Joseph Schacht (1902-1969 dan GHA. Juynboll.
Hadis merupakan ucapan, tindakan, serta sikap dan pesan Nabi terhadap sesuatu yang menyangkut kehidupan beragama. Hadis dalam risalah Islam merupakan teladan yang harus diikuti. Sebagai catatan penting dalam sejarah Islam bahwa pada dasarnya sebagian besar Hadis diriwayatkan secara lisan (oral transmition) oleh Sahabat dan hanya sebagian kecil sahabat meriwayatkan secara tulisan. Agama Islam merupakan objek studi Sarjana Barat, bahkan Islam merupakan sudah menjadi karir Barat yang melahirkan orenatalis dan Islamolog Barat dalam jumlah yang besar. Sarjana Barat menaruh perhatian yang besar pada studi Islam, karena mereka memandang Islam bukan hanya sekedar agama, ia juga sumber peradaban dan kekuatan sosial, politik dan kebudayaan yang perlu diperhitungkan. Sebagaimana kita ketahui orientalis adalah Sarjana Barat yang berusaha mempelajari masalah-masalah ketimuran meliputi agama, adat istiadat, bahasa, sastra, dan masalah lain yang menarik perhaitain mereka. Sebelum lebih jauh menguaikan teori Comman Link ada beberapa faktor kesalahpahaman Barat selama ini terjadi kepada dunia Timur, khususnya dalam hal ini adalah agama Islam. Faktor-faktor itu antara lain:
1. Barat memandang Timur khususnya Islam sebagai bangsa dan agama yang Inferior, sedangkan mereka merasa sebagai bangsa Superior. Demikian juga mereka melihat Islam sebagai agama teror, agama perusuhan, dan gerombolan orang bar-bar yang patut dibenci.
2. Sikap apologis. Masyarakat Barat memandang Islam sebagai agama inferior terkait erat dengan sikap apologis. Sikap apologis itu bertujuan menyerang dasar keyakinan Islam dan untuk memperkuat kedudukan agama Kristen. Orang Barat menyebut agama Islam dengan “Muhammadaisme” bertolak dari pandangan agama Kristen tentang Kristus sebagai basis agama Kristen. Pemberian nama Muhammadanisme tersebut untuk menumbukhakan kesan bahwa Islam itu ciptaan Muhammad, bukan agama yang diturunkan Allah swt.
3. Pandangan negatif lainnya adalah Islam sebagai salah satu sekte Yahudi atau Keristen yang sesat.
Sejarah dunia Islam mencatat pada abad 19 pertengahan Masehi hampir seluruh bagian dunia Islam masuk dalam cengkraman kolonialisme bangsa-bangsa Eropa. Adalah Alois Spenger pertama kali mempersoalkankan masalah status Hadis dalam Islam. Spenger berasal dari Jerman dalam pendahuluan bukunya mengenai Riwayat Hidup Muhammad mengkliam bahwa Hadis merupakan kumpulan anekdot (cerita-cerita bohong tapi menarik). Klaim ini juga di-amini oleh rekan satu misinya William Muir, oreintalis asal Jerman ini juga mengkaji biografi Nabi Muhammad dan sejarah perkembangan Islam. Menurut Muir, dalam lereratur Hadis nama Nabi Muhammad sengaja dicatut untuk menutupi kebohongan dan keganjilan (the name of muhamet was abuse to support all possible lies and absurdities)
Tulisan ini mempotet sekilas perjalanan hadis nabi, kritikan dari para orientalis Barat dengan teori yang mereka bagun, serta kritik balik dari kalangan ilmuan Muslim terhadap teori tersebut. Nampaknya pertentangan, berbedaan sudut pandang dan latar belakang keilmuan masing-masing mempunyai alasan yang sama-sama meyakinkan. Wancana ini menjadi menarik karena bagaimana pun Hadis merupakan sumber kedua setelah al-Qur’an yang menjadi rujukan utama bagi umat Islam.
B. Pembahasan
Persoalan mengenai asal usul Hadis masih menjadi bahan perdebatan di tengah pemikir-pemikir Hadis dari dulu samapai sekarang. Sejumlah pemikir meragukan apakah semua Hadis itu dapat dibuktikan secara histories berasal dari Nabi, dan sebagian yang lain mempercayai bahwa semua Hadis itu berasal dari Nabi. Masing-masing kelompok mempunyai argumentasi yang nampaknya sama-sama menyakinkan.
Ignez Goldzaher (1850-1921) yang termasuk kelompok pertama mengatakan bahwa fenomena Hadis memang berasal dari zaman Islam yang paling awal, hanya saja kandungan Hadis memebengkak pada era selanjutnya dan dalam setiap generasi Muslim, materi Hadis berjalan pararal dengan dokterin-dokterin fiqh dan ideologi yang saling bertentangan. Dari sini kemudian Ignez Goldzaher buru-buru menyimpulkan bahwa sangat sulit menentukan Hadis-hadis orisinal yang berasal dari Nabi. Sebagian besar materi Hadis dalam koleksi Hadis menurutnya adalah hasil pengembangan keagamaan, histories, dan sosial Islam selama dua abad pertama, atau dengan ungkapan lain Hadis adalah refleksi dari kecedrungan yang nampak pada masyarakat Muslim selama masa-masa tersebut. Akibatnya, produk-produk kompilasi Hadis yang ada saat ini tidak dapat di percayai secara keseluruhan sebagai sumber ajaran dan perilaku Nabi. Dengan kata lain Hadis itu adalah bikinan masyarakat Islam beberapa abad setelah Nabi wafat, dan bukan berasal atau asli dari Nabi.
Sebenarnya penelitain para orentalis ini dapat dibagi menjadi dua, pertama periode awal (pra-Goldzeher) disimpulkan bahwa Hadis bukanlah ucapan dan perbuatan yang sebenarnya dari Nabi Muhammad. Konsekuensi dari anggapan ini bahwa ulama-ulama (muhaddisin) tidak diindahkan atau diabaikan, karena dipandang tidak pernah ada. Menutut mereka, Hadis adalah karya manusia belaka yang tidak memiliki kebenaraan agama sama sekali.
Kedua, tentang penelitian Hadis yang dilakuakan oleh orentalis tercapai ketika Igaz Goldzeher menerbitkan karyanya “Muhamadanische Studien” di samping karyanya yang lain “Die Zahiriten” karya di atas adalah puncak tulisa-tulisan Goldzher. Titik tolak dari teori Goldzeher adalah sebagai berikut
1. Dapat dibenarkan yang berasal dari masa hidup Muhammad hanya al-Qur’an dan yang lain berasal dari buatan kaum Muslimin dari abad ke II dan III H./ VII dan IX M.
2. Dasar dari anggapan tersebut adalah bukti-bukti riil menujukkan bahwa masyarakat Islam sebelum abad II dan ke III adalah masyarakat yang belum memiliki kemampuan yang cukup untuk memahami dogma-dogma keagamaan, buta hurup masih merata dan kebudayaan hanya terpusat di lingkungan raja-raja (di kota-kota besar).
3. Di samping dasar-dasar tersebut di atas adalah kelangkaan peninggalan tertulis yang nyata-nyata menujukkan bahwa Hadis dipelihara dengan sadar secara tertulis lalu di turunkan dari generasi ke generasi yang sampai pada permulaan abad II Hijriyah ketika Ibnu Shihab al-Zuhri mulai menuliskan teks-teks Hadis. Ignez Goldzaher mengakui adanya sejumlah kecil Hadis memang tepelihara teksnya dari guru ke murid secara berantai, tetapi sebagian besar Hadis yang terkumpul dalam corpus Hadis ternyata tidak dapat dipastikan benar-benar berasal dari Nabi Muhammad saw. Alasannya demikan sulitnya mencari mana yang di antara sekian ratus ribu Hadis yang benar-benar berasal dari kehidupan beliau. Dari sini kemudian, ia katakan bahwa Hadis secara jeles harus dinyatakan tidak berasal dari masa tersebut. Kongklusinya menurut Goldzeher Hadis yang berasal dari ungkapan Nabi Muhammad itu tidak dapat di terima secara ilmiah, dan yang dapat diterima adalah Hadis sebagai Sunnah.
Sebelum menanjutkan pembahasan tentang telaah kritis dari teori Joseph Schacht dan Juynboll alangkah baiknya mengetahui terlebih dahulu sejarah singkat periode penulisan (tadwin) dan kodifikasi Hadis dari abad ke abad menurut presektif ulama-ulama hadis.
1. Sejarah Perkembangan Hadis
a. Penulisan dan membukukan Hadis secara resmi terjadi pada abad ke II hijriyah yang diseponsori oleh seorang khalifah yaitu Umar bin Abd Aziz, dari bani Umaiyah, dengan mengintrusikan kepada seluruh ulama untuk mengumpulkan Hadis-hadis Nabi. Atas intruksi dari khalifah, Ibnu Hazm mengumulkan Hadis-hadis baik yang ada pada dirinya sendiri atau yang ada pada Amrah, seorang tabi’iy wanita yang banyak meriwayatkan Hadis Aisyah, demikian pula Ibnu Syhab Azuhri, seorang Imam dan ulama besar hijaz dan Syam. Walupun harus dicatat pula, sebelumnya ada Hadis Nabi yang sudah ditulis (tadwinkan) oleh beberapa orang sahabat dan tabi’in, di antaranya: Abdullah bin Amr bin Ash, salah seorang sahabat Nabi yang selalu menulis apa-apa yang didengar dari Nabi dan jumlah Hadis yang terkumpul kurang lebih 1000 Hadis yang kemudian naskah ini disebut dengan Ash-shifah Ash-ashadiqah karena hal ini ditulisnya secara langsung dari rasul. Kemudian diteruskan oleh keluaraganya untuk dijaga dan dihafal. Ada pula sahabat yang bernama Jabir bin Abdullah al-Anshary r.a (16-73 H.) naskah ini kemudian disebut oleh para ulama dengan Shahifah Jabir. Dan terakhir seorang tabi’in bernama Hammam bin Munabbih diceritakan punya sebuah naskah Hadis. Hamam bin Munabbih adalah seorang tabi’in yang alim yang berguru kepada sahabat Abu Hurairah. Dari situ kemudian bermunculan kitab-kitab separti Al- Muawwatta’ karya Imam Malik pada tahun 144 H. disusul Musnad Imam Syafi’i. Karya Imam Sayfi’i ini mencantumkan semua musnad-musnadnya pada kitab yang diberi nama al-Umm.
b. Pada awal ketiga ini bangkitlah para ulama-ulama seperti: Musa al-Abbasy, Musaddad al-Basry, Asad bin Musa, Nu’aim bin Hammad al-Khazai’ menyusun kitab-kitab musnad untuk memisahkan mana Hadis Nabi dan mana fatwa-fatwa para sahabat dan tabi’in. Namun pada saat tersebut kenyataanya masih banyak Hadis-hadis yang lemah yang belum terpisahkan. Kelemahan kitab-kitab Hadis tersebut menginspirasikan para ulama ahli Hadis di abad ketiga pertengahan untuk bergerak cepat menyelamatkanya. Mereka membuat kaidah dan syarat-syarat untuk menentukan suatu Hadis itu apakah shahih atau dha’if. Maka pada periode inilah tekumpul Hadis-hadis shahih dari para ulama-ulama seperti Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhary (194-256 H.) dengan kitab Hadisnya yang terkenal Shahih Bukhary atau al-Juwami Shahih. Dalam kitab ini sekitar 8122 Hadis Shahih. Kemudian Imam Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusairy (204-261 H.) dengan kitabnya bernama Shahih Muslim atau al-Jawamius Shahih di dalamnya terdapat Hadis sebanyak 7273. Di samping itu juga teradapat kitab-kitab Musnad yang mengadung segala jenis Hadis, baik shahih, hasan maupun dha’if, kecuali Hadis yang sangat dha’if dan mungkar. Pada abad ketiga disusul pula dengan kreatif ulama Hadis-hadis seperti Sunnan Abu Daud, Sunnan at-Tirmidzy, Sunnan an-Nasai’i dan Sunnan Ibnu Majah
Dengan demikan, sebetulnya sudah jelas kodifikasi Hadis dari masa ke masa secara selektif, sehingga asumsi orang Muslim kecil kengkinan atau sebagian kecil saja Hadis-hadis yang tidak jelas ujung pangkalnya. Dengan kata lain, bahwa Hadis-hadis yang terdapat dalam kitab-kitab Hadis saat sekarang ini betul-betul berasal dari Nabi dan wajib dipercayainya, walaupun tidak seluruhnyanya. Hadis dalam pandangan umum masyarakat muslim (word view) bukan buatan para sahabat dan tabi’in, seperti yang dianggap para orentalis. selanjutnya pemakalah menguraikan teori Comman Link¬-nya Josehp Schacht dan Juynboll.
2. Pengertian Teori Comman Link
Teori Cammon Link adalah istilah di mana seseorang periwayat yang mendengar sesuatu dari -jarang lebih dari satu- seseorang yang berwenang lalu menyebarkan atau menyiarkan kepada sejumlah murid yang pada gilirannya juga mereka menyiarkannya kepada dua atau tiga lagi murid. Dengan kata lain teori ini adalah periwayat tertua yang disebut dalam berkas isnad yang meneruskan Hadis kepada lebih dari satu murid. Hal in bisa terjadi baik dari generasi awal (sahabat), tengah (tabi’in) atau akhir (tabi’ut tabi’in)
3. Teori Comman Link Jeoseph Schacht dan Juynboll
Setiap zaman senantiasa muncul para pemikir yang tertarik untuk meneliti Hadis. Ini dapat di lihat dari buku-buku ilmu Hadis atau jurnal-jurnal internasional yang banyak berkembang dewasa ini. kajian terhadap Hadis dalam karya itu pada umumnya bersifat filsosofis. Para penulis lebih banyak membicarakan apa yang seharusnya disebut Hadis, bukan apa yang senyatanya dari Hadis itu. Sementara kajian yang didasarkan pada kajian murni Ilmiah baru terjadi pada abad 19, yang dilakukan oleh orientalis. Namun hasil dari studi mereka, khususnya pada Hadis kurang biasa diterima oleh umat Islam. Seperti teori Comman Link oleh Josep Schacht (1902-1969) yang mengklaim diri sebagai penerus Golzher menyatakan “we shall mast not meet any legal tradition from the prophet which can be considered authentic” bahwa isnad memiliki kecenderungan untuk berkembang kebelakang. Menurutnya isnad berasal dari bentuk sederhana, lalu diperbaiki sedemikian rupa dengan cara mengkaitkan dokterin aliran-aliran fiqih klasik kepada tokoh-tokok yang lebih awal seperti sahabat dan akhirnya kepada Nabi, karena isnad merupakan rekayasa sebagai hasil dari pertententangan antara aliran fikih klasik dan ahli Hadis, tak satu pun Hadis Nabi, lebih-lebih yang berkenaan dengan masalah hukum dapat dipertanggung jawabkankan sebagai Hadis shahih. Singkatnya Hadis tidak berasal dari Nabi, tapi dari generasi tabi’in. Joseph Schacht orentalis kelahiran Jerman yang ketutunaan Yahudi ini juga mengatakan senada dengan Igaz golzhiher, “A gread many traditions in the classical and other collections were put into circulation only after Safi’i time, the fist considerable body of legal tradition from prophet originated to word middle of the second century”, dia mengklaim bahwa Hadis baru muncul pada abad kedua hijriyah dan baru beredar luas setelah zaman Iman syafi’i. Menurutnya “Even the classical corpus contains a great many tradition which cannot possible be outhentic” maksudnya Hadis-hadis yang terdapat dalam al-Kuttub Sittah sekalipun tidak dapat dijamin keasliannya. Lebih jauh ia berpendapat “The no reason to suppose that the regular practice of using isneds is older than the beginning of the second century”, bahwa sistem periwayatan berantai alias isnad merupakan alat justifikasi dan otorisasi yang baru diperaktikkan pada abad kedua hijriyah.
Senada dengan Schacht adalah G.H.A Juynboll, mengaku dirinya sebagai pengembang, bukan penemu dari teori tersebut, dalam tulisannya selalu merujuk kepada Schacht seraya menyatakannya sebagai pembuat istilah Comman link dan yang pertama kali memerkenalakan “The Origns”. Mesti demikian Schacht ternyata gagal mengamati frekuensi fenomena tersebut dan kurang memberikan perhatian dan elaborasi yang cukup memadai
Sebenarnya fenomena ini (teori Comman Link) sudah dikenal oleh para ahli Hadis di kalangan Islam. At-Tirmizi dalam koleksi Hadisnya menyebut Hadis-hadis yang menujukkan adanya seorang periwayat tertentu, misalnya si A sebagai Comman link dalam isnadnya, dengan Hadis-hadis si A istilah tehnis yang dipakai Tirmizi untuk menggambarkan gejala seperti itu adalah madar (poros). Hadis-hadis itu ternyata membentuk sebagian besar Hadis garib. Yaitu Hadis yang diriwayatkankan oleh seseorang periwayat tunggal pada tingkatan (tabaqat) isnad tertentu. Tapi kelihatannya para ahli Hadis di kalangan Islam tidak menyadari sepenuhnya impelikasi dari gejala tersebut terhadap problem penanggalan Hadis.
Gambarannya dalam kasus ini menurut Schacht, sebuah Hadis yang biasanya diedarkan oleh seorang ahli Hadis yang disebutnya sebagai NN, atau seorang yang menggunakan namanya pada saat tertentu, dalam perkembagannya secara alami Hadis itu diriwayatkan oleh seseorang atau bebeapa periwayat pada generasi berikutnya dan sebagai akibatnya bagian isnad yang ke bawah cendrung menjadi beberapa jalur isnad. Sebagai seorang periwayat yang memperomosikan Hadis NN menyediakan isnad yang kembali pada otoritas yang lebih tinggi seperti sahabat dan Nabi. Bagian daripada isnad merupakan bagian palsu yang dibikin oleh NN sebagai upaya penyempurnaan, ia pun sering kali membut jalur-jalur tambahan (edditon brechhes) dengan menciptakan isnad-isnad tertentu di samping isnad-isnad yang asli atau melalui proses penyebaran isnad. Walaupun demikian, NN tetap sebagai Comman link bagi seluruh atau sebagian besar isnad dari Hadis-hadis tertentu menjadi indikasi yang kuat bahwa Hadis tesebut berasal dari periwayat yang menjadi Comman link. Fenomena ini, klaimnya tidak sedekar hipnotes, tetapi sudah merupakan kejadian umum (commom accerrence). Oleh sebab itu, jika terdapat Hadis yang memiliki isnad yang berbeda, tetapi masih dalam satu matan yang tekait erat menjukkan adanya gejala Comman link, maka dapat disimpukan bahwa Hadis itu bersumber dari seorang periwayat yang menjadi Comman link yang disebut dalam isnad.
Schacht telah mengemukakan contoh yang menujukkan gejala Commom link atau dengan istilah lain Comman transmitter. Misalnya dalam karya as-Syafi’i, al-Ikhtilaf al-Hadis, terdapat sebuah Hadis memiliki isnad, untuk lebih jejasnya dapat dilihat pada lampiran diagram satu di bawah.
Dalam diagram satu ini kata Schacht, Amr bin Abi Amr merupakan Comman link dari seluruh jalar isnad Hadis yang diriwayatkan oleh Syafi’i Amr-lah yang membuat Hadis tersebut bersambung dengan Jabir dan dengan Nabi. Bagian bawah dari isnad tersebut adalah bagian otentik, sementara bagian atas isnad hanya buatan dari Amir bin Amr semata. Dalam upaya memperbaiki isnad, Amr juga mengemukakan jalur-jalur tambahan, yakni jalur dari seorang laki-laki dari Bani Salamah. Dengan demikian, Hadis ini sebenarnya bersumber dari Amir bin Amr karena ia adalah orang pertama yang menyerahkan Hadis ke beberapa periwayat Hadis beriktnya, dan bukan dari Muthtalib, dan bukan dari Jabir atau Nabi.
Berbagai impelikasi yang ditimbulkan oleh teori Comman link Juynboll memberi indikasi yang sangat kuat bahwa ide-ide Juynboll tentang sejarah awal periwayatan Hadis lebih dekat dan lebih sejalan dengan Goldziher dan Schacht, dan kedua pendahulunya yang merupakan wakil utama dari kelompok revisionis. Dalam banyak hal, baik teori maupun temuan tidak lebih dari Syrah dan perluasan atas ide-ide Goldziher dan Schacht. Sebaliknya berbeda pendapat dengan para memikir lain seperti pendapat Nabi Abott, Sezgib dan Azami demikan juga Fazlur rahman.
Kesimpulan Schacht ini dianggap tidak berdasar oleh Azami diagram satu di bawah ini, kata Azami dapat menimbulkan kesalahpaham bagi para pembaca alasannya pertama, dalam diagram 1 itu digambarkan seolah-olah Amir meriwayatkan Hadis dari ketiga orang guru, yakni dari Muthatib yang disebutkan dua kali dalam diagram 1 dan dari seorang laki-laki dari Bani Salamah. Kedua, Schacth kelihatannya salah paham atau tidak memahami teks dalam al-Ikhtilaf Hadis. Dalam buku itu Syafi’i sebenarnya ingin membandingkan tiga murid Amir dan menyalahkan Abd Aziz ketika menyebut seorang laki-laki dari suku Bani Salamah sebagai guru Amir. Di sisi lain, Ibrahim bin Yahya adalah periwayat yang lebih kuat dari Abd Aziz, lebih-lebih pernyataan itu didukung oleh pernyataan Sulaiman. Oleh sebab itu, Amar sebenarnya meneriama Hadis tersebut hanya melalui satu jalaur isnad, yakni jalur Muthathib–Jabir–Nabi seperti lampiran diagram dua di bawah.
Kembali kepada pendapat Juynboll sering kali mengemukanakan sebuah asumsi dasar yang menjadi pijakan dalam meneliti sebuah Hadis serta memperkenalkan beberapa istilah tehnis yang relatif baru yang berhubungan erat dengan Comman link. Prinsip itu mengatakan “The more transmission lines come togetheder in one transmitter, ather reaching him or going a way from him, the more this transmitter and his transmission have a claim to history” (bahwa semakin banyak jalaur periwayatan yang bertemu, baik yang menuju kepadanya atau yang meninggalkannya, maka semakin besar seorang periwayat dan periwayataannya memiliki klaim kesejarahaan). Dengan demikian, hematnya Hadis itu tidak dapat di pertanggung jawabkan keasliannya.
C. Kritik dan Tanggapan beberapa Pemikir Muslim Kontemporer
Banyak karya-karya tulis ilmiah yang menanggapi keraguan otentisitas terhadap Hadis yang dilontarkan oleh dua tokoh tersebut di atas. Di antara mereka adalah Nabia Abbot dalam bukunya Studies in Literary Papyari Qurani’c Commentary and Tradition, menegaskan bahwa Hadis-Hadis Nabi Muhammad saw. dapat ditelusuri kebenarannya sampai pada masa Nabi dan bukan buatan umat Islam setelah abad pertama hijriyah. Pandangan ini didasrarkan pada manuskrip-menuskrip yang berhubungan dengan Hadis-hadis Nabi.
Fazlur Rahman mengembangkan kritiknya terhadap tesis Goldzeher dan Joseph Schacht tersebut. Menurut Rahman, mereka gagal menemukan perbedaan penting antara Hadis dan Sunnah, akibatnya mereka sampai pada kesimpulan bahwa Sunnah Nabi dalam kenyataanya bukanlah dari Nabi, tetapi merupakan tradisi umum di tengah-tengah masyarakat Islam, Rahman mengatakan:
”Tidak seorangpun dari ontentalis ini yang menyatakan perbedaan atau memutuskan persoalan apakah sunah yang terjadi awal masyarakat Muslim ini dipandang sebagai sunah, karena kedudukannya sebagai kebiasaan Arab pra Islam, atau karena Al-Quran telah memperkenalkan modifikasi kedalamnya, menyetujui bagian yang selebihnya dengan kebijaksana”
Daud Rasiyd, dari Islam garis kanan, tidak mau ketinggalan untuk mengomentari hal tersebut dengan menyatakan bahwa tuduhan tersebut secara histories dan realitas tidaklah beralasan. Alasanya singkat, Nabi meninggal dunia setelah bangunan Islam ini benar-benar sempurna. Lebih lanjut Daud Rasyid mengatakan bahwa untuk mengetahui matangnya Islam periode pertama, cukup lihat kesiapan Umar bin Khattab menangani dan dua imprium besar (Persia dan Romawi) ketika itu yang berhasil dikuasai Islam. Khalifah Umar mampu menjalankan roda pemerintahan yang sangat besar itu. Sekiranya Islam pada masa fase sunyi mustahil rasanya Umar dapat memikul tugas berat itu dalam mengendalikan dua kerajaan tersebut.
Pada bagian lain tuduhan itu juga dibantah oleh MM. Azami ia mengatakan bahwa tulisan-tulisan Hadis itu sudah ada sejak rasul masih hidup. Terdapat banyak menuskrip-menuskrip yang menyimpan tulisan-tulisan Hadis. Abdurahman Wahid pula mengatakan sebagai berikut:
1. Hadis tidak diturunkan hanya dengan lisan belaka. Hal yang menujang bukti ini dengan menerbitkan tiga buah corpus Hadis yang dieditnya dalam disertasinya, yaitu naskah-naskah Suhail bin Ali Shalih, Ubaidillah bin Umar dan Ali al-Yaman, yang kesemuanya berasal dari abad pertama hijriyah. Dengan demikian, tuduhan bahwa Hadis mudah dipalsukan dan tidak otentik menjadi tidak terbukti lagi.
2. Penelitan atas istilah-istilah yang mengunakan dalam referesni Hadis menujukkan bahwa berita yang menyatakan Ibnu Siyhab al-Zuhri adalah orang pertama yang menuliskan Hadis pada permulaan abad kedua hijriyah mengandung arti lain daripada yang diduga atau yang diterima secara umum selama ini. MM Azami membuktikan bahwa al-Zuhri adalah pengumpul (compiler) belaka pada semua koleksi naskah-naskah Hadis yang telah dibukukan selama setengah abad sebelumnya. Demikian pula, istilah-istilah yang selama ini hanya dianggap memiliki konotasi transmisi Hadis secara lisan, dianggap oleh MM Azami memiliki arti tulisan dan tertulis.
3. Pembuktian tentang kesalahan dalam memahami Hadis-hadis yang melarang penulisan Hadis oleh Nabi Muhammad saw. oleh Azami dibuktikan hanya ada satu yang otentik dan yang lainya lemah. Adapun yang satu ini, bukanlah melarang Hadis secara umum, melainkan larangan menulis Hadis dalam kertas, seperti kain, muka tulang, atau pelepah korma yang telah berisikan ayat-ayat al-Qura’n, guna menghindari kekeliruan atau pecampuradukan.
Adapun anggapan Goldzeher dan Schacht tentang kuatnya akses atau pengaruh politik pada perkembangan Hadis, seperti kebobrokan atau penyimpangan Khalifah Umaiyah, lahirnya ahli fiqh klasik dan oposisi ahli Hadis dalam pemalsuaan Hadis, atau tuduhan terhadap al-Zuhri yang bersekongkol dengan penguasa Umaiyah dalam pemalsuaan Hadis, juga medapat sorotan tajam dari sarjana Islam kontemporer khususnya.
Seperti diketahui bahwa kritikus Hadis tidak mengenal keberatan atau rasa sungkan dalam menilai seorang rawi, dari cacat yang paling besar, hingga kekhilafan yang paling kecil habis dibongkar. Tuduhan Goldzeher terhadap al-Zuhri adalah satu tuduhan yang tidak berdasar sama sekali. Menurut Ibnu Sa’ad al-Zuhri adalah orang tsiqah, banyak ilmunya dan banyak Hadisnya, dan ia seorang faqih dan banyak lagi gelar-gelar yang disandang olehnya seperti al-Imam, al-Hafiz dan Hujjah
Selain asumsi tersebut, tuduhan Goldzeher juga dianggap tidak berdasar, karena menurut Azami tidak ada bukti-bukti histories yang memperkuat tuduhan tersebut. Diperkirakan ketika al-Zuhri dituduh memalsukan Hadis, ia berumur 10-18 tahun. Karena itu sangatlah tidak mungkin seorang anak yang berusia seperti itu mampu meriwayatkan Hadis yang mengubah pelaksaan ibadah haji dari Mekkah ke Yaressalem
Adapun gambaran orentalis tentang kebobrokan khalifah-khalifah Umaiyah, tidak telalu tepat. Sebab dalam leterarur lain tercatat ada bebarapa Khalifah Umaiyah yang punya kategori sebagai orang-orang takwa. Ibnu Sa’ad dalam karyanya at-Tabaqah mengungkapkan biografi dan ketakwaan Khalifah Abdul Malik, sehingga orang menyebutnya “merpati masjid”, demikian pula Walid ibn Malik yang di zamannya banyak dibangun masjid, sehingga masa pengabdiannya disebut sebagai masa pembangunan.
D. Kesimpulan
Joseph Schach dan Juynboll dua tokoh orientalis ternama dan paling menonjol dalam pempermasalahkan keberadaan Hadis dalam dunia Islam. Mereka telah mendekati Hadis dengan teori Comman link-nya untuk menyelidiki asal usul dan sejarah awal periwayartaan Hadis selama kurang lebih dua puluh tahun. Teori ini berpijak pada pada asmumsi dasar bahwa semakin banyak jalur periwayatan yang bertemu pada seorang periwayat, baik yang menuju kepadanya atau yang meninggalkannya, maka semakin besar periwayat dan jalur periwayatannya memiliki klaim kesejarahan. Dengan kata lain, jalur periwayatan yang dapat dipercaya sebagai jalur histories adalah jalur yang bercabang lebih dari satu jalur. Sementara jalur yang berkembang kepada satu jalur saja yakni, (single strain) tidak dapat dipercaya kesejaharannya. Joseph Schacht mengatakan bahwa semua Hadis yang terdapat dalam kitab-kitab Hadis seperti Kuttubus sittah tidak dapat dijamin keasliaannya alias palsu, yakni bikinaan para generasi setelah Nabi. Dia hanya mengakui Hadis sebagai Sunnah dalam arti jalan atau cara hidup yang dijalani oleh Rasul dan diperaktekkan oleh para sahabat dan seterusnya.
Tesis ini barangkali tidak dapat dibenarkan secara mutlak. Memang harus diakui bahwa kodifikasi hadis terlambat datang. Kaum Muslimin secara histories terlambat sadar akan pentingnya budaya baca dan tulis-menulis, merupakan pelung untuk mempertanyakan dan meragukan keberadaan Hadis Nabi sebagai sumber hukum Islam. Di satu sisi kajian dan pendapat para oreinantalis “kecil kemungkinaan” bersikap objektif dalam meneliti leteratur-leteratur juga menjadi masalah tersendiri. Jelas kerangka keilmuan serta teori yang dibangun tidak sama dengan para ulama Islam. Dalam konteks ini kemudian orang seringkali mencari jalur aman, (the middle way) yaitu memahami Islam dari sumber aslinya yaitu al-Qur’an atau memahami dan mengamalkan Islam dalam persektif Sunnah daripada hadis yang sudah tereduksinya proses dan prosedurnya.
Lampiran Diagaram Satu
Nabi Nabi Nabi
Jabir Jabir Jabir
Seorang laki-laki Muthalib Muthtalib
Dari suku Bani Salamah
Amir bin Abi amr
Budak yang dimerdekakan oleh
Abd Aziz Muthalib Ibrahim
Iman safi’ Imam Safi'i Iman Safi’i
Lampiran Diragram Dua
Nabi
Jabbir
Amr
Abd. Aziz Ibrahim Sulyman
DAFTAR PUSTAKA
Alios Spenser, Die Sunna; Das Leben Und Die Lehre Des Muhammad, (Berlin: 1861-1865).
Joseph Schacht, The origins of Muhmmadan Jurisprosence, (Oxfot: Claredens1950)
Mahmud Muhamad Nasir, Oreantalis al-Quran Dimata Barat, (Semarang: Dina utama Semarang Toha Putra Group, 1989).
Maskur Ali, “Asal-usul Hadis; Telah teoi comman link GHA Juynboll”, Tesisi, belum dipulikaskikan.
Rahman Father, Ihtishor Mustalahul Hadis, (Bandung: PT al-Ma’arif, 1998).
Wahyuddin Darmalaksana, Hadis Di Mata Orentalis Telaah Atas Pendangn Ignaz Golziher Dan Joseph Schacht, (Bandung: Benang Merah Press, 2004).
MM. Azami, Studis in Early Hadis Leterary tej. Mustafa Yaqub, (Jakarta: Pustaka Pirdaus, 1994).
Abdurahman Wahid, “Sumbangan MM. Azami kepada Penyelidikan Hadis” Majalah, No. 5 (Jakarta: DPP MUI 1976).
Daud Rasiyd, “Goldzeher dan Sunnah”, Jurnal, Kajian Islam al-Ma’rifah Vol. 1, Jakarta: 1415 H.
Fazlur Rahman, Islam, (Bandung: Pustaka Salman, 1984)
Khairuman Badri, Ontentisitas, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya).
Dalam Persepektif dan Analisis Teori Comman Link
A. Muqadimah
Secara histories pengalaman Barat terhadap beradabaan Muslim sudah dimulai sejak abad 11, ketika Adalusia (Spanyol) berada pada masa keemasan dan menjadi pusat peradaban dan ilmu pengetahuan. Pada saat itu orang-orang Eropa bersekolah dan belajar di perguruan Arab. Pada saat ini kemunculan orentalis Barat dapat diidentikkan sebagai tarap “kesadaran awal” untuk menguasai bahasa Arab untuk menterjemahakan buku-buku ilmu pengetahuan dan filsafat yang berbahasa Arab ke bahasa latin, yang pada saat itu merupakan bahasa ilmiah. Jadi, pada fase ini tujuan orenatalis atau akativitas orentalis lebih berorentasi pada pemindahan ilmu pengetahuan dan filsafat dari dunia Islam ke Eropa. Pada masa ini pembahasan tentang Hadis belum terjadi.
Sejarah mencatat pada tahun 1096-1291 terjadilah perang Salib antara Kristen-Barat dan Islam-Timur, peristiwa ini menimbulkan kekalahan bagi Barat-Kristen. Lalu tidak lama setelah itu kerajaan Ottoman (Usmani) mengadakan ekspansi atau serangan ke Eropa yang menyebabkan jatuhnya sejumlah kota seperti Andrionopel tahun 1366, Konstinopel (Istambul) tahun 1453 M. Menurut hemat Hasan Hanafi Islam pada tahun tersebut tersebar dan menguasai seperempat bumi Eropa di Andalusia, pulau laut Putih dan Eropa utara Prancis, bagian utara Italia, Sicilia, Creete, Yunani, Cyprus, dan Eropa Timur.
Pada abad 17-18 disebut sebagai abad pencercahan (enilightement), karena pada masa ini arah kecendrungan untuk mengkaji bidang Hadis, seiring perhatiannya terhadap keislaman secara makro, nampaknya semakin mengeliat.
Kongkritnya kajian mereka memuncak pada abad 19-20 terhadap ilmu Hadis dan ilmu-ilmu semisalnya. Di antara oreintalis yang berkecimpung dalam bidang Hadis pada masa ini adalah, Leon Caetani, A Spereger, Eduwerd E Salib Bury, Igez Golgoldeher, Alfred, Jemes Reosen, GHA. Jonball, Joseph Schacht Deinel. W. Drow, dan masih banyak lagi nama-nama orentalis yang tidak dapat disebut dalam makalah ini. Di antara nama-nama di atas yang paling menonjol dalam pemikiran dan karya-karyanya tetang Hadis adalah Igaz Goldzeher (1850-1921) Joseph Schacht (1902-1969 dan GHA. Juynboll.
Hadis merupakan ucapan, tindakan, serta sikap dan pesan Nabi terhadap sesuatu yang menyangkut kehidupan beragama. Hadis dalam risalah Islam merupakan teladan yang harus diikuti. Sebagai catatan penting dalam sejarah Islam bahwa pada dasarnya sebagian besar Hadis diriwayatkan secara lisan (oral transmition) oleh Sahabat dan hanya sebagian kecil sahabat meriwayatkan secara tulisan. Agama Islam merupakan objek studi Sarjana Barat, bahkan Islam merupakan sudah menjadi karir Barat yang melahirkan orenatalis dan Islamolog Barat dalam jumlah yang besar. Sarjana Barat menaruh perhatian yang besar pada studi Islam, karena mereka memandang Islam bukan hanya sekedar agama, ia juga sumber peradaban dan kekuatan sosial, politik dan kebudayaan yang perlu diperhitungkan. Sebagaimana kita ketahui orientalis adalah Sarjana Barat yang berusaha mempelajari masalah-masalah ketimuran meliputi agama, adat istiadat, bahasa, sastra, dan masalah lain yang menarik perhaitain mereka. Sebelum lebih jauh menguaikan teori Comman Link ada beberapa faktor kesalahpahaman Barat selama ini terjadi kepada dunia Timur, khususnya dalam hal ini adalah agama Islam. Faktor-faktor itu antara lain:
1. Barat memandang Timur khususnya Islam sebagai bangsa dan agama yang Inferior, sedangkan mereka merasa sebagai bangsa Superior. Demikian juga mereka melihat Islam sebagai agama teror, agama perusuhan, dan gerombolan orang bar-bar yang patut dibenci.
2. Sikap apologis. Masyarakat Barat memandang Islam sebagai agama inferior terkait erat dengan sikap apologis. Sikap apologis itu bertujuan menyerang dasar keyakinan Islam dan untuk memperkuat kedudukan agama Kristen. Orang Barat menyebut agama Islam dengan “Muhammadaisme” bertolak dari pandangan agama Kristen tentang Kristus sebagai basis agama Kristen. Pemberian nama Muhammadanisme tersebut untuk menumbukhakan kesan bahwa Islam itu ciptaan Muhammad, bukan agama yang diturunkan Allah swt.
3. Pandangan negatif lainnya adalah Islam sebagai salah satu sekte Yahudi atau Keristen yang sesat.
Sejarah dunia Islam mencatat pada abad 19 pertengahan Masehi hampir seluruh bagian dunia Islam masuk dalam cengkraman kolonialisme bangsa-bangsa Eropa. Adalah Alois Spenger pertama kali mempersoalkankan masalah status Hadis dalam Islam. Spenger berasal dari Jerman dalam pendahuluan bukunya mengenai Riwayat Hidup Muhammad mengkliam bahwa Hadis merupakan kumpulan anekdot (cerita-cerita bohong tapi menarik). Klaim ini juga di-amini oleh rekan satu misinya William Muir, oreintalis asal Jerman ini juga mengkaji biografi Nabi Muhammad dan sejarah perkembangan Islam. Menurut Muir, dalam lereratur Hadis nama Nabi Muhammad sengaja dicatut untuk menutupi kebohongan dan keganjilan (the name of muhamet was abuse to support all possible lies and absurdities)
Tulisan ini mempotet sekilas perjalanan hadis nabi, kritikan dari para orientalis Barat dengan teori yang mereka bagun, serta kritik balik dari kalangan ilmuan Muslim terhadap teori tersebut. Nampaknya pertentangan, berbedaan sudut pandang dan latar belakang keilmuan masing-masing mempunyai alasan yang sama-sama meyakinkan. Wancana ini menjadi menarik karena bagaimana pun Hadis merupakan sumber kedua setelah al-Qur’an yang menjadi rujukan utama bagi umat Islam.
B. Pembahasan
Persoalan mengenai asal usul Hadis masih menjadi bahan perdebatan di tengah pemikir-pemikir Hadis dari dulu samapai sekarang. Sejumlah pemikir meragukan apakah semua Hadis itu dapat dibuktikan secara histories berasal dari Nabi, dan sebagian yang lain mempercayai bahwa semua Hadis itu berasal dari Nabi. Masing-masing kelompok mempunyai argumentasi yang nampaknya sama-sama menyakinkan.
Ignez Goldzaher (1850-1921) yang termasuk kelompok pertama mengatakan bahwa fenomena Hadis memang berasal dari zaman Islam yang paling awal, hanya saja kandungan Hadis memebengkak pada era selanjutnya dan dalam setiap generasi Muslim, materi Hadis berjalan pararal dengan dokterin-dokterin fiqh dan ideologi yang saling bertentangan. Dari sini kemudian Ignez Goldzaher buru-buru menyimpulkan bahwa sangat sulit menentukan Hadis-hadis orisinal yang berasal dari Nabi. Sebagian besar materi Hadis dalam koleksi Hadis menurutnya adalah hasil pengembangan keagamaan, histories, dan sosial Islam selama dua abad pertama, atau dengan ungkapan lain Hadis adalah refleksi dari kecedrungan yang nampak pada masyarakat Muslim selama masa-masa tersebut. Akibatnya, produk-produk kompilasi Hadis yang ada saat ini tidak dapat di percayai secara keseluruhan sebagai sumber ajaran dan perilaku Nabi. Dengan kata lain Hadis itu adalah bikinan masyarakat Islam beberapa abad setelah Nabi wafat, dan bukan berasal atau asli dari Nabi.
Sebenarnya penelitain para orentalis ini dapat dibagi menjadi dua, pertama periode awal (pra-Goldzeher) disimpulkan bahwa Hadis bukanlah ucapan dan perbuatan yang sebenarnya dari Nabi Muhammad. Konsekuensi dari anggapan ini bahwa ulama-ulama (muhaddisin) tidak diindahkan atau diabaikan, karena dipandang tidak pernah ada. Menutut mereka, Hadis adalah karya manusia belaka yang tidak memiliki kebenaraan agama sama sekali.
Kedua, tentang penelitian Hadis yang dilakuakan oleh orentalis tercapai ketika Igaz Goldzeher menerbitkan karyanya “Muhamadanische Studien” di samping karyanya yang lain “Die Zahiriten” karya di atas adalah puncak tulisa-tulisan Goldzher. Titik tolak dari teori Goldzeher adalah sebagai berikut
1. Dapat dibenarkan yang berasal dari masa hidup Muhammad hanya al-Qur’an dan yang lain berasal dari buatan kaum Muslimin dari abad ke II dan III H./ VII dan IX M.
2. Dasar dari anggapan tersebut adalah bukti-bukti riil menujukkan bahwa masyarakat Islam sebelum abad II dan ke III adalah masyarakat yang belum memiliki kemampuan yang cukup untuk memahami dogma-dogma keagamaan, buta hurup masih merata dan kebudayaan hanya terpusat di lingkungan raja-raja (di kota-kota besar).
3. Di samping dasar-dasar tersebut di atas adalah kelangkaan peninggalan tertulis yang nyata-nyata menujukkan bahwa Hadis dipelihara dengan sadar secara tertulis lalu di turunkan dari generasi ke generasi yang sampai pada permulaan abad II Hijriyah ketika Ibnu Shihab al-Zuhri mulai menuliskan teks-teks Hadis. Ignez Goldzaher mengakui adanya sejumlah kecil Hadis memang tepelihara teksnya dari guru ke murid secara berantai, tetapi sebagian besar Hadis yang terkumpul dalam corpus Hadis ternyata tidak dapat dipastikan benar-benar berasal dari Nabi Muhammad saw. Alasannya demikan sulitnya mencari mana yang di antara sekian ratus ribu Hadis yang benar-benar berasal dari kehidupan beliau. Dari sini kemudian, ia katakan bahwa Hadis secara jeles harus dinyatakan tidak berasal dari masa tersebut. Kongklusinya menurut Goldzeher Hadis yang berasal dari ungkapan Nabi Muhammad itu tidak dapat di terima secara ilmiah, dan yang dapat diterima adalah Hadis sebagai Sunnah.
Sebelum menanjutkan pembahasan tentang telaah kritis dari teori Joseph Schacht dan Juynboll alangkah baiknya mengetahui terlebih dahulu sejarah singkat periode penulisan (tadwin) dan kodifikasi Hadis dari abad ke abad menurut presektif ulama-ulama hadis.
1. Sejarah Perkembangan Hadis
a. Penulisan dan membukukan Hadis secara resmi terjadi pada abad ke II hijriyah yang diseponsori oleh seorang khalifah yaitu Umar bin Abd Aziz, dari bani Umaiyah, dengan mengintrusikan kepada seluruh ulama untuk mengumpulkan Hadis-hadis Nabi. Atas intruksi dari khalifah, Ibnu Hazm mengumulkan Hadis-hadis baik yang ada pada dirinya sendiri atau yang ada pada Amrah, seorang tabi’iy wanita yang banyak meriwayatkan Hadis Aisyah, demikian pula Ibnu Syhab Azuhri, seorang Imam dan ulama besar hijaz dan Syam. Walupun harus dicatat pula, sebelumnya ada Hadis Nabi yang sudah ditulis (tadwinkan) oleh beberapa orang sahabat dan tabi’in, di antaranya: Abdullah bin Amr bin Ash, salah seorang sahabat Nabi yang selalu menulis apa-apa yang didengar dari Nabi dan jumlah Hadis yang terkumpul kurang lebih 1000 Hadis yang kemudian naskah ini disebut dengan Ash-shifah Ash-ashadiqah karena hal ini ditulisnya secara langsung dari rasul. Kemudian diteruskan oleh keluaraganya untuk dijaga dan dihafal. Ada pula sahabat yang bernama Jabir bin Abdullah al-Anshary r.a (16-73 H.) naskah ini kemudian disebut oleh para ulama dengan Shahifah Jabir. Dan terakhir seorang tabi’in bernama Hammam bin Munabbih diceritakan punya sebuah naskah Hadis. Hamam bin Munabbih adalah seorang tabi’in yang alim yang berguru kepada sahabat Abu Hurairah. Dari situ kemudian bermunculan kitab-kitab separti Al- Muawwatta’ karya Imam Malik pada tahun 144 H. disusul Musnad Imam Syafi’i. Karya Imam Sayfi’i ini mencantumkan semua musnad-musnadnya pada kitab yang diberi nama al-Umm.
b. Pada awal ketiga ini bangkitlah para ulama-ulama seperti: Musa al-Abbasy, Musaddad al-Basry, Asad bin Musa, Nu’aim bin Hammad al-Khazai’ menyusun kitab-kitab musnad untuk memisahkan mana Hadis Nabi dan mana fatwa-fatwa para sahabat dan tabi’in. Namun pada saat tersebut kenyataanya masih banyak Hadis-hadis yang lemah yang belum terpisahkan. Kelemahan kitab-kitab Hadis tersebut menginspirasikan para ulama ahli Hadis di abad ketiga pertengahan untuk bergerak cepat menyelamatkanya. Mereka membuat kaidah dan syarat-syarat untuk menentukan suatu Hadis itu apakah shahih atau dha’if. Maka pada periode inilah tekumpul Hadis-hadis shahih dari para ulama-ulama seperti Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhary (194-256 H.) dengan kitab Hadisnya yang terkenal Shahih Bukhary atau al-Juwami Shahih. Dalam kitab ini sekitar 8122 Hadis Shahih. Kemudian Imam Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusairy (204-261 H.) dengan kitabnya bernama Shahih Muslim atau al-Jawamius Shahih di dalamnya terdapat Hadis sebanyak 7273. Di samping itu juga teradapat kitab-kitab Musnad yang mengadung segala jenis Hadis, baik shahih, hasan maupun dha’if, kecuali Hadis yang sangat dha’if dan mungkar. Pada abad ketiga disusul pula dengan kreatif ulama Hadis-hadis seperti Sunnan Abu Daud, Sunnan at-Tirmidzy, Sunnan an-Nasai’i dan Sunnan Ibnu Majah
Dengan demikan, sebetulnya sudah jelas kodifikasi Hadis dari masa ke masa secara selektif, sehingga asumsi orang Muslim kecil kengkinan atau sebagian kecil saja Hadis-hadis yang tidak jelas ujung pangkalnya. Dengan kata lain, bahwa Hadis-hadis yang terdapat dalam kitab-kitab Hadis saat sekarang ini betul-betul berasal dari Nabi dan wajib dipercayainya, walaupun tidak seluruhnyanya. Hadis dalam pandangan umum masyarakat muslim (word view) bukan buatan para sahabat dan tabi’in, seperti yang dianggap para orentalis. selanjutnya pemakalah menguraikan teori Comman Link¬-nya Josehp Schacht dan Juynboll.
2. Pengertian Teori Comman Link
Teori Cammon Link adalah istilah di mana seseorang periwayat yang mendengar sesuatu dari -jarang lebih dari satu- seseorang yang berwenang lalu menyebarkan atau menyiarkan kepada sejumlah murid yang pada gilirannya juga mereka menyiarkannya kepada dua atau tiga lagi murid. Dengan kata lain teori ini adalah periwayat tertua yang disebut dalam berkas isnad yang meneruskan Hadis kepada lebih dari satu murid. Hal in bisa terjadi baik dari generasi awal (sahabat), tengah (tabi’in) atau akhir (tabi’ut tabi’in)
3. Teori Comman Link Jeoseph Schacht dan Juynboll
Setiap zaman senantiasa muncul para pemikir yang tertarik untuk meneliti Hadis. Ini dapat di lihat dari buku-buku ilmu Hadis atau jurnal-jurnal internasional yang banyak berkembang dewasa ini. kajian terhadap Hadis dalam karya itu pada umumnya bersifat filsosofis. Para penulis lebih banyak membicarakan apa yang seharusnya disebut Hadis, bukan apa yang senyatanya dari Hadis itu. Sementara kajian yang didasarkan pada kajian murni Ilmiah baru terjadi pada abad 19, yang dilakukan oleh orientalis. Namun hasil dari studi mereka, khususnya pada Hadis kurang biasa diterima oleh umat Islam. Seperti teori Comman Link oleh Josep Schacht (1902-1969) yang mengklaim diri sebagai penerus Golzher menyatakan “we shall mast not meet any legal tradition from the prophet which can be considered authentic” bahwa isnad memiliki kecenderungan untuk berkembang kebelakang. Menurutnya isnad berasal dari bentuk sederhana, lalu diperbaiki sedemikian rupa dengan cara mengkaitkan dokterin aliran-aliran fiqih klasik kepada tokoh-tokok yang lebih awal seperti sahabat dan akhirnya kepada Nabi, karena isnad merupakan rekayasa sebagai hasil dari pertententangan antara aliran fikih klasik dan ahli Hadis, tak satu pun Hadis Nabi, lebih-lebih yang berkenaan dengan masalah hukum dapat dipertanggung jawabkankan sebagai Hadis shahih. Singkatnya Hadis tidak berasal dari Nabi, tapi dari generasi tabi’in. Joseph Schacht orentalis kelahiran Jerman yang ketutunaan Yahudi ini juga mengatakan senada dengan Igaz golzhiher, “A gread many traditions in the classical and other collections were put into circulation only after Safi’i time, the fist considerable body of legal tradition from prophet originated to word middle of the second century”, dia mengklaim bahwa Hadis baru muncul pada abad kedua hijriyah dan baru beredar luas setelah zaman Iman syafi’i. Menurutnya “Even the classical corpus contains a great many tradition which cannot possible be outhentic” maksudnya Hadis-hadis yang terdapat dalam al-Kuttub Sittah sekalipun tidak dapat dijamin keasliannya. Lebih jauh ia berpendapat “The no reason to suppose that the regular practice of using isneds is older than the beginning of the second century”, bahwa sistem periwayatan berantai alias isnad merupakan alat justifikasi dan otorisasi yang baru diperaktikkan pada abad kedua hijriyah.
Senada dengan Schacht adalah G.H.A Juynboll, mengaku dirinya sebagai pengembang, bukan penemu dari teori tersebut, dalam tulisannya selalu merujuk kepada Schacht seraya menyatakannya sebagai pembuat istilah Comman link dan yang pertama kali memerkenalakan “The Origns”. Mesti demikian Schacht ternyata gagal mengamati frekuensi fenomena tersebut dan kurang memberikan perhatian dan elaborasi yang cukup memadai
Sebenarnya fenomena ini (teori Comman Link) sudah dikenal oleh para ahli Hadis di kalangan Islam. At-Tirmizi dalam koleksi Hadisnya menyebut Hadis-hadis yang menujukkan adanya seorang periwayat tertentu, misalnya si A sebagai Comman link dalam isnadnya, dengan Hadis-hadis si A istilah tehnis yang dipakai Tirmizi untuk menggambarkan gejala seperti itu adalah madar (poros). Hadis-hadis itu ternyata membentuk sebagian besar Hadis garib. Yaitu Hadis yang diriwayatkankan oleh seseorang periwayat tunggal pada tingkatan (tabaqat) isnad tertentu. Tapi kelihatannya para ahli Hadis di kalangan Islam tidak menyadari sepenuhnya impelikasi dari gejala tersebut terhadap problem penanggalan Hadis.
Gambarannya dalam kasus ini menurut Schacht, sebuah Hadis yang biasanya diedarkan oleh seorang ahli Hadis yang disebutnya sebagai NN, atau seorang yang menggunakan namanya pada saat tertentu, dalam perkembagannya secara alami Hadis itu diriwayatkan oleh seseorang atau bebeapa periwayat pada generasi berikutnya dan sebagai akibatnya bagian isnad yang ke bawah cendrung menjadi beberapa jalur isnad. Sebagai seorang periwayat yang memperomosikan Hadis NN menyediakan isnad yang kembali pada otoritas yang lebih tinggi seperti sahabat dan Nabi. Bagian daripada isnad merupakan bagian palsu yang dibikin oleh NN sebagai upaya penyempurnaan, ia pun sering kali membut jalur-jalur tambahan (edditon brechhes) dengan menciptakan isnad-isnad tertentu di samping isnad-isnad yang asli atau melalui proses penyebaran isnad. Walaupun demikian, NN tetap sebagai Comman link bagi seluruh atau sebagian besar isnad dari Hadis-hadis tertentu menjadi indikasi yang kuat bahwa Hadis tesebut berasal dari periwayat yang menjadi Comman link. Fenomena ini, klaimnya tidak sedekar hipnotes, tetapi sudah merupakan kejadian umum (commom accerrence). Oleh sebab itu, jika terdapat Hadis yang memiliki isnad yang berbeda, tetapi masih dalam satu matan yang tekait erat menjukkan adanya gejala Comman link, maka dapat disimpukan bahwa Hadis itu bersumber dari seorang periwayat yang menjadi Comman link yang disebut dalam isnad.
Schacht telah mengemukakan contoh yang menujukkan gejala Commom link atau dengan istilah lain Comman transmitter. Misalnya dalam karya as-Syafi’i, al-Ikhtilaf al-Hadis, terdapat sebuah Hadis memiliki isnad, untuk lebih jejasnya dapat dilihat pada lampiran diagram satu di bawah.
Dalam diagram satu ini kata Schacht, Amr bin Abi Amr merupakan Comman link dari seluruh jalar isnad Hadis yang diriwayatkan oleh Syafi’i Amr-lah yang membuat Hadis tersebut bersambung dengan Jabir dan dengan Nabi. Bagian bawah dari isnad tersebut adalah bagian otentik, sementara bagian atas isnad hanya buatan dari Amir bin Amr semata. Dalam upaya memperbaiki isnad, Amr juga mengemukakan jalur-jalur tambahan, yakni jalur dari seorang laki-laki dari Bani Salamah. Dengan demikian, Hadis ini sebenarnya bersumber dari Amir bin Amr karena ia adalah orang pertama yang menyerahkan Hadis ke beberapa periwayat Hadis beriktnya, dan bukan dari Muthtalib, dan bukan dari Jabir atau Nabi.
Berbagai impelikasi yang ditimbulkan oleh teori Comman link Juynboll memberi indikasi yang sangat kuat bahwa ide-ide Juynboll tentang sejarah awal periwayatan Hadis lebih dekat dan lebih sejalan dengan Goldziher dan Schacht, dan kedua pendahulunya yang merupakan wakil utama dari kelompok revisionis. Dalam banyak hal, baik teori maupun temuan tidak lebih dari Syrah dan perluasan atas ide-ide Goldziher dan Schacht. Sebaliknya berbeda pendapat dengan para memikir lain seperti pendapat Nabi Abott, Sezgib dan Azami demikan juga Fazlur rahman.
Kesimpulan Schacht ini dianggap tidak berdasar oleh Azami diagram satu di bawah ini, kata Azami dapat menimbulkan kesalahpaham bagi para pembaca alasannya pertama, dalam diagram 1 itu digambarkan seolah-olah Amir meriwayatkan Hadis dari ketiga orang guru, yakni dari Muthatib yang disebutkan dua kali dalam diagram 1 dan dari seorang laki-laki dari Bani Salamah. Kedua, Schacth kelihatannya salah paham atau tidak memahami teks dalam al-Ikhtilaf Hadis. Dalam buku itu Syafi’i sebenarnya ingin membandingkan tiga murid Amir dan menyalahkan Abd Aziz ketika menyebut seorang laki-laki dari suku Bani Salamah sebagai guru Amir. Di sisi lain, Ibrahim bin Yahya adalah periwayat yang lebih kuat dari Abd Aziz, lebih-lebih pernyataan itu didukung oleh pernyataan Sulaiman. Oleh sebab itu, Amar sebenarnya meneriama Hadis tersebut hanya melalui satu jalaur isnad, yakni jalur Muthathib–Jabir–Nabi seperti lampiran diagram dua di bawah.
Kembali kepada pendapat Juynboll sering kali mengemukanakan sebuah asumsi dasar yang menjadi pijakan dalam meneliti sebuah Hadis serta memperkenalkan beberapa istilah tehnis yang relatif baru yang berhubungan erat dengan Comman link. Prinsip itu mengatakan “The more transmission lines come togetheder in one transmitter, ather reaching him or going a way from him, the more this transmitter and his transmission have a claim to history” (bahwa semakin banyak jalaur periwayatan yang bertemu, baik yang menuju kepadanya atau yang meninggalkannya, maka semakin besar seorang periwayat dan periwayataannya memiliki klaim kesejarahaan). Dengan demikian, hematnya Hadis itu tidak dapat di pertanggung jawabkan keasliannya.
C. Kritik dan Tanggapan beberapa Pemikir Muslim Kontemporer
Banyak karya-karya tulis ilmiah yang menanggapi keraguan otentisitas terhadap Hadis yang dilontarkan oleh dua tokoh tersebut di atas. Di antara mereka adalah Nabia Abbot dalam bukunya Studies in Literary Papyari Qurani’c Commentary and Tradition, menegaskan bahwa Hadis-Hadis Nabi Muhammad saw. dapat ditelusuri kebenarannya sampai pada masa Nabi dan bukan buatan umat Islam setelah abad pertama hijriyah. Pandangan ini didasrarkan pada manuskrip-menuskrip yang berhubungan dengan Hadis-hadis Nabi.
Fazlur Rahman mengembangkan kritiknya terhadap tesis Goldzeher dan Joseph Schacht tersebut. Menurut Rahman, mereka gagal menemukan perbedaan penting antara Hadis dan Sunnah, akibatnya mereka sampai pada kesimpulan bahwa Sunnah Nabi dalam kenyataanya bukanlah dari Nabi, tetapi merupakan tradisi umum di tengah-tengah masyarakat Islam, Rahman mengatakan:
”Tidak seorangpun dari ontentalis ini yang menyatakan perbedaan atau memutuskan persoalan apakah sunah yang terjadi awal masyarakat Muslim ini dipandang sebagai sunah, karena kedudukannya sebagai kebiasaan Arab pra Islam, atau karena Al-Quran telah memperkenalkan modifikasi kedalamnya, menyetujui bagian yang selebihnya dengan kebijaksana”
Daud Rasiyd, dari Islam garis kanan, tidak mau ketinggalan untuk mengomentari hal tersebut dengan menyatakan bahwa tuduhan tersebut secara histories dan realitas tidaklah beralasan. Alasanya singkat, Nabi meninggal dunia setelah bangunan Islam ini benar-benar sempurna. Lebih lanjut Daud Rasyid mengatakan bahwa untuk mengetahui matangnya Islam periode pertama, cukup lihat kesiapan Umar bin Khattab menangani dan dua imprium besar (Persia dan Romawi) ketika itu yang berhasil dikuasai Islam. Khalifah Umar mampu menjalankan roda pemerintahan yang sangat besar itu. Sekiranya Islam pada masa fase sunyi mustahil rasanya Umar dapat memikul tugas berat itu dalam mengendalikan dua kerajaan tersebut.
Pada bagian lain tuduhan itu juga dibantah oleh MM. Azami ia mengatakan bahwa tulisan-tulisan Hadis itu sudah ada sejak rasul masih hidup. Terdapat banyak menuskrip-menuskrip yang menyimpan tulisan-tulisan Hadis. Abdurahman Wahid pula mengatakan sebagai berikut:
1. Hadis tidak diturunkan hanya dengan lisan belaka. Hal yang menujang bukti ini dengan menerbitkan tiga buah corpus Hadis yang dieditnya dalam disertasinya, yaitu naskah-naskah Suhail bin Ali Shalih, Ubaidillah bin Umar dan Ali al-Yaman, yang kesemuanya berasal dari abad pertama hijriyah. Dengan demikian, tuduhan bahwa Hadis mudah dipalsukan dan tidak otentik menjadi tidak terbukti lagi.
2. Penelitan atas istilah-istilah yang mengunakan dalam referesni Hadis menujukkan bahwa berita yang menyatakan Ibnu Siyhab al-Zuhri adalah orang pertama yang menuliskan Hadis pada permulaan abad kedua hijriyah mengandung arti lain daripada yang diduga atau yang diterima secara umum selama ini. MM Azami membuktikan bahwa al-Zuhri adalah pengumpul (compiler) belaka pada semua koleksi naskah-naskah Hadis yang telah dibukukan selama setengah abad sebelumnya. Demikian pula, istilah-istilah yang selama ini hanya dianggap memiliki konotasi transmisi Hadis secara lisan, dianggap oleh MM Azami memiliki arti tulisan dan tertulis.
3. Pembuktian tentang kesalahan dalam memahami Hadis-hadis yang melarang penulisan Hadis oleh Nabi Muhammad saw. oleh Azami dibuktikan hanya ada satu yang otentik dan yang lainya lemah. Adapun yang satu ini, bukanlah melarang Hadis secara umum, melainkan larangan menulis Hadis dalam kertas, seperti kain, muka tulang, atau pelepah korma yang telah berisikan ayat-ayat al-Qura’n, guna menghindari kekeliruan atau pecampuradukan.
Adapun anggapan Goldzeher dan Schacht tentang kuatnya akses atau pengaruh politik pada perkembangan Hadis, seperti kebobrokan atau penyimpangan Khalifah Umaiyah, lahirnya ahli fiqh klasik dan oposisi ahli Hadis dalam pemalsuaan Hadis, atau tuduhan terhadap al-Zuhri yang bersekongkol dengan penguasa Umaiyah dalam pemalsuaan Hadis, juga medapat sorotan tajam dari sarjana Islam kontemporer khususnya.
Seperti diketahui bahwa kritikus Hadis tidak mengenal keberatan atau rasa sungkan dalam menilai seorang rawi, dari cacat yang paling besar, hingga kekhilafan yang paling kecil habis dibongkar. Tuduhan Goldzeher terhadap al-Zuhri adalah satu tuduhan yang tidak berdasar sama sekali. Menurut Ibnu Sa’ad al-Zuhri adalah orang tsiqah, banyak ilmunya dan banyak Hadisnya, dan ia seorang faqih dan banyak lagi gelar-gelar yang disandang olehnya seperti al-Imam, al-Hafiz dan Hujjah
Selain asumsi tersebut, tuduhan Goldzeher juga dianggap tidak berdasar, karena menurut Azami tidak ada bukti-bukti histories yang memperkuat tuduhan tersebut. Diperkirakan ketika al-Zuhri dituduh memalsukan Hadis, ia berumur 10-18 tahun. Karena itu sangatlah tidak mungkin seorang anak yang berusia seperti itu mampu meriwayatkan Hadis yang mengubah pelaksaan ibadah haji dari Mekkah ke Yaressalem
Adapun gambaran orentalis tentang kebobrokan khalifah-khalifah Umaiyah, tidak telalu tepat. Sebab dalam leterarur lain tercatat ada bebarapa Khalifah Umaiyah yang punya kategori sebagai orang-orang takwa. Ibnu Sa’ad dalam karyanya at-Tabaqah mengungkapkan biografi dan ketakwaan Khalifah Abdul Malik, sehingga orang menyebutnya “merpati masjid”, demikian pula Walid ibn Malik yang di zamannya banyak dibangun masjid, sehingga masa pengabdiannya disebut sebagai masa pembangunan.
D. Kesimpulan
Joseph Schach dan Juynboll dua tokoh orientalis ternama dan paling menonjol dalam pempermasalahkan keberadaan Hadis dalam dunia Islam. Mereka telah mendekati Hadis dengan teori Comman link-nya untuk menyelidiki asal usul dan sejarah awal periwayartaan Hadis selama kurang lebih dua puluh tahun. Teori ini berpijak pada pada asmumsi dasar bahwa semakin banyak jalur periwayatan yang bertemu pada seorang periwayat, baik yang menuju kepadanya atau yang meninggalkannya, maka semakin besar periwayat dan jalur periwayatannya memiliki klaim kesejarahan. Dengan kata lain, jalur periwayatan yang dapat dipercaya sebagai jalur histories adalah jalur yang bercabang lebih dari satu jalur. Sementara jalur yang berkembang kepada satu jalur saja yakni, (single strain) tidak dapat dipercaya kesejaharannya. Joseph Schacht mengatakan bahwa semua Hadis yang terdapat dalam kitab-kitab Hadis seperti Kuttubus sittah tidak dapat dijamin keasliaannya alias palsu, yakni bikinaan para generasi setelah Nabi. Dia hanya mengakui Hadis sebagai Sunnah dalam arti jalan atau cara hidup yang dijalani oleh Rasul dan diperaktekkan oleh para sahabat dan seterusnya.
Tesis ini barangkali tidak dapat dibenarkan secara mutlak. Memang harus diakui bahwa kodifikasi hadis terlambat datang. Kaum Muslimin secara histories terlambat sadar akan pentingnya budaya baca dan tulis-menulis, merupakan pelung untuk mempertanyakan dan meragukan keberadaan Hadis Nabi sebagai sumber hukum Islam. Di satu sisi kajian dan pendapat para oreinantalis “kecil kemungkinaan” bersikap objektif dalam meneliti leteratur-leteratur juga menjadi masalah tersendiri. Jelas kerangka keilmuan serta teori yang dibangun tidak sama dengan para ulama Islam. Dalam konteks ini kemudian orang seringkali mencari jalur aman, (the middle way) yaitu memahami Islam dari sumber aslinya yaitu al-Qur’an atau memahami dan mengamalkan Islam dalam persektif Sunnah daripada hadis yang sudah tereduksinya proses dan prosedurnya.
Lampiran Diagaram Satu
Nabi Nabi Nabi
Jabir Jabir Jabir
Seorang laki-laki Muthalib Muthtalib
Dari suku Bani Salamah
Amir bin Abi amr
Budak yang dimerdekakan oleh
Abd Aziz Muthalib Ibrahim
Iman safi’ Imam Safi'i Iman Safi’i
Lampiran Diragram Dua
Nabi
Jabbir
Amr
Abd. Aziz Ibrahim Sulyman
DAFTAR PUSTAKA
Alios Spenser, Die Sunna; Das Leben Und Die Lehre Des Muhammad, (Berlin: 1861-1865).
Joseph Schacht, The origins of Muhmmadan Jurisprosence, (Oxfot: Claredens1950)
Mahmud Muhamad Nasir, Oreantalis al-Quran Dimata Barat, (Semarang: Dina utama Semarang Toha Putra Group, 1989).
Maskur Ali, “Asal-usul Hadis; Telah teoi comman link GHA Juynboll”, Tesisi, belum dipulikaskikan.
Rahman Father, Ihtishor Mustalahul Hadis, (Bandung: PT al-Ma’arif, 1998).
Wahyuddin Darmalaksana, Hadis Di Mata Orentalis Telaah Atas Pendangn Ignaz Golziher Dan Joseph Schacht, (Bandung: Benang Merah Press, 2004).
MM. Azami, Studis in Early Hadis Leterary tej. Mustafa Yaqub, (Jakarta: Pustaka Pirdaus, 1994).
Abdurahman Wahid, “Sumbangan MM. Azami kepada Penyelidikan Hadis” Majalah, No. 5 (Jakarta: DPP MUI 1976).
Daud Rasiyd, “Goldzeher dan Sunnah”, Jurnal, Kajian Islam al-Ma’rifah Vol. 1, Jakarta: 1415 H.
Fazlur Rahman, Islam, (Bandung: Pustaka Salman, 1984)
Khairuman Badri, Ontentisitas, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya).
Dialektika Antara Kultur dan Agama Terhadap Fenomena Pengamalan Zakat
Dialektika Antara Kultur dan Agama Terhadap Fenomena Pengamalan Zakat di Gunung Sari, Sesela Lombo Barat
A. PENDAHULUAN
Zakat bagi masyarakat muslim diyakini sebagai salah satu rukun Islam yang wajib dilaksanakan. Mereka dengan kesadaran keislamannya yang mengakui bahwa zakat merupakan sedekah wajib dan dianggap sebagai tiang Islam. Seorang muslim yang mengabaikan zakat, diklaim keislamannya tidak sempurna. Jadi, seorang mukmin harus dermawan. Seorang yang mengaku dirinya sebagai seorang mukmin tapi kikir, berarti imannya belum sempurna minimal dipertanyakan. Makna kikir dalam konteks ini adalah mengabaikan zakat. Dalam konteks kikir di sini mengisyarakatkan bahwa zakat berkaitan dengan masalah kesejahteraan sosial atau orang lain dari aspek ekonomi antara pemberi dan penerima. Oleh karena itu, Islam mengaitkan pembayaran zakat yang bernilai ekonomis dengan kesejahteraan umat. Para tokoh Islam memahami fungsi zakat sebagai pendistribusian kesejahteraan umat dan solidaritas sosial adalah sesuai dengan pesan Islam.
Islam telah memberikan prinsip-prinsip zakat yang menyangkut nilai spiritual dan material. Nilai spiritual zakat misalnya, sebagai pembersihan diri muzakki dari sifat kikir dan cinta harta secara berlebihan, pensucian hati dengan menyuburkan nilai kebaikan dan nilai solidaritas antara sesama manusia. Sedangkan nilai materialnya adalah adanya ukuran-ukuran pasti, jenis harta, berapa dan kapan zakat itu harus ditunaikan. Siapa yang berhak menerimanya, yang harus menunaikannya, siapa yang mengurusnya, dan apa sangsi-sangsinya bagi yang melanggar.
Islam telah menentukan kategori penerima, penunai, dan pengelola zakat secara jelas dan gamblang. Namun harus diakui bahwa pada tataran pengamalan dan teknik pengoperasionalnya terjadi fenomena pembayaran zakat yang tidak sesuai dengan aturan yang menyebabkan berkurangnya fungsi zakat itu sendiri secara maksimal. Sebagai ilustrasi, masyarakat muslim mengamalakan zakat sedemikian rupa, sehingga seorang penunai zakat dapat saja menunaikan zakatnya secara langsung, tanpa melalui pengelolanya. Seorang muzakki dapat saja menyerahakan zakatnya kepada para pemuka agama, tokoh masyarakat dan ta’mir mesjid (marbot). Fenomena seperti ini tentu menimbulkan pertanyaan, mengapa hal ini dapat terjadi. Padahal mereka tidak termasuk dalam kelompok penerima secara tekstual. Secara khusus fenomena seperti itu memberikan kesan bahwa (mustahiq) yang akan menerima diberi zakat menjadi subyektif sesuai dengan kehendak para muzakki.
Mayarakat muslim dalam menenunaikan zakat terdapat pola-pola yang unik yang terkesan tidak berdasarkan kaidah agama, akan tetapi terpengaruh oleh tradisi dan struktur masyarakat yang ada. Artinya seorang muzakki yang membayarkan zakatnya kepda guru agama, tokoh masyarakat atau pilihan lainnya, karena sudah menjadi tradisi. Sementara muzakki tidak melihat apakah mereka termasuk dalam delapan golongan penerima, (asnaf mustahiq) yang telah ditentukan Islam. Di sinilah tampak terjadinya kesulitan antara kaidah agama dan praktik pengamalan zakat di masyarakat.
Berdasarkan fenomena pembayaran zakat di masyarakat tersebut, menjadi fokus pembahasan dalam makalah ini adalah bagaimana pemahaman masyarkat muslim dalam membayar zakat sebagai norma Islam, pertimbangan-pertimbangan apa, sehingga para muzakki membayar zakat kepada orang-orang pilihannya seperti guru agama, tokoh masyarakat, merbot (ta’mir masjid), dan apakah masyarakat memahami bahwa zakat, sebagai salah satu ajaran Islam berfungsi sebagai santunan dan pengaman sosial (social security).
B. Pembahasan
a. Pengamalan Zakat di Masyarakat
Berdasarkan observasi menunjukkan bahwa fenomena pengamalan zakat di masyarakat muslim Gunungsari Desa Sesela Dusun Barat Kubur, tampak tidak tepat. Di antara indikatornya bahwa dari satu sisi, fungsi zakat adalah pendistribusian kesejahteraan umat, namun di sisi lain kesejahteraan umat yang diharapkan dari pengamalan zakat belum tampak secara signifikan. Pada prinsipnya masyarakat muslim Lombok secara umum barangkali memiliki kesadaran yang tinggi dalam menunaikan zakat khususnya zakat fitrah. Meskipun diakui bahwa yang menonjol dari kesadaran masyarakat tersebut baru didasarkan pada pemahaman zakat sebatas kewajiban Islam dari aspek hukum fiqihnya, kurang didukung ilmu pengetahuan mengenai zakat secara sosial. Konsekuensinya melahirkan pengamalan zakat dikaitkan dengan ajr surga, dan naar atau siksaan sebagai ancaman bagi yang mengabaikan zakat.
Dari sini tampak bahwa pemahaman masyarakat mengenai zakat secara utuh masih kabur, meskipun pada dasarnya konsep zakat dalam Islam secara normatif sudah jelas. Artinya zakat di satu sisi musti dipahami sebagai dogma Islam, sebagai eksatologi keimanan. Di sisi lain zakat harus dipahami sebagia rukun Islam sebagai komitmen keterlibatan seorang muslim dengan fungsi sosial keislamannya. Untuk mencapai pemahaman yang utuh, zakat musti dikaji tidak hanya melalui teks-teks verbal Islam, tetapi kajian zakat musti menjangkau aspek sosialnya secara luas. Tampaknya masyarakat muslim Sasak pada umumnya dalam memahami zakat masih terbatas dengan konsep yang pertama, sehingga dalam pengamalannya selalu dikaitkan dengan dosa dan pahala.
Jika diilihat dari kaca mata sosial, zakat adalah sebagai pranata sosial. Dalam proses internalisasi, eksternalisasi, dan obyektivasinya zakat sebagai pranata sosial berbaur dengan kultur dan struktur sosial yang ada dan terjadilah pembauran nilai Islam zakat dan nilai lokal sosial. Dengan pendekatan sosiologis, zakat yang berdimensi sosial dapat tersosialisasi dengan nilai-nilai sosial yang ada tanpa mengingkari nilai zakat sebagai pranata sosial religius Islam. Dengan demikian zakat dapat dipahami oleh masyarkat secara utuh.
Di sisi lain dalam hal obyek harta zakat misalnya, pengamalan zakat oleh masyarakat tentunya tidak terlepas dari proses internalisasi pengetahuannya. Stock pengetahuan tentang zakat yang dilatarbelakangi oleh keyakinan hukum Islam yang mutlak dan apa adanya, (tekstual) ketika dilanjutkan pada pengamalannya, maka paham itu mempengaruhinya pula. Dalam mana apa yang ada dalam teks verbal Islam sebagai pranata sosial relegius yang menyangkut muzakki, mustahiq, dan harta wajib zakat misalnya cenderung diterima apa adanya. Artinya masyarakat muslim menerima poin-poin obyek zakat secara tekstual dengan kategori yang telah ada dan sulit menjangkau kategori obyek zakat yang lain. Dengan kata lain, proses internalisasi yang menjadi terbatas pada informasi yang bersifat verbal tekstual dari obyek zakat sebagai stock pengetahuan masyarakat seperti itu.
Pelaksanaan zakat berkaitan dengan muzakki atau pembayar zakat, ada dua yaitu muzakki fitrah dan muzakki maal, meskipun tidak semua anggota masyarakat muslim Dese Sesela dapat menjadi muzakki fitrah dan maal, namun setidaknya seorang muslim adalah muzakki fitrah. Asumsi masyarakat dalam memahami konsep kaya dalam fitrah adalah mereka yang memiliki kelebihan bahan pokok dan berbeda dengan konsep kaya dalam zakat mal, sebagaimana fiqih Islam menyebutkan.
Dalam hal penerima zakat, al-Qur’an menyebutkan delapan kelompok masyarakat yang berhak menerima zakat. Sementara, tidak semua anggota masyarakat menyerahkan zakatnya melalui amil, dan lebih suka membagikannya sendiri. Fenomena ini menunjukkan adanya pengelolaan zakat yang kurang terkoordinasi. Artinya, meskipun masyarakat paham, iman, dan menyadari siapa muzakki dan mustahiq zakat, tampaknya lembaga amil yang ada belum dapat diterima secara penuh oleh masyarakat. Sehingga, pngelola (amil) tidak dapat mengelola zakat secara tepat dan maksimal, dana zakat yang ada tidak dapat dinikmati secara maksimal oleh para mustahiq zakat.
b. Kendala Kultural
Ketika zakat dipahami masyarkat melalui proses internalisasi, kemudian menjelma menjadi pengamalan zakat sebagai bentuk eksternalisasinya, maka dapat saja bentuknya menjadi khas. Kekhasan tersebut dapat saja disebabkan oleh proses dialektis teoritis zakat dengan nilai-nilai masyarakat yang menjadi pranata sosial terakomodasi ke dalam zakat.
Tampaknya masyarakat memberikan nilai yang tidak jauh berbeda antara zakat dalam Islam dengan tradisi, yaitu dalam bentuk pertukaran. Karena adanya persamaan tersebut, maka terjadilah proses pembauran nilai adat dan Islam secara akomodatif dan tidak konfrontatif, sehingga membentuk suatu keyakinan yang kokoh dan utuh sebagai pranata sosial religius zakat. Pengaruh tersebut tidak terbatas pada pemaknaan zakat saja, tapi menyangkut pada fungsi zakat. Sehingga dalam obyektivikasi zakat, disamping sebagi kewajiban Islam, masyarakat muslim menunaikan zakat, fungsinya sebagai imbalan jasa dan budi muzakki kepada tokoh masyarakat, guru agama dan ta’mir mesjid. Ilustrasi terserbut dapat dijelaskan bagaimana muzakki menyerahkan zakat fitrahnya secara langsung. Menurutnya hal itu cukup beralasan karena muzakki telah mendapatkan pengajaran, bimbingan dan perlindungan dalam hidupnya.
Dengan demikian, fenomena penyerahan zakat fitrah oleh seorang muslim kepada tokoh agama, tokoh masyarakat dan ta’mir masjid secara sosiologis tidak dosa, karena penyerahan tersebut didasarkan pada jasa. Ilmu agama yang diperoleh muzakki dianggapnya sebagai jasa para guru agama yang sangat berharga. Penghargaan yang tinggi ini terlepas dari adanya posisi mereka sebagai guru dan adanya ketergantungan masyarakat kepada mereka.
Dengan kata lain bias yang terjadi dalam pengamalan zakat masyarakat kepada guru agama, ta’mir mesjid, dan tokoh masyarakat adalah motivasi dan sebab penyerahan langsung zakat fitrahnya. Artinya jika sebab dan motivasi pemberian zakat yang didasarkan pada norma Islam dipahami tidak demikian, maka pada saatnya nanti penyerahan zakat tidak lagi kepada kelompok yang disebutkan.
Kenyataan tersebut jika diamati, maka sebenarnya memperkuat apa yang dikemukakan oleh para tokoh sosiologi tentang perilaku sosial, yang mana setip perilaku sosial baik yang bersifat individu maupun kelompok didasarkan pada ilmu ekonomi, untug rugi, ganjaran dan hukuman, (reward) yang selalu diharapkan. Mereka mengakui bahwa pertukaran sosial tidak dapat diukur dengan nilai uang, sebab sebagai transaksi sosial dipertukarkan juga hal-hal yang nyata dan tidak nyata. Artinya tindakan masyarakat muslim dalam menyerahkan zakatnya merupakan suatu cermin ketaatan sosial. Meskipun tidak terdapat kontrak apapun di antara mereka, maka justru tidak adanya kontrak itulah yang semakin mendorong masyarakat menyerahkan zakat tersebut kepada mereka. Hal itu karena didorong oleh dasar perilaku manusia yang tidak terlepas dari adanya timbal balik, untung rugi, ganjaran, dan hukum.
Motivasi lain dalam penyerahan zakat fitrah diterjemahkan sebagai investasi dunia maupun akhirat, investasi jangka pendek maupun panjang. Secara sosiologis, muzakki akan dihargai secara normal oleh masyarakat. Nilai keislaman zakat yang telah menjadi kultur sosial tentu mempengaruhi tindakan individu dan kelompok dalam suatu komunitas masyarakat. Pengaruh tersebut tampak pada pengamalan realitas keislaman terbaur secara akomodatif dengan nilai-nilai setempat, sehingga membentuk realitas sosial Islam zakat.
c. Kendala Kepentingan
Islam telah meninggalkan reputasi peradaban bagi umat mnusia, dan sejarah telah membuktikannya sepanjang masa. Sejarawan Hodgson menyebutkan sebagai “The Venture of Islam” yang maksudnya adalah sebuah percobaan merealisir iman dalam sejarah. Iman ini di antaranya adalah mengenai segi-segi univerasalisme yang diwujudkan dalam kenyataan sejarah. Oleh karena itu umat Islam terus mengkaji, meneliti, menerjemahkan reputasi Islam itu melalui al-Qur’an dan Sunnah. Mereka percaya bahwa dengan cara seperti itu nilai-nilai zakat dapat terungkap, kemudian dapat terealisasikan dalam sejarah masyarakatnya di mana ia berada berada.
Zakat Islam sebagai pranata sosial beragama, dalam proses dialektisnya dengan pranata sosial lainnya mengalami berbagai gejolak dan ketegangan akibat terjadinya akomodasi dan kontroversi dari level pemaknaan sampai pengamalannya. Gejolak dan ketegangan dalam proses pemaknaan dan pengamalan zakat ini juga diakibatkan oleh adanya pola-pola kultural. Di sini individu-individu sebagai produk dan sekaligus pencipta pranata sosial peranannya menjadi sangat jelas. Artinya proses dialektis teoritis zakat sebagai pranata sosial yang idealnya putih, bersih dan immutable, namun dalam dunia kenyataan itu tidak telepas dari pencemaran-pencemaran subjektif individu. Namun demikian, diakui adanya unsur-unsur kepentingan individu yang tidak qualified sebagai pencemaran dalam pengamalan zakat. Ilustrasi ini tampak ketika konsentrasi pertimbangan-pertimbangan mendasar pengamalan zakat yang meliputi muzakki, mustahik, dan harta zakat dibelokkan keluar masuk kepada kepentingan kelompok dan perorangan. Kasus pertimbangan seperti nilai tradisi, keluarga dekat, imbalan jasa dapat diterima dalam kategori fakir miskin sama. Namun pertimbangan seperti ini menjadi tidak tepat dan radziah ketika membiarkan fakir miskin, dan memenangkan pertimbangan tersebut, sehingga dana zakat diserahkan kepda guru agama, tokoh masyarakat dan ta’mir masjid.
Ada indikator positif di masyarakat muslim Gunungsari Desa Sesela dengan munculnya lembaga zakat tingkat jama’ah masjid. proses dialektik pengamalan zakat sebagai realitas secara sosial, secara teoritis pada level internalisasi yang disebabkan semakin beragamnya informasi, kemajuan pendidikan yang membawa masyarakat semakin cerdas, dan mulai menipisnya sistem dominasi kepemimpinan agama, mengakibatkan proses eksternalisasi meskipun lambat tapi jelas, melahirkan realitas zakat bernuansa lain dari yang ada. Hal ini sebagai jawaban positif yang diformulasikan dalam proses obyektivasi kelembagaan zakat di masyarakat dalam bentuk kepanitiaan jamaah atau dengan kata lain munculnya kelembagaan zakat secara kolektif dalam bentuk kepanitiaan, adalah merupakan respon positif yang lahir karena analisis kritis terhadap zakat. Analisis-kritis mampu membawa masyarakat mampu membaca pengamalan zakat mereka secara lebih baik dari yang ada, sehingga muncul kesimpulan positif dan negatifnya.
Ketika lembaga zakat ditangani secara individual, tentunya pengaruh individual akan semakin terbuka. Dominasi perorangan dalam panafsiran zakat yang menyangkut harta wajib zakat, mustahik, dan muzakki menjadi dominan. Realitas secara sosial pengamalan zakat yang ada menunjukkan penilaian negatif akibat pengaruh individu yang kuat, dan masyarkat mencoba dengan merespons kepanitiaan zakat secara kolektif. Dengan proses eksternalisasi dan objektivasi kelembagaan zakat secara kolektif ini akan membawa pengaruh dalam proses internalisasi pemahaman zakat masyarakat secara dinamis.
C. Kesimpulan
Masyarakat muslim Gunungsari Desa Sesela dan masyarakat Sasak secara umum menyadari bahwa zakat merupakan satu kewajiban dalam Islam. Hal itu merupakan wadah ketaatan mereka dalam beragama. Tampaknya dari hasil observasi menunjukkan kesadaran zakat tersebut masih sebatas kewajiban Islami dari aspek hukum fiqihnya dan cenderung tekstual dan taklid normatif, sehingga pemahaman masyarakat tentang zakat sebagai pranata sosial dalam dialektisnya membentuk realitas secara sosial. Pengamalan zakat menjadi suatu realitas sosial terbatas pada makna ritual yang tergiring pada pemikiran kosmis transendental, berkait konsep ajr dan azb yang bersifat duniawi maupun ukhrowi dan kurang menyentuh pada aspek fungsi sosial keislamannya.
Fenomena pemberian zakat kepada guru agama, tokoh masyarakat, dan ta’mir masjid merupakan bentuk obyektivasi dari proses internalisasi dan eksternalisasi zakat di masyarakat. Diakui bahwa pengamalan zakat oleh masyarakat menampakkan bentuk formalitas tekstual dan dogmatis ritual dari pada aspek fungsi sosial Islamnya. Oleh karena itu, melalui pendidikan yang didukung oleh berdirinya lembaga amil zakat tingkat jamaah, desa, dan baziz pada tingkat nasional adalah merupakan respons positif yang harus didukung dan diperluas. Wallahu’alam.
A. PENDAHULUAN
Zakat bagi masyarakat muslim diyakini sebagai salah satu rukun Islam yang wajib dilaksanakan. Mereka dengan kesadaran keislamannya yang mengakui bahwa zakat merupakan sedekah wajib dan dianggap sebagai tiang Islam. Seorang muslim yang mengabaikan zakat, diklaim keislamannya tidak sempurna. Jadi, seorang mukmin harus dermawan. Seorang yang mengaku dirinya sebagai seorang mukmin tapi kikir, berarti imannya belum sempurna minimal dipertanyakan. Makna kikir dalam konteks ini adalah mengabaikan zakat. Dalam konteks kikir di sini mengisyarakatkan bahwa zakat berkaitan dengan masalah kesejahteraan sosial atau orang lain dari aspek ekonomi antara pemberi dan penerima. Oleh karena itu, Islam mengaitkan pembayaran zakat yang bernilai ekonomis dengan kesejahteraan umat. Para tokoh Islam memahami fungsi zakat sebagai pendistribusian kesejahteraan umat dan solidaritas sosial adalah sesuai dengan pesan Islam.
Islam telah memberikan prinsip-prinsip zakat yang menyangkut nilai spiritual dan material. Nilai spiritual zakat misalnya, sebagai pembersihan diri muzakki dari sifat kikir dan cinta harta secara berlebihan, pensucian hati dengan menyuburkan nilai kebaikan dan nilai solidaritas antara sesama manusia. Sedangkan nilai materialnya adalah adanya ukuran-ukuran pasti, jenis harta, berapa dan kapan zakat itu harus ditunaikan. Siapa yang berhak menerimanya, yang harus menunaikannya, siapa yang mengurusnya, dan apa sangsi-sangsinya bagi yang melanggar.
Islam telah menentukan kategori penerima, penunai, dan pengelola zakat secara jelas dan gamblang. Namun harus diakui bahwa pada tataran pengamalan dan teknik pengoperasionalnya terjadi fenomena pembayaran zakat yang tidak sesuai dengan aturan yang menyebabkan berkurangnya fungsi zakat itu sendiri secara maksimal. Sebagai ilustrasi, masyarakat muslim mengamalakan zakat sedemikian rupa, sehingga seorang penunai zakat dapat saja menunaikan zakatnya secara langsung, tanpa melalui pengelolanya. Seorang muzakki dapat saja menyerahakan zakatnya kepada para pemuka agama, tokoh masyarakat dan ta’mir mesjid (marbot). Fenomena seperti ini tentu menimbulkan pertanyaan, mengapa hal ini dapat terjadi. Padahal mereka tidak termasuk dalam kelompok penerima secara tekstual. Secara khusus fenomena seperti itu memberikan kesan bahwa (mustahiq) yang akan menerima diberi zakat menjadi subyektif sesuai dengan kehendak para muzakki.
Mayarakat muslim dalam menenunaikan zakat terdapat pola-pola yang unik yang terkesan tidak berdasarkan kaidah agama, akan tetapi terpengaruh oleh tradisi dan struktur masyarakat yang ada. Artinya seorang muzakki yang membayarkan zakatnya kepda guru agama, tokoh masyarakat atau pilihan lainnya, karena sudah menjadi tradisi. Sementara muzakki tidak melihat apakah mereka termasuk dalam delapan golongan penerima, (asnaf mustahiq) yang telah ditentukan Islam. Di sinilah tampak terjadinya kesulitan antara kaidah agama dan praktik pengamalan zakat di masyarakat.
Berdasarkan fenomena pembayaran zakat di masyarakat tersebut, menjadi fokus pembahasan dalam makalah ini adalah bagaimana pemahaman masyarkat muslim dalam membayar zakat sebagai norma Islam, pertimbangan-pertimbangan apa, sehingga para muzakki membayar zakat kepada orang-orang pilihannya seperti guru agama, tokoh masyarakat, merbot (ta’mir masjid), dan apakah masyarakat memahami bahwa zakat, sebagai salah satu ajaran Islam berfungsi sebagai santunan dan pengaman sosial (social security).
B. Pembahasan
a. Pengamalan Zakat di Masyarakat
Berdasarkan observasi menunjukkan bahwa fenomena pengamalan zakat di masyarakat muslim Gunungsari Desa Sesela Dusun Barat Kubur, tampak tidak tepat. Di antara indikatornya bahwa dari satu sisi, fungsi zakat adalah pendistribusian kesejahteraan umat, namun di sisi lain kesejahteraan umat yang diharapkan dari pengamalan zakat belum tampak secara signifikan. Pada prinsipnya masyarakat muslim Lombok secara umum barangkali memiliki kesadaran yang tinggi dalam menunaikan zakat khususnya zakat fitrah. Meskipun diakui bahwa yang menonjol dari kesadaran masyarakat tersebut baru didasarkan pada pemahaman zakat sebatas kewajiban Islam dari aspek hukum fiqihnya, kurang didukung ilmu pengetahuan mengenai zakat secara sosial. Konsekuensinya melahirkan pengamalan zakat dikaitkan dengan ajr surga, dan naar atau siksaan sebagai ancaman bagi yang mengabaikan zakat.
Dari sini tampak bahwa pemahaman masyarakat mengenai zakat secara utuh masih kabur, meskipun pada dasarnya konsep zakat dalam Islam secara normatif sudah jelas. Artinya zakat di satu sisi musti dipahami sebagai dogma Islam, sebagai eksatologi keimanan. Di sisi lain zakat harus dipahami sebagia rukun Islam sebagai komitmen keterlibatan seorang muslim dengan fungsi sosial keislamannya. Untuk mencapai pemahaman yang utuh, zakat musti dikaji tidak hanya melalui teks-teks verbal Islam, tetapi kajian zakat musti menjangkau aspek sosialnya secara luas. Tampaknya masyarakat muslim Sasak pada umumnya dalam memahami zakat masih terbatas dengan konsep yang pertama, sehingga dalam pengamalannya selalu dikaitkan dengan dosa dan pahala.
Jika diilihat dari kaca mata sosial, zakat adalah sebagai pranata sosial. Dalam proses internalisasi, eksternalisasi, dan obyektivasinya zakat sebagai pranata sosial berbaur dengan kultur dan struktur sosial yang ada dan terjadilah pembauran nilai Islam zakat dan nilai lokal sosial. Dengan pendekatan sosiologis, zakat yang berdimensi sosial dapat tersosialisasi dengan nilai-nilai sosial yang ada tanpa mengingkari nilai zakat sebagai pranata sosial religius Islam. Dengan demikian zakat dapat dipahami oleh masyarkat secara utuh.
Di sisi lain dalam hal obyek harta zakat misalnya, pengamalan zakat oleh masyarakat tentunya tidak terlepas dari proses internalisasi pengetahuannya. Stock pengetahuan tentang zakat yang dilatarbelakangi oleh keyakinan hukum Islam yang mutlak dan apa adanya, (tekstual) ketika dilanjutkan pada pengamalannya, maka paham itu mempengaruhinya pula. Dalam mana apa yang ada dalam teks verbal Islam sebagai pranata sosial relegius yang menyangkut muzakki, mustahiq, dan harta wajib zakat misalnya cenderung diterima apa adanya. Artinya masyarakat muslim menerima poin-poin obyek zakat secara tekstual dengan kategori yang telah ada dan sulit menjangkau kategori obyek zakat yang lain. Dengan kata lain, proses internalisasi yang menjadi terbatas pada informasi yang bersifat verbal tekstual dari obyek zakat sebagai stock pengetahuan masyarakat seperti itu.
Pelaksanaan zakat berkaitan dengan muzakki atau pembayar zakat, ada dua yaitu muzakki fitrah dan muzakki maal, meskipun tidak semua anggota masyarakat muslim Dese Sesela dapat menjadi muzakki fitrah dan maal, namun setidaknya seorang muslim adalah muzakki fitrah. Asumsi masyarakat dalam memahami konsep kaya dalam fitrah adalah mereka yang memiliki kelebihan bahan pokok dan berbeda dengan konsep kaya dalam zakat mal, sebagaimana fiqih Islam menyebutkan.
Dalam hal penerima zakat, al-Qur’an menyebutkan delapan kelompok masyarakat yang berhak menerima zakat. Sementara, tidak semua anggota masyarakat menyerahkan zakatnya melalui amil, dan lebih suka membagikannya sendiri. Fenomena ini menunjukkan adanya pengelolaan zakat yang kurang terkoordinasi. Artinya, meskipun masyarakat paham, iman, dan menyadari siapa muzakki dan mustahiq zakat, tampaknya lembaga amil yang ada belum dapat diterima secara penuh oleh masyarakat. Sehingga, pngelola (amil) tidak dapat mengelola zakat secara tepat dan maksimal, dana zakat yang ada tidak dapat dinikmati secara maksimal oleh para mustahiq zakat.
b. Kendala Kultural
Ketika zakat dipahami masyarkat melalui proses internalisasi, kemudian menjelma menjadi pengamalan zakat sebagai bentuk eksternalisasinya, maka dapat saja bentuknya menjadi khas. Kekhasan tersebut dapat saja disebabkan oleh proses dialektis teoritis zakat dengan nilai-nilai masyarakat yang menjadi pranata sosial terakomodasi ke dalam zakat.
Tampaknya masyarakat memberikan nilai yang tidak jauh berbeda antara zakat dalam Islam dengan tradisi, yaitu dalam bentuk pertukaran. Karena adanya persamaan tersebut, maka terjadilah proses pembauran nilai adat dan Islam secara akomodatif dan tidak konfrontatif, sehingga membentuk suatu keyakinan yang kokoh dan utuh sebagai pranata sosial religius zakat. Pengaruh tersebut tidak terbatas pada pemaknaan zakat saja, tapi menyangkut pada fungsi zakat. Sehingga dalam obyektivikasi zakat, disamping sebagi kewajiban Islam, masyarakat muslim menunaikan zakat, fungsinya sebagai imbalan jasa dan budi muzakki kepada tokoh masyarakat, guru agama dan ta’mir mesjid. Ilustrasi terserbut dapat dijelaskan bagaimana muzakki menyerahkan zakat fitrahnya secara langsung. Menurutnya hal itu cukup beralasan karena muzakki telah mendapatkan pengajaran, bimbingan dan perlindungan dalam hidupnya.
Dengan demikian, fenomena penyerahan zakat fitrah oleh seorang muslim kepada tokoh agama, tokoh masyarakat dan ta’mir masjid secara sosiologis tidak dosa, karena penyerahan tersebut didasarkan pada jasa. Ilmu agama yang diperoleh muzakki dianggapnya sebagai jasa para guru agama yang sangat berharga. Penghargaan yang tinggi ini terlepas dari adanya posisi mereka sebagai guru dan adanya ketergantungan masyarakat kepada mereka.
Dengan kata lain bias yang terjadi dalam pengamalan zakat masyarakat kepada guru agama, ta’mir mesjid, dan tokoh masyarakat adalah motivasi dan sebab penyerahan langsung zakat fitrahnya. Artinya jika sebab dan motivasi pemberian zakat yang didasarkan pada norma Islam dipahami tidak demikian, maka pada saatnya nanti penyerahan zakat tidak lagi kepada kelompok yang disebutkan.
Kenyataan tersebut jika diamati, maka sebenarnya memperkuat apa yang dikemukakan oleh para tokoh sosiologi tentang perilaku sosial, yang mana setip perilaku sosial baik yang bersifat individu maupun kelompok didasarkan pada ilmu ekonomi, untug rugi, ganjaran dan hukuman, (reward) yang selalu diharapkan. Mereka mengakui bahwa pertukaran sosial tidak dapat diukur dengan nilai uang, sebab sebagai transaksi sosial dipertukarkan juga hal-hal yang nyata dan tidak nyata. Artinya tindakan masyarakat muslim dalam menyerahkan zakatnya merupakan suatu cermin ketaatan sosial. Meskipun tidak terdapat kontrak apapun di antara mereka, maka justru tidak adanya kontrak itulah yang semakin mendorong masyarakat menyerahkan zakat tersebut kepada mereka. Hal itu karena didorong oleh dasar perilaku manusia yang tidak terlepas dari adanya timbal balik, untung rugi, ganjaran, dan hukum.
Motivasi lain dalam penyerahan zakat fitrah diterjemahkan sebagai investasi dunia maupun akhirat, investasi jangka pendek maupun panjang. Secara sosiologis, muzakki akan dihargai secara normal oleh masyarakat. Nilai keislaman zakat yang telah menjadi kultur sosial tentu mempengaruhi tindakan individu dan kelompok dalam suatu komunitas masyarakat. Pengaruh tersebut tampak pada pengamalan realitas keislaman terbaur secara akomodatif dengan nilai-nilai setempat, sehingga membentuk realitas sosial Islam zakat.
c. Kendala Kepentingan
Islam telah meninggalkan reputasi peradaban bagi umat mnusia, dan sejarah telah membuktikannya sepanjang masa. Sejarawan Hodgson menyebutkan sebagai “The Venture of Islam” yang maksudnya adalah sebuah percobaan merealisir iman dalam sejarah. Iman ini di antaranya adalah mengenai segi-segi univerasalisme yang diwujudkan dalam kenyataan sejarah. Oleh karena itu umat Islam terus mengkaji, meneliti, menerjemahkan reputasi Islam itu melalui al-Qur’an dan Sunnah. Mereka percaya bahwa dengan cara seperti itu nilai-nilai zakat dapat terungkap, kemudian dapat terealisasikan dalam sejarah masyarakatnya di mana ia berada berada.
Zakat Islam sebagai pranata sosial beragama, dalam proses dialektisnya dengan pranata sosial lainnya mengalami berbagai gejolak dan ketegangan akibat terjadinya akomodasi dan kontroversi dari level pemaknaan sampai pengamalannya. Gejolak dan ketegangan dalam proses pemaknaan dan pengamalan zakat ini juga diakibatkan oleh adanya pola-pola kultural. Di sini individu-individu sebagai produk dan sekaligus pencipta pranata sosial peranannya menjadi sangat jelas. Artinya proses dialektis teoritis zakat sebagai pranata sosial yang idealnya putih, bersih dan immutable, namun dalam dunia kenyataan itu tidak telepas dari pencemaran-pencemaran subjektif individu. Namun demikian, diakui adanya unsur-unsur kepentingan individu yang tidak qualified sebagai pencemaran dalam pengamalan zakat. Ilustrasi ini tampak ketika konsentrasi pertimbangan-pertimbangan mendasar pengamalan zakat yang meliputi muzakki, mustahik, dan harta zakat dibelokkan keluar masuk kepada kepentingan kelompok dan perorangan. Kasus pertimbangan seperti nilai tradisi, keluarga dekat, imbalan jasa dapat diterima dalam kategori fakir miskin sama. Namun pertimbangan seperti ini menjadi tidak tepat dan radziah ketika membiarkan fakir miskin, dan memenangkan pertimbangan tersebut, sehingga dana zakat diserahkan kepda guru agama, tokoh masyarakat dan ta’mir masjid.
Ada indikator positif di masyarakat muslim Gunungsari Desa Sesela dengan munculnya lembaga zakat tingkat jama’ah masjid. proses dialektik pengamalan zakat sebagai realitas secara sosial, secara teoritis pada level internalisasi yang disebabkan semakin beragamnya informasi, kemajuan pendidikan yang membawa masyarakat semakin cerdas, dan mulai menipisnya sistem dominasi kepemimpinan agama, mengakibatkan proses eksternalisasi meskipun lambat tapi jelas, melahirkan realitas zakat bernuansa lain dari yang ada. Hal ini sebagai jawaban positif yang diformulasikan dalam proses obyektivasi kelembagaan zakat di masyarakat dalam bentuk kepanitiaan jamaah atau dengan kata lain munculnya kelembagaan zakat secara kolektif dalam bentuk kepanitiaan, adalah merupakan respon positif yang lahir karena analisis kritis terhadap zakat. Analisis-kritis mampu membawa masyarakat mampu membaca pengamalan zakat mereka secara lebih baik dari yang ada, sehingga muncul kesimpulan positif dan negatifnya.
Ketika lembaga zakat ditangani secara individual, tentunya pengaruh individual akan semakin terbuka. Dominasi perorangan dalam panafsiran zakat yang menyangkut harta wajib zakat, mustahik, dan muzakki menjadi dominan. Realitas secara sosial pengamalan zakat yang ada menunjukkan penilaian negatif akibat pengaruh individu yang kuat, dan masyarkat mencoba dengan merespons kepanitiaan zakat secara kolektif. Dengan proses eksternalisasi dan objektivasi kelembagaan zakat secara kolektif ini akan membawa pengaruh dalam proses internalisasi pemahaman zakat masyarakat secara dinamis.
C. Kesimpulan
Masyarakat muslim Gunungsari Desa Sesela dan masyarakat Sasak secara umum menyadari bahwa zakat merupakan satu kewajiban dalam Islam. Hal itu merupakan wadah ketaatan mereka dalam beragama. Tampaknya dari hasil observasi menunjukkan kesadaran zakat tersebut masih sebatas kewajiban Islami dari aspek hukum fiqihnya dan cenderung tekstual dan taklid normatif, sehingga pemahaman masyarakat tentang zakat sebagai pranata sosial dalam dialektisnya membentuk realitas secara sosial. Pengamalan zakat menjadi suatu realitas sosial terbatas pada makna ritual yang tergiring pada pemikiran kosmis transendental, berkait konsep ajr dan azb yang bersifat duniawi maupun ukhrowi dan kurang menyentuh pada aspek fungsi sosial keislamannya.
Fenomena pemberian zakat kepada guru agama, tokoh masyarakat, dan ta’mir masjid merupakan bentuk obyektivasi dari proses internalisasi dan eksternalisasi zakat di masyarakat. Diakui bahwa pengamalan zakat oleh masyarakat menampakkan bentuk formalitas tekstual dan dogmatis ritual dari pada aspek fungsi sosial Islamnya. Oleh karena itu, melalui pendidikan yang didukung oleh berdirinya lembaga amil zakat tingkat jamaah, desa, dan baziz pada tingkat nasional adalah merupakan respons positif yang harus didukung dan diperluas. Wallahu’alam.
Pewahyuan Al-Qu'ran
Absraks
Dalam bahasa agama, wahyu itu dapat dipahami sebagai petunjuk atau hidayah bagi ummat manusia dalam mengarungi kehidupan. Hal inilah yang oleh agama-agama samawi istilah wahyu merupakan tolak ukur sebuah kebenaran dalam kehidupan mereka. Dalam proses pewahyuan ternyata banyak mengudang kontroversi di kalangan ulama. Tetapi semua mengacu pada pendekatan pemahaman sama, namun dengan bahasa yang berbeda. Hal ini wajar karena mereka-mereka tidak mengalaminya secara langsung. Para ulama hanya bersepikulasi dalam merumuskan teori pewahyuaan wahyu, Yang mengetahui secara persis hakikat pewayuaan itu adalah para nabi dan rasul yang mendapat tugas dari sang Khalik.
Pewahyuan wahyu adalah proses intraksi antara Tuhan sebagai sang Khaliq dan manusia dalam hal ini para Nabi. Dalam intraksi itu adakalany Tuhan memberikan wahyu kepada Nabi-nabi dengan cara langsung atau secara tidak langsung tanpa perantara atau dengan mengunakan prantara utusannya, yang semuanya bersumber dari yang satu, yaitu Tuhan. Dalam pewahyuan itu terkandung berbagai macam informasi-informasi, hukum, pesan-pesan keagamaan dan kemasyarakatan yang kesemuanya menjadi pedoman bagi manusia dalam menjalani hidup dan kehidupan, untuk mencapi kebahagiaan hakiki di dunia dan diakhirat. Untuk lebih jelasnya di bawah ini pemakalah menguraikan proses pewahyuan wahyu tersebut.
A. Penadahulan
Al-Quran adalah wahyu Allah SWT yang telah diturunkan kepada nabi Muhammad sebagai kitab suci terahir untuk di jadikan petunjuk dan pedoman hidup dalam mencapai kebahagian dunia dan ahirat. Demikan pula al-Quran sebagai sumber pokok dan mata air yang memancarkan ajaran-ajaran islam dalam al-Quran surat al- isro’ ayat 9 di tegaskan bahwa ”sesungguhnya bahwa Al-Quran itu memberi petujuk kejalan yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang beriman yang berbuat kebaikan bahwa mereka memperoleh pahala yang sangat besar”. Kitabullah Al-Quran yang penuh dengan petujuk, undang-undang dan hukum itu di turunkan sebagai pokok-pokok keterangan yang tidak dapat di sangkal. Al-Quran membekali kita dengan berbagai perinsip dan kaidah-kaidah umum serta dasar-dasar yang menyeluruh dan Allah telah menugaskan kepada rasulnya yakni Muhammad, agar menjelaskan kepada manusia, agar segala yang tersirat di dalam semua prisnip, kaidah, dan ajaran pokok tersebut secara terinci, bagian demi bagian termasuk ranting dan cabangnya meskipun tidak secara keseluruhan atau mendetil.
Menurut Al-Quran para nabi adalah orang-orang yang revolusioner yang tapil (dengan membawa wahyu) di dalam berbagai macam corak masyrakat yang berbeda-beda sepanjang zaman, yang dalam Al-Quran jumlah Revolusiaoner itu ada yang disebutkan nama-namnya ada juga yang tidak. seorang nabi-repolusioner dengan sipat umum dari para revolusioner adalah mereka melakukan revolusi dan berjuang melawan masyarakat-masyarakat penindas, Qur zalima, serta membimbing, mengerakkan dan pengorganisasikan para pejuang pemberontak, kaum miskin, kaum lemah yang percaya kepada kebenaran, kejujuran, kesetaraan sosial, persaudaraan dan keadilan serta bertekat keras untuk meujudkan sebuah tatanaan sosial yang egaliter dan adil menggantikan sebuah tatanan sosial yang diskrininatif.
Setiap dari revolusiaoner (para nabi) memadukan dua peran utama pertama sebagai seorang nabi yang menerima wahyu Ilahi dan dibimbing oleh kebenaran Ilahiyah dan kedua peran seorang revolusiomaer atau seorang pemberontak yang membawa perubahan-perubahan radikal dalam tatanan sosial yang sudah usang dan mentransformasikannya ke model-model dan pola perilaku, pemikiran, emosi dan moral manusia yang sesuai dengan kebenaran wahyu jadi wahyu atau agama adalah revolusi dan revolusi adalah Agama atau wahyu. Wahyu pada tahapan pertama, pernyadaran atau mentranformasi sang nabi-revolusioner, dan selanjutnya kebenaran wahyu ini secara moral dan sosial membangkitkan kembali masyarakat yang korp dan mati, seperti hujan yang memberikan kehidupan pada tanah yang kering dan gersang.
Di sisi lain para rasul (revolusioner ini) sama seperti manusia biasa mempunyai sipat-siapat seperti manausia lainnya, karena juga mempunyai unsur yang sama yaitu terdiri ari dua unsur. Unsur atas dan usur bawah yang harus terpenuhi secara seimbang dan prorsional. kalau di buat sebuah pertanyaan mengapa Tuhan menjadikan utusannya dari bangsa atau jenis manusia? Tidak dari bangsa lain seperti malaikat? Barang kali untuk menjawab perlu ini kita perlu kembali kepada sejarah nabi Adam, dengan merujuk kepada ayat-ayat Al-Quran. Dan sebagai sebuah jawaban singkat bahwa Tuhan mengutus utusannya dari jenis manusia adalah untuk memudahkan komunikasi dan intraksi antar sesama, sehingga pesan-pesan dapat terserap dengan mudah dan baik.
Kemudian dalam ajaran agama yang di wahyukan ada dua jalan untuk memperoleh pengetahuan pertama, jalan wahyu dalam arti komunikasi dari Tuhan kepada manusia, dan kedua jalan akal, yang di anugrahkan kepada manusia, dengan memakai kesan-kesan yan di peroleh panca indara sebagai bahan untuk sampai kepada kesimupan-kesimpulan. Dan pengetahuan yang di bawa oleh wahyu bersipat absulut dan mutlak benar, sedang pengetahuan yang di peroleh melalui akal bersipat relative, mungkin benar dan mungkin salah.
Dalam makalah ini pemakalah akan mencoba menguraikan sekelumit tentang depinisi wahyu, proses pewahyuan dan tahapan-tahapunnya, serta sedikit membandingkan konsep itu dengan konsep-konsep yang diplurkan oleh M. Syahrur, pemikir islam kontemporer yang mencoba merasinalisasikan konsep-lama dalam agama, termasuk tentang wahyu.
B. Pembahasan.
Telah maklum bagi kita bahwa Al-Quran yang ada di tangan kita saat sekarang ini itu adalah kitab Allah yang di wahyukan kepada rasulullah dengan cara-cara berangsur-angsur dan di riwaaytkan secara mutawatir . Sebelum Allah menurunkan Al-Quran kepada rasulullah, Nabi seolah-olah ada kecenrungan yang keras untuk banyak mengasingkan dirinya dengan beri’tikaf di gua hira untuk berkontempasi dan beribadah-ibadah lainnya. Dalam hati beliau merasa asik untuk berkontemplasi, sepertinya (secar sengaja atau tidak) ada sebuah proses persiapan untuk hal yang besar ini.
Menurut hadis yang diriwayatkan oleh Bukhri dan Muslim dari Aisyah bahwa Nabi seiring mengujungi gua hira; disana beliau menyediri beberapa malam ; untuk itu beliau selalu berbekal. Kemudian kembali pada Khadijah yang kemudian membekalinya lagi sepeti biasa. Sekali waktu, ketika berada di gua hira, tiba-tiba beliau didatangi kebenaran. Malaikat Jibril berkata bacalah Muhammad Saw. Menjawab saya tidak bisa membaca. Selanjutnya rasulullah mengisahkan, katanya ia merangkulku samapai aku betul-betul lelah, kemudian ia melepaskanku dan berkata bacalah. Aku menjawab aku tidak bisa membaca. Kembali ia merangkulku untuk ketiga kalinya sampai aku betul-betul lelah, lalu melepaskanku dan berkata, “bacalah dengan menyebut nama tuhanmu yang telah menciptakan…” sampai kalimat… apa yang kamu tidak ketahui kemudian Rasullah kembali dengan hati gemetar. (Hadis).
1. Definisi Wahyu
Kalimat wahyu ini adalah bentuk masdar dari kata waha- yahy- wahyan, yang arti dasarnya adalah “memberi pengetahuan kepada seseorang secara rahasia sehingga orang lain tidak tau” Kalimat ini sebanayak 70 kali di pakai dalam al-Quran dan di pakai dalam beberapa arti Kata wahyu berasal dari bahasa Arab Al-Wahy kata ini merupakan kata asli Arab dan bukan kata pinjaman dari bahasa lain
Dalam kamus al-munir karya Al-Fayyuni wahyu menurut bahasa adalah berarti petujuk, tulisan, kerisalahan, ilham, pembicaraan yang rahasia dan segala sesuatu yang kamu sampaikan kepada selain kamu.
Sedangkan arti secara Etimologi ada beberapa ungkapan yang di ungkapkan oleh para ulam’-ulama’ dalam memakanai arti wahyu dalam al-Quran, antara lain.
a. Wahyu berarti “Isarat yang cepat” dengan tangan dan suatu isarat yang di lakukan denga tangan seperti Firman Allah dalam Al-Quran surat Maryam ayat 11, “maka ia mewahyukan (memberi isarat) kepada mereka ; hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang”
b. Wahyu berarti “memberi tau atau impomasi dengan sembunyi” seperti dalam firman Allah dalam surat Al- Anaam ayat 112 ” dan demikianlah kami jadikan tiap-tiap nabi itu musuh-musuhnya yaitu syatan-syatan manusia dan Jin. Sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain dengan ucapan-ucapan indah yang memperdayakan”
c. Wahyu juga berarti “perintah” seperti dalam surat Al-maidah ayat 111, Tuhan berfirman “ dan ingatlah ketika aku mewahyukan (memerintahkan) kepada pengikut isa, yaitu berimanlah kamu kepada ku dan kepada rasulku.”
d. Wahyu juga bearti “Ilham” juga disebutkan dalam Al-Quran surat Al-qashas ayat 7, yang terjemahannya “ dan kami telah wahyukan (ilhamkan) kepada ibu musa susukanlah dia
Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa kata wahyu itu arti umum, dipakai untuk pengetian beberapa macam bentuk pemberitauan yang halus dan khusus seperti yang di katakan Rasyid Rihdo dalam bukunya “wahyu kepada Muhammad”. Di katakan juga di antara bentuk-bentuk wahyu itu adalah “Ar’royu as-shodiqin” (mimpi hakiki), bisikan dalam hati, ilham dan percakapan yang disampaikan oleh malaikat. Selain arti umum tadi “wahyu” juga punya arti khas, yaitu percakapan Ilahi dengan salah satu bentuk yang macam seperti tersebut dalam surat as-Suarao’ 51-52
Sedangkan secara Terminology wahyu itu tebagi menjadi dua arti
(1) Wahyu dalam arti “inzal atau Al-ihhau” artinya memberi wahyu. Kalam Allah yang diturunkan kepada seorang Nabi .
(2) Wahyu dalam arti “Muhai bihi” yang diwahyukan .
Wahyu dalam arti Al-ihhau’ itu menurut istilah ialah “pemberitauan Allah kepada nabi-nabinya, tentang Hukm-hukumnya, berita, dan cerita-cerita dengan cara yang samar tetapi menyakinkan kepada nabi. Dan Rasul yang bersangkutan benar-benar yakin bahwa itu benar-benar berasal dari Allah. kemudian beberapa ulama’ memberi definisi yang berbeda tetapi banayak terjadi persamaan. Antara lain; Prof. TM. Ash-siddiqy menyatakan bahwa wahyu dalam arti Al-ihhau’ itu ialah nama bagi sesuatu yang di campakkan dengan cara cepat dari Allah ke dalam dada nabi-nabinya. di katakan pula dalam sumber yang lain al-muha bih artinya yang di wahyukan yakni al-Quran dan hadis nabi, tetapi dari segi makna atau jiwanya datang dari Tuhan Zarkani menejelaskan wahyu itu adalah “pemberitaun Allah kepada hambanya yang di pilihnya akan segala sesuatu yang dia kehedaki untuk menampakkanya dari berbagai hidayah dan pengetahuan, akan tetapi dengan cara rahasia yang tidak biasa bagi manusia. Ahmad ali, mendefinisikan wahyu itu adalah ”pemberitauan rahasia (tersembunyi) yang bersumber dari Allah kepada hambanya yang di pilihnya yaitu para nabi dan rasul dengan jalan yang tidak biasa bagi manusia, adakalanya dengan jalan ilham dan ada kalanya melalui perantara. Muhammad Abduh, dalam risalah tauhidnya mengatakan wahyu adalah ”pengetahuan yang di dapat oleh seseorang dari dalam dirinya di sertai keyakinan bahwa hal tersebut dari Allah baik dengan perantara atau tanpa perantara. Sedangkan menutut Rasyid Rihdo wahyu itu adalah suatu ilmu pengetahuan yang di khususkan kepada mereka dengan tidak mereka usahan dan tidak mereka pelajari sebelumnya
Jadi dari ungkapan-ungkapan di atas dapatlah kita simpulkan bahwa wahyu itu adalah pemberitauan atau informasi secara tersembunyi dan cepat (cepat dalam arti di tuangkan pengetahuan dalam jiwanya dengan sekaligus kepada nabi-nabi. Atau penyampaian sabda-sabda Tuhan kepada orang-orang pilihananya, tanpa di pelajari, atau di pikirkan lebih daulu, dan hal itu di yakini dengan sesungguhnya berasal dari Tuhan, untuk di teruskan kepada ummat manusia guna di jadikan pegangan hidup. Jadi sabda Tuhan itu mengadung ajaran, petujuk dan pedoman yang di perlukan umat manusia dalam perjalanaan hidupnya baik di dunia dan ahirat Dalam islam wahyu atau sabda Tuhan yang di sampaikan kepada Muhammad SAW. tekumpul semuanya dalam Al-Quran.
Lalu yang menjadi pertanyaan bagaimana dengan hadis rasul apakah itu juga dapat di katakan wahyu dari Tuhan? Dalam hal ini ulama juga berpendapat bahwa hadis-hadis Nabi juga termasuk bagian dari wahyu. Hal itu juga di pertegas dengan firman Allah dalam Al-Quran surat an-Najm ayat 3. ”nabi tidak berkata menrut hawa nafsunya , tetapi apa yang di katakan tidak lain adalah wahyu yang di berikan” demikan juga hadis rasul yang di riwayatkan oleh Abu Daud, Tirmizi, dan Ibnu majah “ingat bahwa aku di berikan al-Quran dan semacam Al-Quran besertanya” meskipun demikan hadis nabi di pandang sebagai wahyu namun pada hakikatnya masih ada perbedaan yang perinsipil antara Al-quran dan Al hadis meskiun keduanya adalah wahyu dari Allah.
2. Proses Penyampaian Wahyu
Sebgian orentalis melontarkan tuduhan-tuduhan miring dalam proses pewahyuaan itu. Sepeti yang di ungkapkan oleh Gustav Wield, Aloys Spenger dan Ricard Bell mengatakan bahwa Nabi Muhammad menderita penyakit Epilipi dan Histeria dan masih banyak lagi sarjan Barat yang menuduh dengan tuduhan miring yang walaupun ada juga yang mengakuinya. tapi banyak pemikir islam membatah hal itu secara ilmiyah, antara lain M Syahrur dalam bukunya al-Kitab dan Al-Quran: dia membantah dengan argment seserang yang mengidap menyakit Epilepsi, ketika seseorang mengalami kritis epilepi ia tidak sadar, setelah sadar orang yang menidap penyakit epilepi biasanya seperti orang dungu atau idiot. Dan ia tidak mengatakan dirinya bertambah atau mendapatkan ilmu saat mengalami epilepi. Hal ini sangat berbeda dengan apa yang dialami oleh Nabi waktu menerima wahu.
Dalam Al-Quran setidaknya di katakan bahwa cara proses turunya wahyu itu melalui tiga proses . Sebagaimana yang di jelaskan dalam surat As-suhara’ ayat 51-52.
“Dan tidak ada lagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang takbir atau dengan mengutus seorang utusan lalu di wahyukan kepadanya dengan izinnya atas apa-apa yang di kehendaki sesunggunya dia maha tinggi dan maha bijaksana”
“Dan demikanalah kami wahyukan kepadamu wahyu (al-Quran) dengan perintah kami. Sebelumnya kamu tidak mengetahui apakah al kitab (alQuran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi kami menjadikan al- Quran itu cahaya yang memberi petujuk dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petujuk kepada jalan yang lurus.”
Dari ayat ini Allah secara eksplisit menjelaskan bahwa Allah menyampaikan apa-apa yang di kehendakinya kepada para Nabinya dengan tiga cara:
a. menyampaikan pengertian kedalam hati nabi atau dengan megilhamakan, yaitu berfirmaan tanpa perantara antara Allah dan manusia termasuk dalam bagian ini adalah mimpi yang tepat dan benar. sebagaimana nabi telah terjadi bagi nabi Muhammad di permulaan wahyu yang beliau terima, beliau bermimpi seakan-akan melihat sinar shubuh dan terjadi persis seperti yang di impikan. Demikian juga Nabi Ibrohim mimpi menyembelih putranya (Ismail As) dan peristiwa ini di ungkapkan dalam Al-Quran surat As-shaffat.1-2
b. Berfirman di balik takbir (hijab) seperti Nabi Musa ketika menerima pengangkatan kenabiannya. Peristiwa ini juga terdapat dalam Al-Quran. Suarat Al-A’rop ayat 143. demikian juga malam isra’ dan mi’raj nabi Muhammad berdialuh langsung dengan Allah. Kedua jenis ini adalah system penyampaian wahyu yang tanpa melalui perantara. Kemudian;
c. Firman Allah yang di bawa oleh malaikat dan di sampaikan kepada manusia, sehingga ia mendengar perkataan malaikat sebagai wahyu ketika malaikat menirukan firman Allah. Keadaan seperti ini juga banyak di jelaskan pada ayat lain separti surat as- Suara’ ayat 192 demikian juga al- Bakaroh ayat 97. namun secara rinci proses pewahyuaan itu terjadi dengan tujuh cara. Seperti pemakalah kutip dalam bukunya H. Munawar Chalil
Demikian juga dalam penyampain wahyu melalui Jibril ada ini melaui dua cara; Pertama, nabi dapat melihat kehadiran Jibrial as dan dalam hal ini ada dua macam pula; Jibril di lihat dalam bentuk asli, tapi semacam ini jarang sekali terjadi. Dan terkadang Jibril menyamar separti wujud manusia dan pernah menjelma seperti salah satu rupa shabat bernama Dihyah bin Khlifah. Kedua, nabi tidak melihat Jibril waktu menerima wahyu, tapi mendengar pada waktu datangnya malaikat itu suara seperti suara lebah atau suara gemerincingan bel. dalam keadaan separti ini Nabilah yang mengetahui hakikatnya. Bagi orang yang kebetulan menyaksiakan hanya melihat gejala-gejala lahiriayah saja, seperti badan nabi bertambah berat dan nabi mengeluarkan keringat yang sangat banyak sekalipun cuacanya sangat dingin perlu di catat bahwa dominasi di turunkannya wahyu oleh Malaikat Jibril, tetapi oleh Hasby As-siddiqiy menyebutkan bahwa malaikat Israfil turun membawa beberapa kalimat dan wahyu, sebelum Jibril membawa Al- Quran
Al- Asfahani mengatakan dalam muqodimah tafsirnya bahwa Ahlussunah wal jamaah telah sepakat menyatakan bahwa kalamullah itu di turunkan, tapi mereka berbeda penadapat dalam mengartiakan inzal (turun) sebagian mereka mengatakan bahwa turunnya (inzal) itu merupakan menampakan bacaan. Sebagian lagi mengatakan bahwa Allah mengilhamkan kalamnya kepada Jiblir, dengan megajarkan kalam itu kepada Jibril. Setelah itu Jibril melakukan bacaan tadi di bumi, yang sudah barang tentu turun ke bumi
At-Thiby mengatakan “boleh jadi turunnya Al-Quran kepada Nabi dengan cara Jibril menerima kalamullah dari Allah dengan cara tertentu yang kita tidak dapat meggambarkanya, atau Jibril menghafalnya dari lauhil mahfuz. Setelah itu dia merurunkannya dan mengajarkannya kapada nabi SAW (dihunjamkannya kedalam jiwa nabi).
Secara spisisifik berbicara tentang Al-Quran para mutakallimin menetapkan bahwa hakikat Al-Quran adalah makna yang berdiri pada zat Allah ta’ala. Ulama’-ulama’ mu’tazilah berpenadapat bahwa hakikat Al-quran itu adalah huruf-huruf dan suara yang di jadikan Allah, yang setelah berujud lalu hilang dan lenyap. Sedangkan Al-Gozali dalam kitabnya al-Mustasfa mengatakan” hakikat Al-Quran adalah kalam yang berdiri pada zat Allah, yaitu satu sipat yang Qodim di antara sipat-siapatnya dan kalam itu lapaznya mustarak, di pergunakan untuk lafaz yang menujukan kepada makna , sebagaimana di pergunakan untuk makna yang di tujuk oleh lafaz
Al-kathbur Rozi mengatakan dalam kitab hawazul kasyaf “ al-inzal menurut bahasa berarti menempatkan atau menggerakkan sesuatu dari atas ke bawah. Kedua pengertian bahasa itu tidak nyata dalam ucapan, boleh jadi itu di pergunakan dalam arti majazi. Lebih lanjut dia mengatakan Al-Quraan itu makna yang tetap pada zat Allah SWT. Maka turunya wahyu itu tidak berbentuk kalimat dan hurup yang menujukkan pada makna tersebut dan Allah menetapkannya di lauhil mahfuz” dan barang siapa mengatakan Al-Quran itu berbetuk lafaz-lafgaz maka turuny wahyu itu dengan tetapnya di lauhil mahfudz
Hemat pemakalah pengetian yang terahir ini (Al-Quran berbentuk lapaz-lafaz ) adalah sesuai, karena keadaan al-Quran itu di ambil dari dua pengertian bahasa tadi. Munkin yang di maksud dengan turunya wahyu (inzal) itu ialah menetapkan di langait dunia setelah di tetapkan di lauhil mahfudz, maka hal ini sesuai dengan pengetian bahasa nomor dua (mengerakkan sesuatu dari atas ke bawah)
Jalal Al-din As-suyuti dalam menjawab pertanyaan seperti “bagamana yang ilhiyah dapat bertemau dengan manusiawi dalam proses pewahyuan Al-Quran” beliau menayatakan “entah Nabi membentuk manusiawinya dengan bentuk malaikat, entah Jibril yang menggalkan bentuk aslinya dan masuk kedalam bentuk manusia dalam mewahyukan al-Quran kepada nabi.” lebih lanjut dia mengatakan mengenai cara-cara atau proses pewahyuan dengan mengetengahkan lima kemungkinan teradinya 1) malaikat membawanya dengan suara lonceng. (yang di maksud dengan suara lonceng ini adalah seperti suara lancing besi yang gemerincing terdengar terus-menerus, tetapi bunyi yang bukan perkatan yang tersusun dari hurup-hurup) 2) malaikat mungkin membisikan kata-kata. 3) malaikat mungkain mengabil bentuk manusia dan berbicara. 4) malaikat mungkin datang dalam bentuk mimpi; dan 5) Tuhan sendiri langsung berbicara kepada Nabi baik melalui mimpi ataupun dalam keadan terjaga seperti terjadi saat isro’ dan mi’raj’. Tetapi hematnya (sepanjang yang dia ketaui) tidak ada wahyu dalam al-Quran yang di sampaikan dengan cara terahir ini lain lagi pendapat fazlur Rohman pemikir kontemporer dalam islam, dia menyatakan “bahwa nabi melihat sosok figur atau jiwa yang “horizontal tertinggi” ( bil ufuqil al-a’la 53.7) atau horizon tercerah ( bil ufuqil al- mubin) atau di dekat pohon yang paling tinggi ( ‘ind sidratu al- munthaha). Tetapi bagaimanaun juga pendapat para ulama’ hal itu hanya sebatas teori pridiksi. hakikat wahyu tidaklah ada kemungkinan kita mengetahuinya atau memperoleh rahasianya. Sebab wahyu itu sebuah keadaan yang tidak dapat di ketahui hakikatnya oleh manusia biasa kecuali oleh nabi yang mendapat wahyu itu sendiri.
3. Tahapan Wahyu
Sebagaiman diuraikan diatas bahwa Al-Quran diturukan kepada Nabi Muhammad Saw dengan berbagai macam cara yang secara rinci dikatakan dalam al-Qaran proses pewahyuan itu ada ada tiga macam, namun kalau di rinci lagi seperti diuraikan dalam catatan kakinya terbagi menjadi tujuh macam. Segaian serjana muslim berpendapat bahwa kewahyuan Al-Quran mengelami dua tahapan penurunan. Pertama Al-Quran diturunkan sekaligus (dafah wahidah) dari lauhil mahfuzh kelangit dunia dan kedua Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Secara berangsur-angsur (munajjaman) selama kurang lebih 23 tahun pandangan tersebut didasarkan pada kenyetaraan bahwa konsep penurunan wahyu Al-Quran terkadang dikaitkan dengan kata anzala (kata benda al-inzal) seperti dalam surat AS. Al-Baqarah (2) ayat 184 dan al-Qadar (97) ayat 1 yang berarti penurunan wahyu Al-Quran secara sekaligus dan terkadang dikaitkan dengan kata nazzala (kata benda Tanzil ) seperti dalam surat al-isra (17) 106 yang mengandung konotasi penurunan Al-Quran secara gradual. Selain alasan diatas, mereka menguatkan dengan riwayat yang disandarkan kepada Ibnu Abbas. Diriwayatkan bahwa ibnu Abbas pernah mengatakan “ Al-Quran diturunkan pada lailatul al-Qadar di bulan Ramadhan kelangit dunia secara sekaligus kemudian di turunkan kepada Nabi secara berangsur-angsur”
Berbeda dengan yang diungkapkan oleh M. Syahrur ia mencoba untuk merasionalkan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Dengan pendekatan Filsafat bahasa ia mencoba meelaborasi arti kata al-inzal dan tanzil dalam Al-Quran tersebut. Menurutnya bahwa inzal yang terdapat dalam al_Quran tersebut berarti “ merubah sesuatu yang tidak mungkin ditangkap oleh manusia (gairo mudrakah) menjadi sesuatu yang dapat dicerna (mudrakah). Kaitannya dengan pewahyuaan al_Quran kata anzala pada QS al_Qadr (97) ayat 1 misalnya berarti bahwa Al-Quran diubah oleh Allah dari keadaan yang tidak bisa ditangkap oleh manusia atau malaikat kedalam eksestensi yang dapat dicerna (Qur’a¬n al-arabyan) dan hal ini terjadi secara sekaligus pada malam Qadr. Jadi menurutnya Al-Quran sebelum diturunkan kelangit dunia itu dalam keadaan gairu mustarah.
C. Kesimpulan
Wahyu. Pada basis islam tercantum gagasan bahwa Tuhan secara periodek mewahyukan kehendaknya, menyediakan inpormasi yang tepat untuk membimbing urusan-urusan manusia dan memipin menuju kehidupan ahirat yang bahagia. Pewahyuan dimulai sejak manusia dan Nabi pertama Adam, proses pewahyuaan ini berlanjut sepanjang sejarah manusia hingga pesan wahyu ahirnya dipelihara secara utuh dalam bertuk Al-Quran. Yang merupakan intisari dan wahyu-wahyu sebelumnya.al-Quran merupakan pewahyuan penyempurna dan pelurus bagi wahyu-wahyu yang diselewengkan oleh manusia dari masa kemasa.
Dari pemaparan di atas dapatlah pemakalah mengambil intisari dari pengertian wahyu, wahyu adalah komunikasi antara Tuhan dengan para Rasulnya secara rahasia dan cepat dan sudah barang tentu conten dari wahyu itu sendiri terdiri dari pesan-pesan keagamaan dan kemasarakatan, guna di jadikan pedoman dan solusi dalam kehidupan di dunia dan ahirat. Kemudian proses dari terjadinya wahyu itu sendiri terdiri dari beberapa fase-fase, antara lain melalui perantara malaikat Jibril baik dalam keadaan bentuk asli maupun merubah diri kedalam bentuk lain, atau Tuhan sendiri dengan kekuasan dan kewenangannya menyampaikan wahyu itu secara langsung atau dengan tidak langsung. namun hakikat dari wahyu sendiri dalam pandangan para ulama’, namun secara umum dapat di simpulkan bahwa hakikat wahyu adalah tidak ada yang mengetahui secara pasti hanya para Nabi dan Rasul yang mengalaminya. Yang dapat mencertiakannya secara pasti, namun itu bukan tujuan nabi di utus ketengah-tengah ummatnya. yang penting bagi ummatnya adalah isi dan pesan-pesan yang terkadung di dalamnya itu yang lebih utama. Bagaimana wahyu dalam hal ini dapat di jadikan sebagai sebuah pedoman yang utuh seutuh-utuhnya, dalam rangka mencapai kebahagian di dunia dan akhirat.
Demikian makalah repisi ini di buat untuk memenuhi tugas-ahir semester ini. Sudah barang pasti sudah banyak kekurangan yang terdapat disana-sini, hal ini karena keterbatasan pemakalah. Keritik dan saran dalam rangka penyempuraan selalu pemakalah harapkan.semoga Tuhan selalu memberikan bimbingan kejalannya, memberikan cahaya wahyunya dalam mengarungi hidup dan kehidupan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Alfatih Surya Digala, Dkk, Metodelogi Ilmu Tafsir, (Jogyakarta, Teras, 2005).
Ash-Shiddieqy Hasby, Sejarah dan Pengantar Ilmu Alquran/Tafsir,(Jakarta: Bulan Bintang, 1974
H Munawar Chalil, ¬Al-Quran Dari Masa Ke masa, (Semarang: Ramadhani, tth).
Haque Ziaul, Wahyu Dan Revolusi, (Jogyakarta, Lkis, 2001).
Jalal al-Din as-Suyutui Al-Itkon Fil Uluml Quran, (Cairo: Darul fikr, 1279)
M. Syahrur al-Kitab wa Al-Quran Qiraah al-Muassarah, (Damaskus: Al-Ahali,1990).
M. Dawam Rahardjo, Enklopedi Al-Quran, (Jakarta: Paramadina, 2002).
Manna’ al-Qattan, Mabahis fi Ulumil Al-Quran, (Kairo: Mansurah al-Asr al-Hadis, 1973).
Minah St., Pengantar Ilmu Al-Quran /Tapsir, (Semarang: CV, As-Syifa, 1999).
Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1998).
Rasyid Ridha, Wahyu Ilahi kepada Muhmmad, terj. Jeosep SD, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983).
M. Montgomery Watt, Richard Bell Quran terj. Lillian D. Tedkasidjama, (Jakarta: INIS, 1998)
Abu Abdillah, Wawasan Baru Tarikh Al-Quran, (Bandung: Mizan, tth).
Jonh L. Eposito Ekslopedi Dunia Isalm Modern, (Bandung: Mizan, 2001).
P
Dalam bahasa agama, wahyu itu dapat dipahami sebagai petunjuk atau hidayah bagi ummat manusia dalam mengarungi kehidupan. Hal inilah yang oleh agama-agama samawi istilah wahyu merupakan tolak ukur sebuah kebenaran dalam kehidupan mereka. Dalam proses pewahyuan ternyata banyak mengudang kontroversi di kalangan ulama. Tetapi semua mengacu pada pendekatan pemahaman sama, namun dengan bahasa yang berbeda. Hal ini wajar karena mereka-mereka tidak mengalaminya secara langsung. Para ulama hanya bersepikulasi dalam merumuskan teori pewahyuaan wahyu, Yang mengetahui secara persis hakikat pewayuaan itu adalah para nabi dan rasul yang mendapat tugas dari sang Khalik.
Pewahyuan wahyu adalah proses intraksi antara Tuhan sebagai sang Khaliq dan manusia dalam hal ini para Nabi. Dalam intraksi itu adakalany Tuhan memberikan wahyu kepada Nabi-nabi dengan cara langsung atau secara tidak langsung tanpa perantara atau dengan mengunakan prantara utusannya, yang semuanya bersumber dari yang satu, yaitu Tuhan. Dalam pewahyuan itu terkandung berbagai macam informasi-informasi, hukum, pesan-pesan keagamaan dan kemasyarakatan yang kesemuanya menjadi pedoman bagi manusia dalam menjalani hidup dan kehidupan, untuk mencapi kebahagiaan hakiki di dunia dan diakhirat. Untuk lebih jelasnya di bawah ini pemakalah menguraikan proses pewahyuan wahyu tersebut.
A. Penadahulan
Al-Quran adalah wahyu Allah SWT yang telah diturunkan kepada nabi Muhammad sebagai kitab suci terahir untuk di jadikan petunjuk dan pedoman hidup dalam mencapai kebahagian dunia dan ahirat. Demikan pula al-Quran sebagai sumber pokok dan mata air yang memancarkan ajaran-ajaran islam dalam al-Quran surat al- isro’ ayat 9 di tegaskan bahwa ”sesungguhnya bahwa Al-Quran itu memberi petujuk kejalan yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang beriman yang berbuat kebaikan bahwa mereka memperoleh pahala yang sangat besar”. Kitabullah Al-Quran yang penuh dengan petujuk, undang-undang dan hukum itu di turunkan sebagai pokok-pokok keterangan yang tidak dapat di sangkal. Al-Quran membekali kita dengan berbagai perinsip dan kaidah-kaidah umum serta dasar-dasar yang menyeluruh dan Allah telah menugaskan kepada rasulnya yakni Muhammad, agar menjelaskan kepada manusia, agar segala yang tersirat di dalam semua prisnip, kaidah, dan ajaran pokok tersebut secara terinci, bagian demi bagian termasuk ranting dan cabangnya meskipun tidak secara keseluruhan atau mendetil.
Menurut Al-Quran para nabi adalah orang-orang yang revolusioner yang tapil (dengan membawa wahyu) di dalam berbagai macam corak masyrakat yang berbeda-beda sepanjang zaman, yang dalam Al-Quran jumlah Revolusiaoner itu ada yang disebutkan nama-namnya ada juga yang tidak. seorang nabi-repolusioner dengan sipat umum dari para revolusioner adalah mereka melakukan revolusi dan berjuang melawan masyarakat-masyarakat penindas, Qur zalima, serta membimbing, mengerakkan dan pengorganisasikan para pejuang pemberontak, kaum miskin, kaum lemah yang percaya kepada kebenaran, kejujuran, kesetaraan sosial, persaudaraan dan keadilan serta bertekat keras untuk meujudkan sebuah tatanaan sosial yang egaliter dan adil menggantikan sebuah tatanan sosial yang diskrininatif.
Setiap dari revolusiaoner (para nabi) memadukan dua peran utama pertama sebagai seorang nabi yang menerima wahyu Ilahi dan dibimbing oleh kebenaran Ilahiyah dan kedua peran seorang revolusiomaer atau seorang pemberontak yang membawa perubahan-perubahan radikal dalam tatanan sosial yang sudah usang dan mentransformasikannya ke model-model dan pola perilaku, pemikiran, emosi dan moral manusia yang sesuai dengan kebenaran wahyu jadi wahyu atau agama adalah revolusi dan revolusi adalah Agama atau wahyu. Wahyu pada tahapan pertama, pernyadaran atau mentranformasi sang nabi-revolusioner, dan selanjutnya kebenaran wahyu ini secara moral dan sosial membangkitkan kembali masyarakat yang korp dan mati, seperti hujan yang memberikan kehidupan pada tanah yang kering dan gersang.
Di sisi lain para rasul (revolusioner ini) sama seperti manusia biasa mempunyai sipat-siapat seperti manausia lainnya, karena juga mempunyai unsur yang sama yaitu terdiri ari dua unsur. Unsur atas dan usur bawah yang harus terpenuhi secara seimbang dan prorsional. kalau di buat sebuah pertanyaan mengapa Tuhan menjadikan utusannya dari bangsa atau jenis manusia? Tidak dari bangsa lain seperti malaikat? Barang kali untuk menjawab perlu ini kita perlu kembali kepada sejarah nabi Adam, dengan merujuk kepada ayat-ayat Al-Quran. Dan sebagai sebuah jawaban singkat bahwa Tuhan mengutus utusannya dari jenis manusia adalah untuk memudahkan komunikasi dan intraksi antar sesama, sehingga pesan-pesan dapat terserap dengan mudah dan baik.
Kemudian dalam ajaran agama yang di wahyukan ada dua jalan untuk memperoleh pengetahuan pertama, jalan wahyu dalam arti komunikasi dari Tuhan kepada manusia, dan kedua jalan akal, yang di anugrahkan kepada manusia, dengan memakai kesan-kesan yan di peroleh panca indara sebagai bahan untuk sampai kepada kesimupan-kesimpulan. Dan pengetahuan yang di bawa oleh wahyu bersipat absulut dan mutlak benar, sedang pengetahuan yang di peroleh melalui akal bersipat relative, mungkin benar dan mungkin salah.
Dalam makalah ini pemakalah akan mencoba menguraikan sekelumit tentang depinisi wahyu, proses pewahyuan dan tahapan-tahapunnya, serta sedikit membandingkan konsep itu dengan konsep-konsep yang diplurkan oleh M. Syahrur, pemikir islam kontemporer yang mencoba merasinalisasikan konsep-lama dalam agama, termasuk tentang wahyu.
B. Pembahasan.
Telah maklum bagi kita bahwa Al-Quran yang ada di tangan kita saat sekarang ini itu adalah kitab Allah yang di wahyukan kepada rasulullah dengan cara-cara berangsur-angsur dan di riwaaytkan secara mutawatir . Sebelum Allah menurunkan Al-Quran kepada rasulullah, Nabi seolah-olah ada kecenrungan yang keras untuk banyak mengasingkan dirinya dengan beri’tikaf di gua hira untuk berkontempasi dan beribadah-ibadah lainnya. Dalam hati beliau merasa asik untuk berkontemplasi, sepertinya (secar sengaja atau tidak) ada sebuah proses persiapan untuk hal yang besar ini.
Menurut hadis yang diriwayatkan oleh Bukhri dan Muslim dari Aisyah bahwa Nabi seiring mengujungi gua hira; disana beliau menyediri beberapa malam ; untuk itu beliau selalu berbekal. Kemudian kembali pada Khadijah yang kemudian membekalinya lagi sepeti biasa. Sekali waktu, ketika berada di gua hira, tiba-tiba beliau didatangi kebenaran. Malaikat Jibril berkata bacalah Muhammad Saw. Menjawab saya tidak bisa membaca. Selanjutnya rasulullah mengisahkan, katanya ia merangkulku samapai aku betul-betul lelah, kemudian ia melepaskanku dan berkata bacalah. Aku menjawab aku tidak bisa membaca. Kembali ia merangkulku untuk ketiga kalinya sampai aku betul-betul lelah, lalu melepaskanku dan berkata, “bacalah dengan menyebut nama tuhanmu yang telah menciptakan…” sampai kalimat… apa yang kamu tidak ketahui kemudian Rasullah kembali dengan hati gemetar. (Hadis).
1. Definisi Wahyu
Kalimat wahyu ini adalah bentuk masdar dari kata waha- yahy- wahyan, yang arti dasarnya adalah “memberi pengetahuan kepada seseorang secara rahasia sehingga orang lain tidak tau” Kalimat ini sebanayak 70 kali di pakai dalam al-Quran dan di pakai dalam beberapa arti Kata wahyu berasal dari bahasa Arab Al-Wahy kata ini merupakan kata asli Arab dan bukan kata pinjaman dari bahasa lain
Dalam kamus al-munir karya Al-Fayyuni wahyu menurut bahasa adalah berarti petujuk, tulisan, kerisalahan, ilham, pembicaraan yang rahasia dan segala sesuatu yang kamu sampaikan kepada selain kamu.
Sedangkan arti secara Etimologi ada beberapa ungkapan yang di ungkapkan oleh para ulam’-ulama’ dalam memakanai arti wahyu dalam al-Quran, antara lain.
a. Wahyu berarti “Isarat yang cepat” dengan tangan dan suatu isarat yang di lakukan denga tangan seperti Firman Allah dalam Al-Quran surat Maryam ayat 11, “maka ia mewahyukan (memberi isarat) kepada mereka ; hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang”
b. Wahyu berarti “memberi tau atau impomasi dengan sembunyi” seperti dalam firman Allah dalam surat Al- Anaam ayat 112 ” dan demikianlah kami jadikan tiap-tiap nabi itu musuh-musuhnya yaitu syatan-syatan manusia dan Jin. Sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain dengan ucapan-ucapan indah yang memperdayakan”
c. Wahyu juga berarti “perintah” seperti dalam surat Al-maidah ayat 111, Tuhan berfirman “ dan ingatlah ketika aku mewahyukan (memerintahkan) kepada pengikut isa, yaitu berimanlah kamu kepada ku dan kepada rasulku.”
d. Wahyu juga bearti “Ilham” juga disebutkan dalam Al-Quran surat Al-qashas ayat 7, yang terjemahannya “ dan kami telah wahyukan (ilhamkan) kepada ibu musa susukanlah dia
Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa kata wahyu itu arti umum, dipakai untuk pengetian beberapa macam bentuk pemberitauan yang halus dan khusus seperti yang di katakan Rasyid Rihdo dalam bukunya “wahyu kepada Muhammad”. Di katakan juga di antara bentuk-bentuk wahyu itu adalah “Ar’royu as-shodiqin” (mimpi hakiki), bisikan dalam hati, ilham dan percakapan yang disampaikan oleh malaikat. Selain arti umum tadi “wahyu” juga punya arti khas, yaitu percakapan Ilahi dengan salah satu bentuk yang macam seperti tersebut dalam surat as-Suarao’ 51-52
Sedangkan secara Terminology wahyu itu tebagi menjadi dua arti
(1) Wahyu dalam arti “inzal atau Al-ihhau” artinya memberi wahyu. Kalam Allah yang diturunkan kepada seorang Nabi .
(2) Wahyu dalam arti “Muhai bihi” yang diwahyukan .
Wahyu dalam arti Al-ihhau’ itu menurut istilah ialah “pemberitauan Allah kepada nabi-nabinya, tentang Hukm-hukumnya, berita, dan cerita-cerita dengan cara yang samar tetapi menyakinkan kepada nabi. Dan Rasul yang bersangkutan benar-benar yakin bahwa itu benar-benar berasal dari Allah. kemudian beberapa ulama’ memberi definisi yang berbeda tetapi banayak terjadi persamaan. Antara lain; Prof. TM. Ash-siddiqy menyatakan bahwa wahyu dalam arti Al-ihhau’ itu ialah nama bagi sesuatu yang di campakkan dengan cara cepat dari Allah ke dalam dada nabi-nabinya. di katakan pula dalam sumber yang lain al-muha bih artinya yang di wahyukan yakni al-Quran dan hadis nabi, tetapi dari segi makna atau jiwanya datang dari Tuhan Zarkani menejelaskan wahyu itu adalah “pemberitaun Allah kepada hambanya yang di pilihnya akan segala sesuatu yang dia kehedaki untuk menampakkanya dari berbagai hidayah dan pengetahuan, akan tetapi dengan cara rahasia yang tidak biasa bagi manusia. Ahmad ali, mendefinisikan wahyu itu adalah ”pemberitauan rahasia (tersembunyi) yang bersumber dari Allah kepada hambanya yang di pilihnya yaitu para nabi dan rasul dengan jalan yang tidak biasa bagi manusia, adakalanya dengan jalan ilham dan ada kalanya melalui perantara. Muhammad Abduh, dalam risalah tauhidnya mengatakan wahyu adalah ”pengetahuan yang di dapat oleh seseorang dari dalam dirinya di sertai keyakinan bahwa hal tersebut dari Allah baik dengan perantara atau tanpa perantara. Sedangkan menutut Rasyid Rihdo wahyu itu adalah suatu ilmu pengetahuan yang di khususkan kepada mereka dengan tidak mereka usahan dan tidak mereka pelajari sebelumnya
Jadi dari ungkapan-ungkapan di atas dapatlah kita simpulkan bahwa wahyu itu adalah pemberitauan atau informasi secara tersembunyi dan cepat (cepat dalam arti di tuangkan pengetahuan dalam jiwanya dengan sekaligus kepada nabi-nabi. Atau penyampaian sabda-sabda Tuhan kepada orang-orang pilihananya, tanpa di pelajari, atau di pikirkan lebih daulu, dan hal itu di yakini dengan sesungguhnya berasal dari Tuhan, untuk di teruskan kepada ummat manusia guna di jadikan pegangan hidup. Jadi sabda Tuhan itu mengadung ajaran, petujuk dan pedoman yang di perlukan umat manusia dalam perjalanaan hidupnya baik di dunia dan ahirat Dalam islam wahyu atau sabda Tuhan yang di sampaikan kepada Muhammad SAW. tekumpul semuanya dalam Al-Quran.
Lalu yang menjadi pertanyaan bagaimana dengan hadis rasul apakah itu juga dapat di katakan wahyu dari Tuhan? Dalam hal ini ulama juga berpendapat bahwa hadis-hadis Nabi juga termasuk bagian dari wahyu. Hal itu juga di pertegas dengan firman Allah dalam Al-Quran surat an-Najm ayat 3. ”nabi tidak berkata menrut hawa nafsunya , tetapi apa yang di katakan tidak lain adalah wahyu yang di berikan” demikan juga hadis rasul yang di riwayatkan oleh Abu Daud, Tirmizi, dan Ibnu majah “ingat bahwa aku di berikan al-Quran dan semacam Al-Quran besertanya” meskipun demikan hadis nabi di pandang sebagai wahyu namun pada hakikatnya masih ada perbedaan yang perinsipil antara Al-quran dan Al hadis meskiun keduanya adalah wahyu dari Allah.
2. Proses Penyampaian Wahyu
Sebgian orentalis melontarkan tuduhan-tuduhan miring dalam proses pewahyuaan itu. Sepeti yang di ungkapkan oleh Gustav Wield, Aloys Spenger dan Ricard Bell mengatakan bahwa Nabi Muhammad menderita penyakit Epilipi dan Histeria dan masih banyak lagi sarjan Barat yang menuduh dengan tuduhan miring yang walaupun ada juga yang mengakuinya. tapi banyak pemikir islam membatah hal itu secara ilmiyah, antara lain M Syahrur dalam bukunya al-Kitab dan Al-Quran: dia membantah dengan argment seserang yang mengidap menyakit Epilepsi, ketika seseorang mengalami kritis epilepi ia tidak sadar, setelah sadar orang yang menidap penyakit epilepi biasanya seperti orang dungu atau idiot. Dan ia tidak mengatakan dirinya bertambah atau mendapatkan ilmu saat mengalami epilepi. Hal ini sangat berbeda dengan apa yang dialami oleh Nabi waktu menerima wahu.
Dalam Al-Quran setidaknya di katakan bahwa cara proses turunya wahyu itu melalui tiga proses . Sebagaimana yang di jelaskan dalam surat As-suhara’ ayat 51-52.
“Dan tidak ada lagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang takbir atau dengan mengutus seorang utusan lalu di wahyukan kepadanya dengan izinnya atas apa-apa yang di kehendaki sesunggunya dia maha tinggi dan maha bijaksana”
“Dan demikanalah kami wahyukan kepadamu wahyu (al-Quran) dengan perintah kami. Sebelumnya kamu tidak mengetahui apakah al kitab (alQuran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi kami menjadikan al- Quran itu cahaya yang memberi petujuk dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petujuk kepada jalan yang lurus.”
Dari ayat ini Allah secara eksplisit menjelaskan bahwa Allah menyampaikan apa-apa yang di kehendakinya kepada para Nabinya dengan tiga cara:
a. menyampaikan pengertian kedalam hati nabi atau dengan megilhamakan, yaitu berfirmaan tanpa perantara antara Allah dan manusia termasuk dalam bagian ini adalah mimpi yang tepat dan benar. sebagaimana nabi telah terjadi bagi nabi Muhammad di permulaan wahyu yang beliau terima, beliau bermimpi seakan-akan melihat sinar shubuh dan terjadi persis seperti yang di impikan. Demikian juga Nabi Ibrohim mimpi menyembelih putranya (Ismail As) dan peristiwa ini di ungkapkan dalam Al-Quran surat As-shaffat.1-2
b. Berfirman di balik takbir (hijab) seperti Nabi Musa ketika menerima pengangkatan kenabiannya. Peristiwa ini juga terdapat dalam Al-Quran. Suarat Al-A’rop ayat 143. demikian juga malam isra’ dan mi’raj nabi Muhammad berdialuh langsung dengan Allah. Kedua jenis ini adalah system penyampaian wahyu yang tanpa melalui perantara. Kemudian;
c. Firman Allah yang di bawa oleh malaikat dan di sampaikan kepada manusia, sehingga ia mendengar perkataan malaikat sebagai wahyu ketika malaikat menirukan firman Allah. Keadaan seperti ini juga banyak di jelaskan pada ayat lain separti surat as- Suara’ ayat 192 demikian juga al- Bakaroh ayat 97. namun secara rinci proses pewahyuaan itu terjadi dengan tujuh cara. Seperti pemakalah kutip dalam bukunya H. Munawar Chalil
Demikian juga dalam penyampain wahyu melalui Jibril ada ini melaui dua cara; Pertama, nabi dapat melihat kehadiran Jibrial as dan dalam hal ini ada dua macam pula; Jibril di lihat dalam bentuk asli, tapi semacam ini jarang sekali terjadi. Dan terkadang Jibril menyamar separti wujud manusia dan pernah menjelma seperti salah satu rupa shabat bernama Dihyah bin Khlifah. Kedua, nabi tidak melihat Jibril waktu menerima wahyu, tapi mendengar pada waktu datangnya malaikat itu suara seperti suara lebah atau suara gemerincingan bel. dalam keadaan separti ini Nabilah yang mengetahui hakikatnya. Bagi orang yang kebetulan menyaksiakan hanya melihat gejala-gejala lahiriayah saja, seperti badan nabi bertambah berat dan nabi mengeluarkan keringat yang sangat banyak sekalipun cuacanya sangat dingin perlu di catat bahwa dominasi di turunkannya wahyu oleh Malaikat Jibril, tetapi oleh Hasby As-siddiqiy menyebutkan bahwa malaikat Israfil turun membawa beberapa kalimat dan wahyu, sebelum Jibril membawa Al- Quran
Al- Asfahani mengatakan dalam muqodimah tafsirnya bahwa Ahlussunah wal jamaah telah sepakat menyatakan bahwa kalamullah itu di turunkan, tapi mereka berbeda penadapat dalam mengartiakan inzal (turun) sebagian mereka mengatakan bahwa turunnya (inzal) itu merupakan menampakan bacaan. Sebagian lagi mengatakan bahwa Allah mengilhamkan kalamnya kepada Jiblir, dengan megajarkan kalam itu kepada Jibril. Setelah itu Jibril melakukan bacaan tadi di bumi, yang sudah barang tentu turun ke bumi
At-Thiby mengatakan “boleh jadi turunnya Al-Quran kepada Nabi dengan cara Jibril menerima kalamullah dari Allah dengan cara tertentu yang kita tidak dapat meggambarkanya, atau Jibril menghafalnya dari lauhil mahfuz. Setelah itu dia merurunkannya dan mengajarkannya kapada nabi SAW (dihunjamkannya kedalam jiwa nabi).
Secara spisisifik berbicara tentang Al-Quran para mutakallimin menetapkan bahwa hakikat Al-Quran adalah makna yang berdiri pada zat Allah ta’ala. Ulama’-ulama’ mu’tazilah berpenadapat bahwa hakikat Al-quran itu adalah huruf-huruf dan suara yang di jadikan Allah, yang setelah berujud lalu hilang dan lenyap. Sedangkan Al-Gozali dalam kitabnya al-Mustasfa mengatakan” hakikat Al-Quran adalah kalam yang berdiri pada zat Allah, yaitu satu sipat yang Qodim di antara sipat-siapatnya dan kalam itu lapaznya mustarak, di pergunakan untuk lafaz yang menujukan kepada makna , sebagaimana di pergunakan untuk makna yang di tujuk oleh lafaz
Al-kathbur Rozi mengatakan dalam kitab hawazul kasyaf “ al-inzal menurut bahasa berarti menempatkan atau menggerakkan sesuatu dari atas ke bawah. Kedua pengertian bahasa itu tidak nyata dalam ucapan, boleh jadi itu di pergunakan dalam arti majazi. Lebih lanjut dia mengatakan Al-Quraan itu makna yang tetap pada zat Allah SWT. Maka turunya wahyu itu tidak berbentuk kalimat dan hurup yang menujukkan pada makna tersebut dan Allah menetapkannya di lauhil mahfuz” dan barang siapa mengatakan Al-Quran itu berbetuk lafaz-lafgaz maka turuny wahyu itu dengan tetapnya di lauhil mahfudz
Hemat pemakalah pengetian yang terahir ini (Al-Quran berbentuk lapaz-lafaz ) adalah sesuai, karena keadaan al-Quran itu di ambil dari dua pengertian bahasa tadi. Munkin yang di maksud dengan turunya wahyu (inzal) itu ialah menetapkan di langait dunia setelah di tetapkan di lauhil mahfudz, maka hal ini sesuai dengan pengetian bahasa nomor dua (mengerakkan sesuatu dari atas ke bawah)
Jalal Al-din As-suyuti dalam menjawab pertanyaan seperti “bagamana yang ilhiyah dapat bertemau dengan manusiawi dalam proses pewahyuan Al-Quran” beliau menayatakan “entah Nabi membentuk manusiawinya dengan bentuk malaikat, entah Jibril yang menggalkan bentuk aslinya dan masuk kedalam bentuk manusia dalam mewahyukan al-Quran kepada nabi.” lebih lanjut dia mengatakan mengenai cara-cara atau proses pewahyuan dengan mengetengahkan lima kemungkinan teradinya 1) malaikat membawanya dengan suara lonceng. (yang di maksud dengan suara lonceng ini adalah seperti suara lancing besi yang gemerincing terdengar terus-menerus, tetapi bunyi yang bukan perkatan yang tersusun dari hurup-hurup) 2) malaikat mungkin membisikan kata-kata. 3) malaikat mungkain mengabil bentuk manusia dan berbicara. 4) malaikat mungkin datang dalam bentuk mimpi; dan 5) Tuhan sendiri langsung berbicara kepada Nabi baik melalui mimpi ataupun dalam keadan terjaga seperti terjadi saat isro’ dan mi’raj’. Tetapi hematnya (sepanjang yang dia ketaui) tidak ada wahyu dalam al-Quran yang di sampaikan dengan cara terahir ini lain lagi pendapat fazlur Rohman pemikir kontemporer dalam islam, dia menyatakan “bahwa nabi melihat sosok figur atau jiwa yang “horizontal tertinggi” ( bil ufuqil al-a’la 53.7) atau horizon tercerah ( bil ufuqil al- mubin) atau di dekat pohon yang paling tinggi ( ‘ind sidratu al- munthaha). Tetapi bagaimanaun juga pendapat para ulama’ hal itu hanya sebatas teori pridiksi. hakikat wahyu tidaklah ada kemungkinan kita mengetahuinya atau memperoleh rahasianya. Sebab wahyu itu sebuah keadaan yang tidak dapat di ketahui hakikatnya oleh manusia biasa kecuali oleh nabi yang mendapat wahyu itu sendiri.
3. Tahapan Wahyu
Sebagaiman diuraikan diatas bahwa Al-Quran diturukan kepada Nabi Muhammad Saw dengan berbagai macam cara yang secara rinci dikatakan dalam al-Qaran proses pewahyuan itu ada ada tiga macam, namun kalau di rinci lagi seperti diuraikan dalam catatan kakinya terbagi menjadi tujuh macam. Segaian serjana muslim berpendapat bahwa kewahyuan Al-Quran mengelami dua tahapan penurunan. Pertama Al-Quran diturunkan sekaligus (dafah wahidah) dari lauhil mahfuzh kelangit dunia dan kedua Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Secara berangsur-angsur (munajjaman) selama kurang lebih 23 tahun pandangan tersebut didasarkan pada kenyetaraan bahwa konsep penurunan wahyu Al-Quran terkadang dikaitkan dengan kata anzala (kata benda al-inzal) seperti dalam surat AS. Al-Baqarah (2) ayat 184 dan al-Qadar (97) ayat 1 yang berarti penurunan wahyu Al-Quran secara sekaligus dan terkadang dikaitkan dengan kata nazzala (kata benda Tanzil ) seperti dalam surat al-isra (17) 106 yang mengandung konotasi penurunan Al-Quran secara gradual. Selain alasan diatas, mereka menguatkan dengan riwayat yang disandarkan kepada Ibnu Abbas. Diriwayatkan bahwa ibnu Abbas pernah mengatakan “ Al-Quran diturunkan pada lailatul al-Qadar di bulan Ramadhan kelangit dunia secara sekaligus kemudian di turunkan kepada Nabi secara berangsur-angsur”
Berbeda dengan yang diungkapkan oleh M. Syahrur ia mencoba untuk merasionalkan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Dengan pendekatan Filsafat bahasa ia mencoba meelaborasi arti kata al-inzal dan tanzil dalam Al-Quran tersebut. Menurutnya bahwa inzal yang terdapat dalam al_Quran tersebut berarti “ merubah sesuatu yang tidak mungkin ditangkap oleh manusia (gairo mudrakah) menjadi sesuatu yang dapat dicerna (mudrakah). Kaitannya dengan pewahyuaan al_Quran kata anzala pada QS al_Qadr (97) ayat 1 misalnya berarti bahwa Al-Quran diubah oleh Allah dari keadaan yang tidak bisa ditangkap oleh manusia atau malaikat kedalam eksestensi yang dapat dicerna (Qur’a¬n al-arabyan) dan hal ini terjadi secara sekaligus pada malam Qadr. Jadi menurutnya Al-Quran sebelum diturunkan kelangit dunia itu dalam keadaan gairu mustarah.
C. Kesimpulan
Wahyu. Pada basis islam tercantum gagasan bahwa Tuhan secara periodek mewahyukan kehendaknya, menyediakan inpormasi yang tepat untuk membimbing urusan-urusan manusia dan memipin menuju kehidupan ahirat yang bahagia. Pewahyuan dimulai sejak manusia dan Nabi pertama Adam, proses pewahyuaan ini berlanjut sepanjang sejarah manusia hingga pesan wahyu ahirnya dipelihara secara utuh dalam bertuk Al-Quran. Yang merupakan intisari dan wahyu-wahyu sebelumnya.al-Quran merupakan pewahyuan penyempurna dan pelurus bagi wahyu-wahyu yang diselewengkan oleh manusia dari masa kemasa.
Dari pemaparan di atas dapatlah pemakalah mengambil intisari dari pengertian wahyu, wahyu adalah komunikasi antara Tuhan dengan para Rasulnya secara rahasia dan cepat dan sudah barang tentu conten dari wahyu itu sendiri terdiri dari pesan-pesan keagamaan dan kemasarakatan, guna di jadikan pedoman dan solusi dalam kehidupan di dunia dan ahirat. Kemudian proses dari terjadinya wahyu itu sendiri terdiri dari beberapa fase-fase, antara lain melalui perantara malaikat Jibril baik dalam keadaan bentuk asli maupun merubah diri kedalam bentuk lain, atau Tuhan sendiri dengan kekuasan dan kewenangannya menyampaikan wahyu itu secara langsung atau dengan tidak langsung. namun hakikat dari wahyu sendiri dalam pandangan para ulama’, namun secara umum dapat di simpulkan bahwa hakikat wahyu adalah tidak ada yang mengetahui secara pasti hanya para Nabi dan Rasul yang mengalaminya. Yang dapat mencertiakannya secara pasti, namun itu bukan tujuan nabi di utus ketengah-tengah ummatnya. yang penting bagi ummatnya adalah isi dan pesan-pesan yang terkadung di dalamnya itu yang lebih utama. Bagaimana wahyu dalam hal ini dapat di jadikan sebagai sebuah pedoman yang utuh seutuh-utuhnya, dalam rangka mencapai kebahagian di dunia dan akhirat.
Demikian makalah repisi ini di buat untuk memenuhi tugas-ahir semester ini. Sudah barang pasti sudah banyak kekurangan yang terdapat disana-sini, hal ini karena keterbatasan pemakalah. Keritik dan saran dalam rangka penyempuraan selalu pemakalah harapkan.semoga Tuhan selalu memberikan bimbingan kejalannya, memberikan cahaya wahyunya dalam mengarungi hidup dan kehidupan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Alfatih Surya Digala, Dkk, Metodelogi Ilmu Tafsir, (Jogyakarta, Teras, 2005).
Ash-Shiddieqy Hasby, Sejarah dan Pengantar Ilmu Alquran/Tafsir,(Jakarta: Bulan Bintang, 1974
H Munawar Chalil, ¬Al-Quran Dari Masa Ke masa, (Semarang: Ramadhani, tth).
Haque Ziaul, Wahyu Dan Revolusi, (Jogyakarta, Lkis, 2001).
Jalal al-Din as-Suyutui Al-Itkon Fil Uluml Quran, (Cairo: Darul fikr, 1279)
M. Syahrur al-Kitab wa Al-Quran Qiraah al-Muassarah, (Damaskus: Al-Ahali,1990).
M. Dawam Rahardjo, Enklopedi Al-Quran, (Jakarta: Paramadina, 2002).
Manna’ al-Qattan, Mabahis fi Ulumil Al-Quran, (Kairo: Mansurah al-Asr al-Hadis, 1973).
Minah St., Pengantar Ilmu Al-Quran /Tapsir, (Semarang: CV, As-Syifa, 1999).
Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1998).
Rasyid Ridha, Wahyu Ilahi kepada Muhmmad, terj. Jeosep SD, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983).
M. Montgomery Watt, Richard Bell Quran terj. Lillian D. Tedkasidjama, (Jakarta: INIS, 1998)
Abu Abdillah, Wawasan Baru Tarikh Al-Quran, (Bandung: Mizan, tth).
Jonh L. Eposito Ekslopedi Dunia Isalm Modern, (Bandung: Mizan, 2001).
P
Langganan:
Postingan (Atom)